Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Hasil dari Dugaan
"Lo, ada hubungan apa sih sama Bang Ezra?"
"Hah?" jawab Yuri bertepatan dengan dua Opang datang dan memberikan mereka berdua helm.
Kurang dari sepuluh menit keduanya sampai di halaman samping gedung kelas jurusan. Yuri jalan bersisihan dengan Widya setelah membayar ojek mereka berdua.
Keduanya kini berjalan perlahan menuju lantai dua kelas ujiannya berada. Dia berusaha untuk jalan biasa saja, tapi pelan.
"Jangan bantu gue, Wid," Yuri langsung kasih peringatan ke Widya, sahabatnya. Dia nggak mau jadi tontonan. Sekali lagi Yuri itu paling nggak mau jadi pusat perhatian.
"Iya-iya."
Isa dari jauh melambaikan tangan saat keduanya terlihat berjalan ke arahnya.
"Gimana kondisi lo?" bisik Isa di sebelah Yuri. Dia sudah dapat peringatan sebelumnya dari Yuri yang nggak mau jadi bahan tontonan.
"Be better lah daripada kemarin."
Widya yang baru ingat kalau dia masih penasaran dengan kondisi Yuri kemarin. Kenapa bisa sahabatnya itu tiba-tiba keseleo dengan rambut berantakan dan juga pertanyaan tadi belum dia jawab, langsung bersuara lagi.
"Ri, lo di amuk siapa kemarin sih?" bisik Widya yang cuma bisa di dengar oleh ketiganya.
"Kenapa lo bisa menyimpulkan gitu?" bisik Isa dari sisi seberang. Yuri yang berdiri di tengah mereka seperti tembok saja.
"Lo, nggak lihat kemarin rambut dia awut-awutan dan kaki keseleo. Gue nggak yakin seorang Yuri seceroboh itu."
Isa nggak menjawab atau membantah analisa Widya, dia langsung nengok ke arah Yuri yang dari tadi hanya diam seolah meminta penjelasan.
"Hah," helaan napasnya kasar. Dia sepertinya memang, nggak bisa menyimpan rahasia pada kedua makhluk kepo di samping kanan kirinya ini.
"Jadi?" tanya Widya lagi, badannya sudah mepet-mepet ke arahnya.
"Nanti habis ujian gue ceritain. Puas kalian!," putus sedikit sewot Yuri, daripada dia terus di teror rasa penasaran keduanya kan.
"Oke. Nanti kita tagih ya, Wid," jawab Isa yang diangguki Widya setuju.
***
Dua mata kuliah selesai Yuri lalui hari ini, begitu juga teman-temannya. Otaknya jelas panas dan juga tangannya mendadak keriting. Dia bersyukur tangannya baik-baik saja, nggak ada luka serius. Hanya goresan yang hari ini mulai mengering.
"Oh My, otak gue, peningnya," keluh Widya berjalan gontai di lorong kelas.
"Tangan gue sakit. Loronè," sambung Isa sambil terus memijat tangan kanannya.
"Untung aja yang sakit kaki gue, bukan tangan," kata Yuri ikut dalam obrolan.
"Untung lo bilang?" seru Widya ngegas nggak terima dengan pernyataan sahabatnya itu.
"Ya kan, kalau tangan gue yang kenapa-kenapa, susah buat nulis kan," elak Yuri sambil nyengir.
"Sudah dong. Ini jadi cerita nggak? Mau cerita dimana?" lerai Isa.
"Di kosan baru Yuri saja gimana?"
"Emoh, adhoh. Gue masih mau belajar buat besok ya, Wid. Lain kali saja kita main ke tempat Yuri. Nggak papa kan, Ri?"
"Iya nggak papa. Besok kita ujian dari pagi juga kan."
Ketiganya secara nggak sengaja berpapasan dengan Ezra dan teman-temannya. Widya dan Isa menyapa seperti biasa dan di balas senyuman saja oleh mereka para senior, tetapi Yuri cuma menunduk dan berlalu.
"Kita ke kosan Isa aja lah, di depan ini," putus Widya yang di iyain semua.
***
Kamar kos beasiswa yang dihuni oleh Isa, mendadak penuh sesak dengan kedatangan Yuri dan Widya. Mereka juga membawa beberapa jajanan dan minuman yang mereka beli tadi di depan kampus.
"Eh, tadi kenapa lo cuek gitu sama Bang Ezra, Ri? Bukannya minggu lalu lo seprojek sama dia?" tanya Isa dengan polosnya. Dia sibuk makan cimol pedas.
"Jadi cerita nggak nih?", mencoba mengalihkan.
"Jadilah," jawab keduanya.
Mulailah Yuri bercerita dari awal pertemuannya dengan Ezra di sekre buletin dan proses pemotretan kemarin, munculnya sosok Tania dan geng, sampai kondisi tadi malam dia pulang bareng Ezra yang mana Widya menitipkannya ke seniornya itu. Tapi ada beberapa hal yang dia keep sendiri, seperti pulang bersama, menginap di tempat Ezra, mereka sudah kissing, atau pas tadi pagi Ezra datang ke kosannya. Dia hanya cerita sebagian besar saja.
"Hehehe, sorry ya, Sista. Gue harus buru-buru balik kemarin. Orang tua gue datang."
"Loh, ya...", seru Yuri dengan gerakan ingin menjitak sahabatnya itu. Isa malah cuma cekikikan.
"Parah banget sih Kak Tania. Jahat banget ya, kelakuan dia kayak anak kecil anjir," omel Widya sambil sibuk mengunyah siomay.
"Iya ih. Kayak Bang Ezra pacar dia aja."
"Tapi, mereka memang bukan pasangan kekasih kan?" tanya Widya tiba-tiba.
"Bukan. Bang Ezra bilang kalau Kak Tania itu obsesi sama dia. Sudah banyak korban bully-nya. Padahal sama Bang Ezra juga sudah di peringati bakal di laporin ke pihak kampus dan polisi tapi kayaknya nggak mempan buat gertak itu Nenek sihir."
"Aneh banget. Udah lah ditolak bolak-balik masih aja berharap. Kayak nggak ada cowok lain aja. Padahal ya, di angkatan dia banyak banget yang cakep, tajir dan pinter anjir. Ada Bang Bimo, Bang Fahri, Bang Miko, Bang Edzar. Uuu... para cogan", heboh Widya.
"Ya mereka juga nggak mau kali pacaran sama rubah betina gitu, Wid," jawab Isa sambil mengacung-acungkan tusukan cimol dengan semangat.
"Weitttt. Turunin itu tusukan cimol lo. Ngeri banget."
"Hehehe, sorry. Abisnya gue gedek sama si Tanos itu."
"Tanos?" ketiganya langsung ketawa ngakak dengan penamaan dari Isa untuk kakak tingkatnya itu.
Drrrt drrrt drrrt
"Eh, ponsel siapa tuh?" Isa yang pertama kali sadar. Semua langsung mencari ponsel masing-masing. Ponsel pintar Yuri yang ternyata bergetar. Matanya sibuk memindai teman-temannya yang fokus ke arah layar ponselnya.
"Hehehe, bentar ya," niatnya mau kabur buat angkat telepon dari Ezra.
"Angkat di sini saja lah. Nggak perlu di loudspeaker kok," goda Widya yang di iyain sama Isa kompak. Yuri langsung manyun, bibirnya mengeriting.
Setelah menarik napas panjang, Yuri mengangkat telepon dari Ezra. "Halo."
"Lo di mana, Han? Makan malam bareng yuk."
"Gue di tempat Isa. Nggak deh, makasih."
"Yah, kenapa? Jangan ngehindari gue, Han."
"Sudah dulu ya, Bang. Bye."
Yuri mematikan sambungan telepon begitu saja. Mata-mata penuh selidik dari kedua temannya beradu pandang dengannya.
"Apa?"
"Itu telepon dari Bang Ezra?" kepo Isa. Yuri cuma menjawab dengan anggukan kepala dengan malas. Dia merebahkan dirinya di atas kasur Isa.
"Kok cuma gitu doang?" tanya Widya masih penasaran.
"Ya lo pada berharap apa sih. Nggak ada gue pacaran sama dia."
"Yah, penonton kecewa. Paling nggak kan bisa PDKT lah, Ri."
"Lo mau gue babak belur atau tinggal nama apa? Noh, Tanos dan gengnya masih seliweran di luar sana ya, kalau lo lupa."
"Ah... iya," jawab keduanya serempak tanda mengerti. Dan lagi-lagi ketiganya langsung tertawa.
***
Malam hari, Yuri dan Widya baru pulang dari kosan Isa. Keduanya sama-sama naik Ojol (ojek online) untuk pulang ke rumah masing-masing.
Mereka tadi lanjut makan malam dan belajar untuk ujian besok setelah Yuri selesai bercerita tentang kejadian-kejadian yang menimpa dirinya. Saat belajar, mereka cukup serius, saling tanya jawab dan menghafal beberapa materi yang sekiranya dirasa penting dan kemungkinan keluar di ujian. Pesan singkat yang terus dikirim Ezra jelas Yuri abaikan, ponselnya sampai dia mode senyap.
Sampai di kosan, Yuri dengan sisa-sisa tenaga, sibuk mengunci gerbang kecil jalan keluar masuk dirinya di kosan baru itu. Jalanan sepi, rumah utama juga sepi, hanya ada suara serangga malam dan kodok yang terdengar nyaring, sesampainya di kosan dia merasa nggak perlu lagi akting jalan seperti tadi, capek menguras tenaga banget. Kakinya jelas masih sesekali nyeri, dengan tertatih dia jalan tanpa melihat kanan kiri.
Saat matanya mulai melihat sekitar, di rumah utama dia nggak sengaja bertemu pandang dengan sosok dosen mudanya yang sepertinya juga baru pulang.
"Pak Kenan," lirihnya. Angin malam berhembus menggoyangkan beberapa pohon buah di belakang Yuri menjadi latarnya.
"Yurika!" Kenan juga kaget sampai matanya melotot seolah sedang melihat hantu.