"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku milih siapa
Arman duduk di kursi ruang tamu, wajahnya tegang. Dompetnya kosong, pikirannya penuh beban. Laksmi berdiri di depannya, masih dengan wajah penuh tuntutan.
"Pokoknya, kamu ceraikan Anita!" ujar Laksmi tegas.
Arman mengangkat kepala, menatap ibunya dengan raut tak percaya. "Bu, kok Ibu ngomong gitu?"
"Ya jelas! Dia itu nggak ada gunanya! Cuma makan tidur di rumah, nggak kerja, nggak bantu keuangan keluarga! Lihat sekarang, kamu susah, duit nggak ada!"
Arman mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. "Bu, dulu kan Ibu yang minta semua gaji saya dipegang Ibu. Sekarang habis, kok Anita yang disalahin?"
Laksmi melotot. "Kalau dia kerja, pasti kita nggak kekurangan!"
Arman menarik napas panjang. "Bu, Anita udah kerja keras di rumah. Dia ngurus semuanya, dari rumah, makanan, Amira. Dulu nggak pernah ada tagihan numpuk kayak gini. Kalau Ibu mau jujur, siapa yang bikin kita susah sekarang?"
Laksmi mendengus. "Kamu sekarang belain istri, ya? Lupa sama Ibu yang ngurus kamu dari kecil?"
Arman menggeleng, suaranya melemah. "Bukan gitu, Bu... Tapi Ibu juga harus adil. Selama ini anita aku beri 1/3 gajih ku, 1/3 sama ibu, dan 1/3 aku yang pegang, semuanya aman bu, ga ada cerita tagihan listrik ga kebayar, uang spp lestari juga aman bu"
Laksmi melipat tangan di dada. "Jadi, kamu lebih pilih Anita daripada Ibu?"
Arman menggeleng lagi. "Nggak ada yang milih siapa-siapa, Bu. Saya cuma mau kita sadar, yang salah itu bukan Anita. Jangan terus nyalahin dia."
Laksmi mendecak kesal. "Pokoknya, kalau kamu nggak mau susah terus, ceraikan Anita! Dengerin Ibu!"
Arman terdiam. Dulu, semua perkataan ibunya selalu ia turuti tanpa pikir panjang. Tapi kali ini, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Apakah dia benar-benar akan terus membiarkan ibunya mengatur hidupnya?
Arman memasuki kamar dengan langkah berat. Kepalanya masih penuh dengan ucapan ibunya barusan. Matanya langsung tertuju pada Anita yang sedang berbaring di tempat tidur, membelakanginya.
Biasanya, setiap kali ia pulang, Anita selalu menyambutnya. Entah sekadar bertanya sudah makan atau menyiapkan teh hangat. Tapi kali ini, istrinya hanya diam, memunggunginya seolah tak peduli.
Arman duduk di pinggir tempat tidur, merasa gelisah.
Bukan ini yang ia inginkan.
Kalau saja Anita marah, kalau saja Anita berteriak atau membalas omelan ibunya tadi, mungkin ia bisa membela diri, bisa melawan balik. Tapi Anita justru diam. Dan itu jauh lebih menyakitkan.
Arman menatap punggung istrinya. "Nita..." panggilnya pelan.
Tidak ada jawaban.
Dadanya terasa sesak. Ini semua gara-gara Ibu. Sejak awal, ibunya memang tidak suka pada Anita. Selalu mencari alasan untuk menjelek-jelekkan istrinya, selalu menuntut lebih, selalu ingin mengendalikan semuanya.
Tapi ini ibunya. Orang yang membesarkannya, merawatnya sejak kecil. Ia harus berbakti, harus patuh. Kalau melawan, bukankah itu durhaka?
Tapi Anita…
Sejak menikah, Anita tidak pernah mengeluh. Tidak pernah menuntut ini-itu. Ia mengurus rumah, anak mereka, bahkan selalu sabar menghadapi sikap ibunya yang kasar.
Apa dia tega meninggalkan Anita hanya karena ibunya menyuruh?
Arman menundukkan kepala, jari-jarinya mencengkeram sprei.
Seandainya hidup bisa lebih mudah. Seandainya ia bisa memilih tanpa merasa bersalah.
Tapi ia tidak bisa.
Karena bagaimanapun juga, ibunya adalah orang yang melahirkannya. Dan ia takut…
Takut jadi anak durhaka. Ibunya adalah orang yang sudah melahirkannya, orang yang. Membesarkan nya jadi dia memang wajib menuruti semua perkataan ibunya.
Anita sudah sibuk sejak subuh. Seperti biasa, ia menyapu rumah, mengepel lantai, lalu pergi ke halaman belakang untuk mencuci pakaian.
Di ember, ada baju Arman dan baju Laksmi. Baju Dewi ia biarkan tergeletak di keranjang.
Ia mencuci dengan cepat, pikirannya masih penuh dengan ucapan Laksmi semalam. Disuruh kerja, dianggap tidak berguna, bahkan diminta cerai. Padahal, sejak menikah, ia yang mengurus rumah ini. Tapi tetap saja, ia yang selalu disalahkan.
Suara ribut dari dapur membuat tangannya berhenti mengucek.
"Mana nasi?! Kok nggak ada?!" suara Laksmi melengking. "Kamu ini di rumah kerjaannya apa?!"
Anita menaruh baju yang sedang ia cuci, lalu berjalan masuk ke dapur. Ia melihat Laksmi berdiri di depan rice cooker dengan wajah kesal.
"Beras habis," jawab Anita tanpa ekspresi.
Laksmi membelalak. "Habis?! Kok bisa? Kenapa kamu nggak bilang?!"
Anita menatapnya datar. "Bu, uang belanja ada di Ibu. Kalau ada uang, pasti saya beli."
Laksmi terdiam sejenak. Matanya melirik ke Arman yang baru keluar kamar dengan wajah lelah.
"Arman! Lihat tuh, istrimu! Rumah tangga apa ini? Masa nasi aja nggak ada?"
Arman menatap rice cooker kosong itu, lalu menatap ibunya. Seumur hidupnya, belum pernah rumah ini sampai tidak ada beras. Dan sekarang, baru sekali saja ibunya yang mengatur uang, semuanya sudah kacau.
Belum sempat Arman bicara, suara Dewi dari belakang menyusul.
"Anita! Kenapa bajuku nggak dicuci?"
Anita menoleh ke arah Dewi yang berdiri dengan wajah masam.
"Sabunnya habis."
Dewi mendelik. "Ya belilah! Masa cuma gara-gara nggak ada sabun, bajuku nggak dicuci?"
Anita melipat tangan di dada. "Beli pakai apa? Uang belanja ada di Ibu."
Dewi menoleh ke Laksmi yang masih diam.
Arman memijit dahinya. Baru sekali saja Anita tidak diberi uang, keadaan sudah seperti ini.
Ia benar-benar pusing.
Arman merogoh dompetnya dan menemukan satu lembar uang seratus ribu. Hanya itu yang tersisa. Ia menatap uang itu sejenak sebelum menyerahkannya pada Anita.
"Ini, beli sarapan," katanya sambil menyodorkan uang itu.
Baru saja Anita hendak mengambilnya, tangan Dewi lebih dulu terulur. "Biar aku aja yang beli!" katanya cepat.
Namun, Arman menarik tangannya. "Nggak. Biar Anita yang beli," ucapnya tegas.
Dewi cemberut. "Kenapa harus dia? Aku juga bisa beli!"
Arman menatap adiknya dengan wajah datar. "Alah nanti kamu belikan hal-hal yang ga berguna lagi, masih 27 hari lagi aku gajihan jadi aku harus hemat kaau aku kasih ke kamu sekali ke warung juga habis."
Dewi mendengus kesal, tapi tidak bisa membantah. Anita menerima uang itu tanpa banyak bicara, lalu beranjak pergi.
Laksmi yang sejak tadi hanya diam, dalam hatinya mulai merasa malu. Baru beberapa hari dia memegang semua uang Arman, rumah sudah berantakan. Tagihan listrik tidak terbayar, beras habis, bahkan lauk pun tidak ada.
Padahal dulu, ketika Anita yang mengatur keuangan, segalanya selalu cukup, meski Arman hanya memberikan sepertiga dari gajinya.
Laksmi diam-diam salut. Ia tahu mengatur uang rumah tangga bukan hal mudah, apalagi dengan jumlah yang pas-pasan. Tapi harga dirinya terlalu tinggi untuk mengakuinya.
Ia tidak mau mengakui kalau menantunya ternyata lebih pandai darinya dalam mengurus rumah tangga.
Egonya masih terlalu besar untuk sekadar berkata, Aku salah.
Jadi, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah diam.