Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sembilan
Wajah Utari seketika memerah, dia menggeleng ribut. "Ga begitu, Sayang. Ibu tidur sendiri?"
"Ibu kan ga berani sendirian. Biasanya juga Nisa temenin. Nanti ibu mimpi buruk lagi gimana?"
"Ga, Sayang. Ibu ga akan mimpi buruk. Ok."
Nisa mengangguk. Dia akhirnya dibawa mama Sukma pergi ke kamar. Papa Tama mengajak Utari duduk diikuti oleh Dewa dan Bian. Meski diantara mereka berempat hanya Utari yang wanita, ia tidak merasa canggung sama sekali.
"Tari, papa harap kamu mengambil keputusan secepatnya. Dia bukan lelaki yang pantas kamu dampingi. Papa tadi menghubungi kenalan papa, katanya dia sudah dibebaskan bersyarat."
"Soal itu, Tari udah bilang sama aku, Pah. Dia ga mau menjebloskan orang itu ke penjara, karena mau bagaimana dia juga ayah Nisa. Dia tidak ingin Nisa sampai tahu kalau ayahnya mantan napi."
Papa Tama menghela napas panjang. Padahal dia sangat ingin membuat pria itu membusuk di penjara. Dewa menatap leher Utari yang memar. Sepertinya Utari lupa untuk menutupinya. Beruntung tadi Nisa tidak melihatnya. Tangan Dewa mengepal. Tidak akan dia biarkan siapapun menyakiti Utari.
Bian melihat kemarahan di mata kakaknya. Hatinya tiba-tiba berdesir. Mungkinkah kakaknya juga akan membuat perhitungan pada laki-laki itu?
"Lalu kamu maunya gimana, Tari?"
"Aku mau secepatnya mengurus surat cerai, Pah. Bukti visum yang mama siapkan, akan aku pakai untuk mempercepat proses perceraianku.
"Biar pengacara keluarga yang mengurusnya. Kamu tidak perlu turun langsung Tari."
"Baik, Pah."
"Kalau begitu kamu segera istirahat, itu suruh Bian antar kamu ke kamar."
Utari segera beranjak bersama Bian, setelah mereka meninggalkan ruangan itu, papa Tama menatap putra pertamanya.
"Menurutmu gimana, Dewa?"
"Beri baj*ngan itu pelajaran. Aku akan suruh orangku buat ngasih pelajaran ke dia."
Papa Tama kembali menghela napas panjang. "Sebisa mungkin jangan sampai Tari tahu." Dewa mengangguk.
Bian mengantar Utari sampai di depan pintu kamarnya. "Makasih untuk beberapa hari ini, Bi. Maaf aku udah ganggu waktu kamu."
"Kamu ini ngomong apa, sih? Jangan menjadi asing denganku, Tari. Sampai kapan pun aku masih Bian yang sama seperti Bian delapan tahun yang lalu. Sekarang kamu tidur, tapi jangan kunci pintunya. Aku khawatir nanti kamu mimpi buruk"
Utari menatap Bian cukup lama sebelum dia akhirnya mengangguk.
"Terima kasih, Bi."
Bian menepuk bahu Utari dengan lembut. Pria itu pun segera berlalu meninggalkan Utari. Utari masuk ke kamarnya, dia menatap sekelilingnya dan merasa matanya memanas. Dulu sekali sebelum kedua orang tuanya meninggal, kehidupan seperti inilah yang Utari jalani. Sekarang dia merasa sedang dejavu berada di kamar luas ini.
Utari memutuskan untuk membersihkan dirinya sebelum tidur, dia membuka lemari dan terkejut melihat isinya. Ada setumpuk piyama dan sederet gantungan dress yang masih baru, bahkan dalaman yang di sediakan sesuai dengan ukurannya. Utari yakin jika semua ini disiapkan oleh mama Sukma.
Utari mengambil sepasang dalaman dan set piyama berwarna pink. Utari masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Dia menatap dirinya di pantulan cermin. Bekas cekikan Akmal masih terlihat jelas dan tampak mengerikan. Beruntung Nisa tadi tidak terlalu memperhatikan. Usai mandi, Utari segera merebahkan tubuhnya dan tak lama dia terlelap.
***
"Bu Dewi, tahu ga kalau Akmal tadi sempat dibawa ke kantor polisi?" Seorang tetangga ibu Akmal datang memberitahu mertua Utari itu. Bu Dewi yang sedang asyik menonton yutub, seketika mengangkat wajahnya dengan pucat.
"Dibawa ke kantor polisi? Kenapa?"
"Dengar dengar dia mencekik istrinya. Katanya, sih, gara-gara istrinya dua hari ga pulang sama anaknya."
Setelah mendengar penjelasan tetangganya, bu Dewi mendengus. "Istrinya memang pantas dicekik. Dua hari ga pulang, dia jual diri pasti."
Tetangga bu Dewi mencibir, "Kok bisa bu Dewi punya pikiran begitu sama anak mantunya sendiri? Kalau nafkah dari Akmal banyak, ga mungkin perempuan sampai begitu, Bu. Jangan-jangan emang anak Bu Dewi pelit. Ngasi uang belanja seuprit."
"Eh, Bu Anas, jangan sembarangan. Biar anak saya kerja pabrikan dia ga pelit sama istrinya."
"Bu Dewi mana tahu, anak bu Dewi itu juga kabarnya selingkuh. Pasti sulit menghidupi dua perempuan sekaligus. Mana setiap bulan masih harus ngasih uang ke bu Dewi."
"Ah, bilang aja bu Anas iri sama saya."
"Saya, iri? Ga mungkin, Bu Dewi. Saya ini cuma ngasih tahu bu Dewi. Soal jatah dari anak, saya sama sekali ga ngiri, Bu. Saya masih dapat uang pensiunan dari almarhum suami saya."
Bu Anas yang kadung kesal, akhirnya pergi meninggalkan bu Dewi. Bu Dewi segera mencari nomor putranya dan menghubunginya. Setelah terhubung, Bu Dewi memarahi Akmal habis habisan.
"Bodoh, kenapa sampai ada yang tahu kamu selingkuh?"
"Apa sih, Bu? Baru nelpon udah marah," gerutu Akmal.
"Ada yang lihat kamu selingkuh, Kamu ini gimana?"
"Bu, kota ini luas. Aku ga mungkin menghindar. Aku juga kan ga tahu siapa yang harus aku hindari."
"Kalau gitu baiknya kamu segera ceraikan Utari saja."
"Aku usahain, Bu."
Keesokan harinya, Akmal pergi ke pabrik, seperti biasanya. Dia bekerja seperti hari normal umumnya, hanya saja, hari ini terasa aneh. Semua teman-temannya menatapnya dengan pandangan meremehkan. Entah mengapa perasaan Akmal mulai tak nyaman.
Saat Akmal mendekati teman satu timnya, mereka menjauhinya. "Maaf, Mal, kita beda kasta."
"Apaan, sih?" tanya Akmal kesal.
"Jangan pura pura ga tahu, Mal."
"Kamu ngomong apa, sih, Jo?"
"Selama ini kamu selalu nolak makan sama kita, ternyata kamu jadi gundiknya bu Hana?"
Akmal menatap Johan temannya dengan tajam. Dari mana Johan tahu?
"Seluruh karyawan di pabrik ini mungkin udah pada tahu kalau kamu ada hubungan sama bu Hana. Ada nomor ga dikenal mengirim rekaman suara kamu dan bu Hana. Bahkan percakapan kalian terdengar jelas sekali. Kalian ini benar-benar mengerikan."
Alis Akmal berkerut. Dia sudah lama tidak membuka grup di pabriknya. Saat dia melihat grup di ponselnya ada 3000 pesan belum dibuka. Saat Akmal membukanya dia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Udah, kamu dengerin ini aja. Ga perlu nyari sendiri." Johan menatap Akmal dengan dingin. Dulu dia sempat bersaing dengan Akmal untuk mendapatkan Utari, tapi nyatanya Utari lebih memilih Akmal dan sekarang Akmal menyakiti Utari. Jika saja dia tidak mengingat hubungan lamanya, dia pasti akan menghajar Akmal.
Wajah Akmal berubah dari putih menjadi merah. Dia marah dan cemas. Di sana seluruh percakapannya membicarakan tentang Utari. Akmal tahu kapan ini direkam.
Tangan Akmal mengepal. Dia menyerahkan ponsel Johan dan hendak pergi mencari Hana. Namun, tiba-tiba dia dipanggil oleh supervisornya.
Entah mengapa, Akmal mempunyai firasat buruk tentang masalah ini.
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu