Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 20
Pagi itu, sinar matahari yang lembut menyusup melalui jendela kamar Renjana, membangunkannya perlahan dari tidurnya yang lelap. Suasana pagi di panti terasa tenang, seperti biasa. Suara burung bernyanyi di luar dan angin yang berhembus pelan membuatnya merasa sedikit lebih tenang setelah malam yang penuh kecemasan. Hari itu adalah hari libur Renjana dan dia berencana untuk pulang ke rumah Nek Ayun setelah memastikan semuanya berjalan baik di panti.
Namun, sebelum benar-benar pergi, Renjana merasa ada satu hal yang harus dia pastikan terlebih dahulu. Dia menghela napas panjang, menenangkan diri, lalu bergerak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada sesuatu yang mengganjal. Pikirannya terus teringat pada Adi dan kondisi anak itu yang sebelumnya sangat mengkhawatirkan.
Renjana berjalan menuju ruang anak-anak, berharap bisa memastikan semuanya berjalan baik. Begitu dia sampai, matanya langsung mencari-cari ke dalam ruangan. Dia memeriksa satu per satu, tetapi perasaan gelisah di dalam dirinya semakin mendalam. Tidak ada tanda-tanda bahwa Adi sudah kembali.
Hatinya mulai berdebar. Kenapa Adi belum kembali? pikirnya dengan cemas. Dia sempat terhenti sejenak di depan ranjang Adi, memeriksa apakah ada tanda-tanda lain yang bisa menjelaskan keterlambatan itu. Tetapi tak ada apapun yang bisa memberi jawaban jelas.
Namun, Renjana buru-buru menepis pikirannya. "Jangan berpikir buruk," katanya dalam hati, berusaha menenangkan dirinya. Mungkin setelah dia pulang nanti, Adi sudah kembali, seperti biasa. Setelah semuanya beres, Adi akan dibawa pulang oleh Helena atau akan mendapatkan perawatan lebih lanjut. Mungkin saja Adi memerlukan lebih banyak waktu untuk pulih, dan itu alasan mengapa dia belum kembali.
Renjana mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Setelah semua yang terjadi, dia sadar bahwa dirinya mungkin terlalu terbawa perasaan dan terlalu terfokus pada hal-hal yang tidak jelas. Dia ingin mempercayai bahwa ini adalah masalah yang sederhana—bahwa anak itu mungkin hanya memerlukan waktu lebih untuk pulih, dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Dengan langkah yang agak ragu, Renjana melangkah keluar dari ruang anak-anak dan menuju ke pintu depan. Renjana pamit pada Naya yang berjaga di meja resepsionisnya. Dan melangkah keluar. Sebelum lebih jauh, dia memberi pandangan terakhir ke gedung yang menyimpan banyak misteri itu.
Perjalanan dari panti menuju rumah Nek Ayun cukup tenang, tidak ada banyak penumpang pagi itu, Renjana sibuk dengan pikirannya sendiri. Renjana tiba di rumah Nek Ayun dengan perasaan sedikit lega setelah melewati perjalanan panjang. Begitu sampai, dia disambut dengan cucu Nek Ayun yang sedang berada di rumah. Cucunya dengan senyum ramah membuka pintu kamar Renjana dan menyapanya dengan hangat. Setelah masuk, Renjana meletakkan tasnya dan beristirahat sejenak di dalam kamar, merasakan sejuknya udara rumah yang nyaman.
Sekitar pukul 11 siang, setelah beristirahat, Renjana bangun dan mengambil tasnya, berencana untuk mencari makan di luar. Setelah mengunci pintu kamar, Renjana berjalan keluar dan mendapati Agnes dan Susan, anak-anak dari Pak Benos, sedang asyik bermain boneka di teras depan rumah Nek Ayun. Mereka tertawa dan bercakap-cakap ceria, sementara boneka mereka tergeletak di antara mereka berdua.
Renjana berhenti sejenak dan memandangi mereka, senyum kecil terukir di wajahnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya—pita merah yang dikenakan Susan di pergelangan tangannya. Pita itu tampak cerah dan mencolok, seolah-olah ada sesuatu yang tak biasa.
"Ah, pita yang kamu pakai itu cantik sekali. Di mana belinya?" tanya Renjana sambil melangkah mendekat.
Susan tersenyum bangga, namun Agnes yang berada di sampingnya segera menjawab, "Kami tidak membelinya, Kak."
Susan menimpali, matanya berbinar, "Kami menemukannya di pinggir sungai. Kami menemukannya terlepas dari sebuah bungkusan sampah yang bau amis."
Renjana mendengarnya dengan penuh perhatian. "Bungkusan sampah?" tanyanya, berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang mulai tumbuh. "Apa isinya?"
Agnes menggelengkan kepalanya, namun Susan menambahkan, "Kami hanya melihat bungkusan itu terseret terbawa air sungai begitu saja. Pita merah itu mengikat bungkusan itu dan tersangkut di ranting pohon. Ada bau yang keluar dari dalamnya… seperti bau amis, seperti ikan yang busuk."
Agnes menimpali, "Agnes sudah bilang sama Susan untuk membuang pita itu, tapi dia malah mencucinya dengan sabun."
Susan tak mau kalah. "Kan yang penting bersih, Kak Agnes."
Hati Renjana berdebar. Pikiran buruk mulai terlintas di benaknya. Apakah bungkusan itu sama dengan yang pernah dia lihat di panti? Namun, dia tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Tidak ada cukup bukti, dan dia merasa ragu untuk menyampaikan kecurigaannya pada anak-anak itu. Walaupun begitu, rasa penasaran semakin menggerogoti dirinya.
"Apa kaliam masih ingat tempat bungkusan itu dibuang?" Renjana bertanya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya kebetulan.
"Sungai, Kak," jawab Susan dengan percaya diri. "Di dekat sana, di pinggir sungai. Kami pergi ke sana setiap sore."
Renjana hanya mengangguk pelan, meski di dalam hatinya, rasa curiga itu semakin dalam. Dia memutuskan untuk menyusuri sungai yang mereka maksud, berharap menemukan sesuatu yang bisa memberinya petunjuk lebih lanjut.
Dengan langkah cepat, Renjana pergi menuju tepi sungai yang tidak jauh dari rumah Nek Ayun. Setiap langkahnya dipenuhi rasa cemas dan penasaran. Namun, setelah beberapa lama berjalan menyusuri aliran sungai, dia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada bungkusan atau petunjuk yang menunjukkan apa pun yang bisa mengarahkannya pada jawaban yang dia cari. Hanya kesunyian dan aliran air yang terdengar monoton.
Tiba-tiba, Renjana mendengar suara motor gerobak yang mendekat. Dia menoleh dan melihat Nek Ayun yang sedang mematikannya di dekat pintu rumah. Suara deru mesin itu menginterupsi pikirannya yang penuh keraguan.
"Renjana, kamu sedang apa?" tanya Nek Ayun dengan nada yang lembut, namun Renjana bisa melihat sedikit keheranan di wajahnya.
Renjana menghela napas panjang, merasakan kelelahan yang mulai menghinggapinya. "Tidak apa-apa, Nek," jawabnya dengan tersenyum, meskipun di dalam hatinya masih ada rasa tidak tenang yang mengganggu.
Nek Ayun mengangguk pelan, namun terlihat jelas kalau dia tahu ada sesuatu yang sedang mengganggu Renjana. "Cobalah jangan terlalu khawatir, Nak. Terkadang kita terlalu banyak berpikir tentang hal-hal yang belum tentu terjadi. Tapi jika ada yang ingin kamu cari atau tanyakan, aku selalu siap membantu."
Renjana tersenyum kecil, berterima kasih atas perhatian Nek Ayun, meskipun dia masih merasa ada banyak misteri yang belum terungkap. Sebelum dia kembali ke rumah, pandangannya sesaat melintas ke arah sungai yang tenang, perasaan tak pasti menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang tidak beres, dan Renjana tahu, ini baru permulaan dari teka-teki besar yang harus dia pecahkan.