NovelToon NovelToon
Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Mahar Satu Miliar Dari Pria Impoten

Status: tamat
Genre:Penyesalan Suami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pengantin Pengganti / Terpaksa Menikahi Suami Cacat / Tamat
Popularitas:396.6k
Nilai: 4.9
Nama Author: Aisyah Alfatih

Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.

Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

14. Dia mulai jatuh cinta, namun tak mau mengakuinya.

Lampu kamar hanya menyala redup. Arum tertidur di sisi ranjang, wajahnya tenang meski sesekali tampak mengerut menahan lelah. Nafasnya teratur, rambutnya sedikit berantakan, dan selimut menutupi tubuhnya hingga bahu.

Reghan duduk di kursi rodanya, di sisi ranjang, menatapnya lama. Sudah hampir satu jam dia hanya diam di sana, tapi dadanya terasa penuh sesak. Tatapan Arum di siang tadi masih terngiang di benaknya, kalimat tajam yang menyiratkan penolakan, tapi juga kejujuran yang membuatnya terpukul.

Perlahan, jemarinya yang besar menggenggam sandaran kursi. Ia menunduk, menarik napas panjang. Lalu, dengan satu hentakan kecil, Reghan berdiri. Kakinya sedikit gemetar, tapi tubuhnya tegak. Tak ada seorang pun di rumah itu yang tahu, bahwa ia sudah bisa berjalan lagi meskipun gak sepenuh membaik.

Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara, mendekati sisi ranjang tempat Arum terlelap. Dari jarak sedekat itu, Reghan bisa melihat bulu mata Arum yang panjang, dan kulit pucatnya yang tampak rapuh dalam cahaya lampu redup.

“Kau benar-benar ... membuatku tak bisa berpura-pura lagi,” gumamnya nyaris tanpa suara.

Dia menunduk sedikit, menatap wajah Arum dengan pandangan yang sulit dijelaskan, antara kagum, marah, dan takut pada perasaan yang mulai tumbuh tanpa izin. Reghan mengulurkan tangan, nyaris menyentuh pipi Arum, tapi segera menariknya kembali. Ia tidak berani, tidak malam ini. Tidak saat ia sendiri belum tahu apakah perasaan itu kelemahan atau penebusan.

Dia mundur perlahan, kembali duduk di kursi rodanya sebelum suara langkah pelan terdengar di koridor luar. Sesaat sebelum pintu kamar menutup, ia sempat berbisik pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.

“Mulai sekarang … aku yang akan menebus semua luka itu, Arum.” Lalu, ia kembali diam di sana, menatap langit-langit kamar hingga matahari hampir terbit.

Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar dengan lembut. Arum masih tertidur, wajahnya tampak lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Sementara itu, Reghan duduk di kursi rodanya dengan napas sedikit memburu. Ia baru saja berhasil duduk kembali setelah mendengar langkah pelan di luar pintu.

Pintu kamar terbuka perlahan setelah ketukan beberapa kali, pelayan masuk sambil membawa nampan sarapan. Aroma kopi hitam dan roti panggang memenuhi udara.

“Selamat pagi, Tuan,” sapa pelayan itu lembut. “Saya bawakan sarapan dan obat untuk Nyonya.”

Reghan mengangguk pelan, berusaha menormalkan posisi tubuhnya di kursi roda.

“Letakkan saja di meja,” jawabnya datar, menahan sisa napas yang tersisa karena tadi hampir ketahuan.

Pelayan meletakkan nampan, lalu melirik Arum yang masih tidur.

“Nyonya sepertinya kelelahan sekali, Tuan. Semalam saya dengar Nyonya belum juga naik ke tempat tidur sampai lewat tengah malam.”

Reghan hanya diam, matanya tertuju pada wajah Arum. Ada rasa bersalah yang muncul pelan-pelan di dadanya. Ia tahu betapa keras kepala wanita itu, tak peduli bagaimana dia diperlakukan, Arum tetap saja merawatnya, memastikan dia makan, memastikan dia tidur.

Saat pelayan keluar, Reghan perlahan berdiri lagi. Tidak tinggi, hanya beberapa langkah ke arah ranjang. Ia menatap Arum lama, lalu menarik selimut yang melorot di bahunya dan menutupinya dengan hati-hati.

“Aku bahkan tidak pantas melihatmu sebaik ini,” ucapnya lirih, hampir seperti mengaku pada diri sendiri.

Namun, sebelum ia sempat kembali duduk, suara ketukan di pintu terdengar lagi.

“Reghan?” suara Oma Hartati terdengar tegas dari luar.

Reghan panik sesaat, lalu buru-buru menjatuhkan diri ke kursi roda. Suara hentakan kecil itu membuat Arum bergerak pelan di bawah selimut. Reghan menahan napas, memejamkan mata, mencoba menenangkan diri seolah tak terjadi apa-apa.

Pintu terbuka, Oma Hartati masuk, menatap cucunya dengan mata yang menelusuri setiap gerak.

“Sudah bangun rupanya. Kau kelihatan pucat, Reghan. Apa kau semalam tak tidur?”

Reghan hanya tersenyum tipis, “Sedikit sulit tidur, Oma. Udara di sini terlalu dingin.”

Oma Hartati berjalan mendekat, memegang bahu cucunya lembut, lalu menatap Arum yang masih tertidur. “Perempuan itu … terlihat tulus, ya?” katanya pelan.

Reghan menatapnya sesaat, lalu hanya mengangguk kecil. “Terlalu tulus, mungkin.”

Oma tersenyum samar, “Kalau begitu, jangan sia-siakan dia, Nak.”

Reghan menunduk, tak sanggup membalas. Karena dalam hatinya, ia tahu, ia sudah mulai jatuh pada seseorang yang seharusnya tidak ia miliki dengan cara yang salah.

Siang itu, halaman depan rumah keluarga Argantara tampak sibuk. Suara langkah kaki para pekerja, tawa kecil, dan dentingan logam dari perlengkapan dekorasi bercampur menjadi satu. Udara siang terasa hangat, tapi suasana di dalam dada Arum justru terasa menekan.

Ia menyambut para vendor dengan sopan, mengarahkan mereka ke area taman belakang tempat pesta akan digelar. Dengan tangan yang cekatan, Arum memeriksa daftar barang, sesekali mengingatkan agar berhati-hati saat memindahkan perlengkapan kristal mahal yang disiapkan untuk pesta Alena dan Elion.

Dari teras, Reghan duduk di kursi rodanya memperhatikan semua itu dalam diam. Matanya mengikuti setiap gerakan Arum yang sibuk, sesekali menyibak rambutnya sendiri yang tertiup angin. Peluh menetes di pelipis wanita itu, tapi senyum ramahnya tetap melekat, senyum yang entah kenapa membuat dada Reghan terasa sesak.

“Berhenti, Arum,” ucap Reghan tiba-tiba. Suaranya pelan tapi tegas.

Arum menoleh, tersenyum kecil. “Kenapa, Tuan?”

“Kau tidak perlu melakukan semua itu. Suruh pelayan yang mengurusnya.”

“Tapi Nona Alena dan Tuan Elion memintaku membantu. Lagipula ini hanya sementara, tidak apa-apa.”

Reghan mengepalkan tangannya di atas roda kursinya. Ia menunduk, mencoba menahan nada suaranya agar tak terdengar seperti perintah.

“Kau bukan pelayan di rumah ini. Aku tidak mau kau kelelahan lagi.”

Belum sempat Arum menjawab, suara tawa ringan terdengar dari arah pintu utama.

“Ah, Kakak ipar ternyata sudah bekerja lebih dulu,” ucap Elion, langkahnya santai sambil menggandeng Alena yang tampak sedikit tegang di sampingnya.

Arum menoleh dan tersenyum sopan. “Oh, kalian sudah pulang. Semua perlengkapan sudah tiba, tinggal menunggu tim dekorasi nanti malam.”

Elion berjalan mendekat, pandangannya sekilas menyapu ke arah Reghan yang hanya duduk diam di kursi roda.

“Bagus sekali, Kakak Ipar. Terima kasih sudah membantu. Aku dan Alena benar-benar beruntung punya ipar seperti, Arum.”

Nada manis Elion terasa dipaksakan, seolah penuh makna tersembunyi. Sementara itu, Alena diam di tempat, menatap Reghan cukup lama, matanya berkaca samar. Namun sebelum pandangan itu sempat bertemu penuh, genggaman tangan Elion di pergelangan Alena menguat.

“Aku rasa pekerjaannya cukup untuk hari ini,” ucap Elion tajam di sela senyumnya. “Sayang, ayo kita lihat lokasi pelaminan di taman.”

Alena hanya menunduk patuh, menahan perih di pergelangan tangannya. Reghan menatap pemandangan itu dengan ekspresi datar, meski dalam dadanya ada gejolak yang sulit ia jelaskan, antara muak, marah, dan iba yang bercampur.

Arum kembali pada catatannya, menutup buku daftar vendor.

“Mungkin nanti malam mereka mulai dekorasi taman, Tuan,” ujarnya pelan, setengah menatap Reghan. “Pestanya besok.”

Reghan hanya menatap Arum lama, kemudian mengangguk tanpa suara. Tapi sorot matanya tak bisa berbohong, kalau ia tidak suka, bukan pada pesta, bukan pada kesibukan tapi pada cara Elion memanggil istrinya kakak ipar dengan nada yang terlalu akrab, terlalu menyakitkan. Karena, Reghan dan Elion, tak seakrab itu.

1
Mama AldyNovi
kyaknya tiap malam hujan deh
Nidah Hanidah
dehhhh heran, emang disitu gak ada cctv ya, kok gak di cek dlu
Surati
Bagus ceritanya 👍🙏🏻
Sunny Sunny
bagus, gak bertele2 alurnya, tokoh Dr Gavin sgt mulia, mencintai tidak berarti memiliki 🙏, cuma sayang tokoh yg jahat kok gak bertobat ya, kyk si mantan
Aisyah Alfatih: buang mantan pada tempat nya 🙊
total 1 replies
Zila Kamsirah
Terima kasih saya suka jalan cerita ini
Nilovar Beik
novel ini AQ tamatkan bacanya dlm sehari...bagus banget
Aisyah Alfatih: terima kasih kak 💕
total 1 replies
Nilovar Beik
bagus Oma...gercep sekali
Nilovar Beik
kasiannya Arum...tega bener ya
Wonti Sudarmi
foto Arum Revano dan reghan mana auotor



foto Arum Revano dan reghan mana
ken darsihk
Arum masih ragu dngn semua nya
ken darsihk
Pelan2 Reaghan jangan memaksa semua nya akan baik2 sajah , klo kamu nya sabar
ken darsihk
Semoga sajah x ini tidak ada lagi prahara yng mengacaukan rumah tangga mereka
ken darsihk
Aq lanjut baca lg thor 🌹🌹👍
Shankara Senja
baru nemu,trus baca eh..pengen tutup buku..maaf saya ga suka wanita lemah dngn berbagai alasan..yg tdnya kabur dngn satu alasan ga masuk akal kembali lg..byeeeee
Shankara Senja
kan..gampang,simpel..udah bucin..mo berdarah darah jg balik lg..
Shankara Senja
ga usah pake kabur deh klo ujung ujung nya bersatu lg....cape cape in aja
ken darsihk
Syedih 😭😭😭😭
Rajo kaciak
/Sun//Sun//Sun/
Rahpuji Haningrum
Oma Hartati sadar diri, kamu dulu yang membiarkan hukum cambuk tanpa dengarkan siapa yang salah
Rahpuji Haningrum
rasakan reghan, cinta kok membiarkan istri dicambuk.
lihatlah dulu siapa yang salah.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!