Alvaro Ardiwinata adalah seorang remaja berusia 16 tahun yang terlahir dari keluarga kaya. Namun, meskipun hidup dalam kemewahan, dia merasa tidak pernah menjadi bagian dari keluarga tersebut. Dia lebih dianggap sebagai "anak pelayan" oleh kedua orangtuanya, Jhon dan Santi Ardiwinata. Setiap kesalahan, besar atau kecil, selalu berujung pada hukuman fisik. Meskipun ia berusaha menarik perhatian orang tuanya, mereka tidak peduli padanya, selalu lebih memperhatikan adiknya, Violet. Violet yang selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih, tapi di balik itu ada rasa iri yang mendalam terhadap Alvaro.
Sementara itu, Alvaro berusaha menjalani hidupnya, tapi luka psikologis yang ia alami semakin mendalam. Saat ia beranjak dewasa, ia merasa semakin terasingkan. Tetapi di balik penderitaan itu, ada harapan dan usaha untuk menemukan siapa dirinya dan apakah hidup ini masih memiliki makna bagi dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wèizhī, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Rumah sakit Gintara. Ya, Gintara juga mengoperasikan sebuah rumah sakit. Disinilah Alvaro berakhir dengan dirinya yang kembali terbaring. Dokter keluar dari ruangan bersamaan dengan Ayah Samuel dan Bunda Lily yang datang.
“Apa yang terjadi? Bagaimana Baby?“ Tanya Bunda Lily khawatir.
“Tenanglah Nyonya. Tuan muda baik-baik saja. Namun sepertinya rasa trauma yang didapatkannya mulai merambat dan saya bukan ahlinya. Anda harus mempertemukan Tuan muda dengan dokter psikiater. Bukan bermasuk apa, hanya saja ini berhubungan dengan mental Tuan muda” jelas dokter tersebut memberi keterangan dan saran.
“Tapi… apakah Baby akan menyetujuinya?“ Tampak sepertinya Xavier tak menemukan sebuah solusi untuk ini. Karena Alvaro saja sepertinya kurang suka dengan hal berbau rumah sakit.
“Kita bisa membujuknya nanti, terimakasih. Kau bisa pergi” tukas Ayah Samuel yang lalu ia memasuki ruangan yang ditempati Alvaro.
Sang dokter hanya tersenyum kikuk dan mengangguk lalu berlalu. Dari jauh, tampak sepasang mata memperhatikan hal tersebut dan lalu ia tersenyum, setelahnya orang itu pergi.
Didalam, Alvaro tampak damai dalam tidur nyenyaknya. Dokter sudah menggunakan sebuah obat bius berdosis kecil yang hanya akan membuat orang yang menerima tertidur sebentar. Alvaro perlahan membuka matanya, membiarkan kelopak indah itu menyerap cahaya dan lalu menangkap gambar empat orang yang mengelilinginya dengan tatapan khawatir dan lega diwajah mereka.
“Ugh…” ringisnya saat netra hitamnya terkena paparan sinar dari lampu kamar pasien tersebut.
“Baby” panggil ke empat orang tersebut
“Dimana?“ Tanya Alvaro lemas dengan matanya yang masih tampak sayu.
“Kau di rumah sakit. Baby, apa ada yang terasa sakit?“ Tanya Ayah Samuel
Alvaro hanya diam dan lalu ia menutup matanya dengan lengan kanannya. Entahlah, ia merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia yakin sudah mulai membuka diri pada keluarga Gintara, namun saat ini ia tak ingin mengatakan apapun. Xavier yang mengerti, ia akhirnya menghela nafas ringan dan mengusap surai hitam Alvaro lembut.
“Baby, jika ada apapun itu katakan saja. Tak apa, kami akan mendengarkan dengan seksama dan memberimu bantuan, apapun itu” tukas Xavier dengan senyuman hangatnya namun Alvaro tetap diam saja.
Ia kemudian membuka tangannya dan menatap Xavier dalam. Dia tersentuh, dan mencoba berfikir yang lain. 'Apakah mereka sungguh sudah menerimaku?!“ Batinnya mulai bertanya-tanya namun hatinya yang sudah goyah tak dapat membohongi rasa bahwa dirinya telah menerima Gintara.
Alvaro tersenyum manis dan lalu dia jatuh tidur lagi. Sepertinya efek obat biusnya masih tersisa. Dia jadi sangat mengantuk saat ini.
“Baby. Jangan khawatir. Siapapun itu, yang mencoba dan telah menyakitimu. Akan kami beri pelajaran” ucap Ayah Samuel dengan senyumannya.
—-
Di sekolah, tampak Zea lagi-lagi di kelilingi oleh anak dikelas nya. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki mendekatinya dan beberapa gadis mulai menjauh.
“Hey, Zeany. Apa Alvaro baik-baik saja?“ Tanya laki-laki tersebut yang bernama, Kevin Putra Senjaya.
“Kenapa memang?“ Bukannya menjawab, gadis satu ini malah balik bertanya dengan nada ketus.
“Ayolah, jawab saja” balas Kevin tak kalah ketus.
“Tidak tahu. Kau tanya saja pada si kembar Gintara itu” ucap Zea yang entahlah dia kesal saja pada si kembar yang meninggalkannya dan tak memperbolehkan untuknya menjenguk Alvaro.
“Dihk. Dasar cewek, kalo itu sih mana mungkin. Wong orangnya juga gada di sekolah” ucap Kevin
“Kok lu tahu?“
“Ya tahu lah. Semua pada bicarain perihal kejadian di kantin dan banyak yang bilang si kembar izin sama guru kelasnya”
“Nah itu. Kalo gitu jangan tanya gue”
“Apaansih. Jadi cewek ketus amat, gabakal ada yang suka lho”
“Tck. Serahlah”
Tak berselang lama, guru sejarah datang dengan memberi salam dan mulai mengajar membuat yang lain mau tak mau fokus pada penjelasannya.
Kevin sesekali melirik kearah jendela, ia merasa gusar. Dia mengkhawatirkan Alvaro, apalagi anak itu adalah anak yang pendiam.
Kevin… seorang anak dari keluarga Senjaya. Keluarga yang juga seorang pengusaha namun tak sekaya Gintara. Tapi keluarga Senjaya berada diatas keluarga Ardiwinata, yah begitulah intinya. Namun Senjaya merupakan pengusaha dengan sifat netral yang hanya akan memperhatikan perselisihan antar pengusaha lain. Sedang mereka tak pernah peduli pada musuhnya sendiri.
Keluarga Senjaya, meski begitu tapi mereka juga tak akan segan saat keturunannya disentuh oleh para musuh. Ya, Diam bukan berarti lemah itulah hal utama yang dipegang teguh oleh keluarga Senjaya.
—-
Dirumah sakit, setelah beberapa jam kemudian. Saat ini Alvaro, Xavier, dan Angga tengah bersama dengan berbagai hal diperbincangkan dan dimainkan. Yah, Alvaro sudah merasa lebih baik dan rasa tak nyamannya mulai berkurang karena si kembar terus mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Seperti saat ini;
Alvaro menatap mata Xavier lama. Apa yang sedang mereka lakukan? Itu adalah lomba adu tatap. Siapa yang memulainya? Oh ayolah… Xavier yang dingin dan Alvaro yang pendiam dan cukup tertutup, apakah mungkin? Tentu saja itu Angga yang memulainya!
Sedang si Angga sendiri malah asik nonton dengan cemilan ditangannya. Ia sudah kalah duluan dari Xavier dan Alvaro sebelumnya. Ini bukan hanya sebuah permainan namun juga pertaruhan. Dimana Xavier akan memberikan izin pulang lebih cepat jika kalah, dan Alvaro yang akan memberikan sebuah kecupan didua sisi jika dirinya kalah.
Hah… kanya kecupan? Tapi itulah yang diinginkan oleh seorang Xavier Gintara. Bahkan Angga juga kesal karena tak mendapatkannya, yah lagian apa yang bisa si kalah lakukan.
Kedua insan ini terus saling menatap bahkan saat Ayah Samuel masuk pun tak ada yang berkedip.
“Sedang apa mereka?“ Tanya ayah Samuel pada Angga dan dia lalu mengambil sedikit cemilan Angga.
“Lagi adu tatap” jawab Angga singkat
“Jangan dimakan lah, Yah! Ini punya Baby. Kalo abis nangis tuh anak” ucap Angga yang melihat ayahnya ini terus mengambil camilannya.
“Lah? Kan situ juga makan” ucap ayah Samuel yang memang kan dimakan sama Angga sedari tadi.
“Beda lah. Baby udah kasih izin sama Angga, kalo ayah mah nggak” jawabnya simple yang membuat sang ayah tersenyum kesal.
Sebuah kedipan kecil muncul dimata Xavier dan lalu Xavier langsung mengedipkan kedua matanya karena merasa air matanya akan segera jatuh saking perihnya. Sontak Alvaro langsung bersorak gembira akan kemenangannya.
“Yeayyy!!!! Hahahahaha! Al menang~!“ Soraknya dengan senang dan hanya dibalas gelengan kecil Xavier.
“Tisu” Angga langsung memberikan tisu pada kakaknya itu. Ayah Samuel senang melihat ketiga anaknya akrab, apalagi sejak ada Alvaro. Kedua anaknya ini lebih sering berada dirumah.
Ya, sebelum Alvaro datang. Xavier dan Angga lebih sering menghabiskan waktu di markas. Jarang sekali pulang, saat pulang pun hanya mampir untuk bertemu sang Bunda saja. Membuat Bunda sekaligus istri dari Samuel merasa kesepian.
Jujur, sifat Angga lebih kekanakan dari Xavier. Itu yang disukai oleh Bunda Lily karena sifat ceria Angga bertahan lama. Tapi Angga tetaplah anak dari Samuel yang memiliki wajah datar walau banyak drama— ekhem, yah gitulah. Yang mana pada akhirnya Angga juga jarang pulang, dan lantaran dirinya adalah kembaran dari Xavier. Mereka memiliki kesamaan dalam berbagai hal mau itu tentang keinginan atau kesukaan.
“Baby tertawa. Cantik sekali” ucap Angga tiba-tiba saat ia melihat Alvaro tertawa lepas dengan bahagia.
“Apa?! Kenapa cantik? Kan harusnya ganteng” ucap Alvaro yang menghentikan tawanya dan menatap kesal abangnya itu.
“Ya cantik aja. Lagian wajahmu itu manis, gak ganteng” ucap Angga meneguhkan pendiriannya.
“Ganteng, bang. Bukan cantik. Gada tuh sejarahnya cowok cantik”
“Ada kok. Adek kata siapa gak ada? Belajar sejarah lagi, gih”
“Kalo soal cowo cantik mah kagak mau, bang” ucap Alvaro yang merasa kesal dan lalu merebut camilannya membuat Angga terkekeh geli.
—-
End of Chapter 20