Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. dua hari berlalu.
Di gedung tinggi yang berdiri megah di jantung Jakarta, suasana kantor pusat Marvionne Corporation pagi itu terasa jauh lebih tegas dari biasanya. Suara ketikan cepat, panggilan telepon, dan langkah kaki para staf bercampur jadi satu ritme yang teratur.
Di lantai tertinggi, ruangan luas dengan dinding kaca memantulkan bayangan seorang wanita yang berdiri tegak di depan layar besar Amara Marvionne.
Dengan sikap tenang namun dingin, ia menatap laporan yang terpampang di hadapannya. Puluhan grafik dan data jalur penerbangan terpampang di layar, Jalur Wirantara Air semuanya bertanda terminated.
Zico berdiri di sisi kanan, diam menunggu instruksi. Amara menurunkan tablet di tangannya.
“Kita buka kembali tiga jalur utama,” ucapnya akhirnya.
“Yang menuju Singapura, Tokyo, dan Dubai. Jalur itu milik mereka dari dulu, biarkan mereka memilikinya lagi.”
Zico sedikit terkejut. “Apakah … Nona yakin? Setelah semua yang terjadi...”
“Ini bisnis,” potong Amara cepat. Tatapannya tajam tapi suaranya terkendali.
“Dan aku tidak menutup pintu untuk orang yang mau memperbaiki kesalahannya.”
Ia menatap kembali layar besar itu, jemarinya mengetik cepat di laptop.
“Pastikan tidak ada media yang tahu. Dan kirim surat resmi atas nama Marvionne. Katakan, kami memberi kesempatan pada Wirantara Air untuk bergabung kembali dalam kerja sama internasional.”
Zico menunduk hormat. “Baik, Nona.”
Beberapa detik kemudian, email itu dikirim.
Sementara itu, di kantor pusat Wirantara Air, suasana rapat pagi terasa tegang seperti biasanya. Haris berdiri di depan meja panjang, memaparkan data penurunan keuntungan yang terus menekan perusahaan. Shaka duduk di ujung meja, diam dengan wajah serius.
Namun suara notifikasi email tiba-tiba memecah keheningan. Haris yang memeriksa tablet-nya mendadak membeku. Matanya membesar, lalu menatap Shaka tak percaya.
“Kapten…” katanya, terbata. “Anda harus lihat ini.”
Shaka mengerutkan kening, Haris segera menampilkan isi email di layar proyektor ruang rapat.
Logo Marvionne Group muncul jelas di sudut atas diikuti oleh kalimat yang membuat semua orang di ruangan itu terdiam.
[Marvionne Corporation membuka kembali kerja sama rute udara internasional untuk Wirantara Air. Kami memberi kesempatan kedua bagi perusahaan Anda untuk kembali ke jalur internasional di bawah perlindungan kami.]
Ruangan mendadak riuh. Beberapa orang bertepuk tangan, beberapa lainnya saling menatap tidak percaya. Haris menoleh ke arah Shaka, wajahnya berseri.
“Kapten! Ini kesempatan emas! Kita bisa bangkit lagi!”
Shaka tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap layar besar di depannya, membaca berulang kalimat itu.
Nama Marvionne terpampang begitu jelas. Senyum tipis perlahan muncul di wajahnya.
“Amara…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Dia bersandar di kursinya, menatap langit di luar jendela. Untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, ada cahaya baru yang menyelinap masuk ke dalam hidupnya dari seseorang yang dulu ia kira telah menutup semua pintu selamanya.
Siang itu, cahaya matahari menembus kaca tinggi lobi Marvionne Tower, menciptakan pantulan hangat di lantai marmer putih yang berkilau.
Para staf berlalu-lalang dengan langkah cepat, tapi sorot mata mereka sempat berhenti sejenak ketika Amara melangkah keluar dari lift utama. Penampilannya elegan seperti biasa kemeja satin biru tua, rok pensil hitam, dan senyum lembut yang jarang sekali muncul belakangan ini.
Suara ponsel di tangannya bergetar pelan.
"Ya, aku sudah di bawah," katanya dengan nada hangat.
"Kau di mana?"
Begitu panggilan berakhir, Amara mempercepat langkah. Di depan gedung, tepat di tepi jalan, berdiri seorang pria dengan kemeja putih rapi dan senyum lebar di wajahnya dia Arya Marvionne, paman muda yang sejak dulu sangat dekat dengannya.
Begitu mata mereka bertemu, Amara tersenyum lega dan langsung memeluk Arya dengan hangat.
“Aku kangen sekali, Paman,” ucapnya pelan.
Arya tertawa kecil, menepuk bahu keponakannya. “Kau tumbuh makin kuat. Aku bangga sekali, Amara.”
Dia mengulurkan setangkai buket mawar merah muda, wangi lembutnya seolah memenuhi udara di sekitar mereka. Namun, di seberang jalan, sebuah mobil hitam baru saja berhenti.
Shaka duduk balik kemudi, pandangannya tajam ke depan menatap dua orang yang berpelukan. Amara wanita yang enam tahun ia cari, wanita yang tak bisa ia lupakan, kini berdiri di depan perusahaannya sendiri, memeluk seorang pria lain dengan tatapan penuh keakraban. Dan di tangan pria itu, mawar merah muda yang sama seperti mawar merah yang ia genggam sekarang.
Sekejap, Shaka seperti kehilangan udara. Rahangnya mengeras, jemarinya menekan gagang buket hingga beberapa kelopak mawar patah. Ia tidak tahu siapa pria itu yang ia tahu hanya satu, dadanya terasa ditusuk rasa sesak yang tak tertahankan.
Ketika Amara menerima bunga itu dan tertawa kecil, Shaka melangkah turun dari mobil tanpa pikir panjang. Kakinya terasa berat tapi hatinya memaksa untuk mendekat, sekadar memastikan pandangannya tidak salah.
Amara yang hendak masuk ke mobil hitam lain tiba-tiba berhenti. Dari sudut matanya, ia menangkap sosok yang berdiri tak jauh dari sana. Sosok dengan wajah pucat dan perban di kepala, Shaka Wirantara.
Langkahnya terhenti sesaat. Lalu, perlahan ia menoleh sepenuhnya, menatap pria itu. Dunia di sekelilingnya seperti ikut berhenti. Shaka memandangnya tanpa suara, sorot matanya campuran antara rindu dan luka yang tak sempat sembuh. Arya menoleh ke arah pandangan Amara dan ikut melihat ke belakang.
Ketika ia melihat Shaka, ekspresinya berubah sendu ia tahu siapa pria itu, siapa orang yang dulu begitu dicintai keponakannya. Dengan senyum kecil yang mengandung pengertian, Arya menepuk bahu Amara pelan dan berkata lirih,
“Pergilah, Aku tunggu di mobil.”
Namun, bagi Shaka yang tidak tahu, senyum lembut Arya dan tatapan hangat itu justru menambah api dalam dadanya.
Ada senyum getir di bibir Arya, yang ternyata mencintai anak dari kakak ibunya sendiri.
Hati2 kapten Shaka, hari ini Amara berhasil dan sasaran selanjutnya kamu kapten Shaka