Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Percaya Aku
Harry mendorong piringnya agar lebih dekat ke ibunya, memastikan wanita itu makan dengan cukup sebelum benar-benar pulang ke rumah hari ini. Dokter telah menyatakan ibunya boleh pulang, meski tetap harus menjalani rawat jalan.
Dan dari seberang jalan, tampak Zayyan tengah bersiap menyeberang menuju rumah makan sederhana tersebut. Langkahnya teratur, matanya waspada, menoleh ke kanan dan kiri memastikan jalanan cukup aman untuk diseberangi.
“Bunda, sekarang Bunda nggak usah khawatir lagi soal biaya pengobatan. Meski harus sering bolak-balik ke Rumah Sakit." ujar Harry, mencoba terdengar tenang. “Harry udah bisa cari uang sendiri, dan mudah. Sekarang, Bunda tinggal fokus buat sembuh.”
Mata sang ibu berkaca-kaca mendengar ucapan itu. Ia menggenggam tangan anaknya, “Terima kasih, Harry...” suaranya gemetar. “Kamu sudah mau merawat Bunda dengan sepenuh hati. Bunda... nggak bisa balas semua ini dengan apapun, Nak. Tapi... Bunda akan selalu doakan kamu. Semoga hidupmu selalu diberkahi Allah.”
Harry hanya menunduk.
Ia tidak sanggup membalas tatapan teduh ibunya. Dalam benaknya, suara hati terus berteriak, menegur caranya yang salah. Namun wajah ibunya, yang tersenyum dengan penuh harap, membuatnya lumpuh. Ia tak sanggup jujur.
“Harry... baik-baik ya, Nak. Jangan terlalu capek. Jangan lupa sholat.”
“Iya, Bunda...” jawabnya lirih.
Harry mengalihkan pandangan sejenak, menahan sesak di dadanya. Tepat saat itu, ponselnya bergetar pelan di dalam saku jaketnya. Ia mengambilnya dengan cepat. Dan tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat.
“Yes! Gue menang lagi!” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Jemarinya langsung mengetik sesuatu dengan cepat, sebelum menyembunyikan ponsel itu lagi.
Namun, kilat cahaya dari layar yang masih menyala sempat memantul di matanya. Cahaya kemenangan atau ketamakan? Tak ada yang tahu.
Dari arah luar, Zayyan akhirnya tiba di depan rumah makan sederhana itu. Ia melihat sekeliling, matanya menangkap sosok familiar yang duduk di dekat jendela.
Harry? batinnya.
Zayyan masuk dengan langkah tenang, mencoba untuk tidak terusik. Saat itulah Harry merasakan kehadiran seseorang, dan ketika menoleh, pandangannya langsung beradu dengan pria yang kini menjadi suami sah Aira.
Sejenak, suasana terasa beku. Tatapan Harry menyala marah saat melihat sosok Zayyan di ambang pintu rumah makan. Tanpa basa-basi, ia berdiri dengan gerakan kasar, lalu mendorong Zayyan keluar hingga punggung pria itu menghantam tembok di sisi luar.
“Ternyata kita ketemu di tempat yang pas juga, ya?” ucap Harry. Senyum sinis menyelip di sudut bibirnya.
Zayyan tetap tenang meski didorong dengan kasar. Ia tak bergeming.
“Gue nggak akan biarkan elo hidup tenang bersama Aira,” lanjut Harry, matanya menajam. “Meskipun sekarang elo udah jadi suaminya, gue bakal pastikan elo nggak akan pernah benar-benar memilikinya.”
Zayyan menatapnya datar. “Kenapa elo harus ngotorin tangan lo sendiri dengan kebencian? Hidup nggak harus sekelam itu.”
Harry mendengus. “Aira itu milik gue. Lima tahun. Lima tahun kami jalanin semuanya bareng. Lo pikir kami cuma saling sapa doang? Kami deket. Deket banget.”
Zayyan menatapnya. Diam.
“Kami udah terbiasa bareng. Gandengan tangan ke mana-mana. Kencan tiap minggu. Bahkan…” Harry mencondongkan tubuhnya, menekankan nada suaranya. “Bahkan udah nggak asing lagi sama hal-hal yang… lo bisa bayangin sendiri lah, kalau pasangan udah selama itu.”
Zayyan menatapnya, kali ini dengan sorot berbeda. Campuran lelah dan jengah. “Gue percaya Aira. Dia gadis yang tahu caranya menjaga harga diri. Dia bukan milik siapa-siapa… dan sekarang dia memilih jadi istriku.”
Harry mencengkeram kerah Zayyan lebih keras, suara mendesak dari tenggorokannya keluar, “Lo kira lo laki-laki suci? Ngaku pelindung tapi rebut istri orang lain!”
Zayyan menarik napas panjang, lalu mengangkat tangan pelan, melepaskan cekalan itu tanpa kekerasan. “Dia bukan istri orang waktu kami menikah. Aira bebas memilih jalannya. Dan dia memilih aku.”
"Hahaha... Itu pasti karna keterpaksaan. Hati elo nggak bakal tenang karna Aira itu nggak pernah mencintai lo," sarkas Harry.
Dan saat itulah, Zayyan lemah.
Tiba-tiba, suara roda besi yang berderit memecah ketegangan. Seorang wanita keluar dari rumah makan, mendorong sendiri kursi rodanya, wajahnya terlihat cemas. “Harry, ada apa nak?”
Seketika, Harry melepaskan cekalannya. Wajahnya berubah datar, penuh kontrol. “Ah, tidak ada apa-apa, Bunda. Cuma ketemu teman lama.”
Zayyan terpaku.
Matanya menatap wanita itu. Wanita yang memancarkan aura kecantikan murni tapi tampak lelah dan letih. Seperti menahan sakit bertahun-tahun lamanya. Dan, anehnya. Tampak familiar.
Harry menoleh sekilas sebelum mendorong kursi roda ibunya menjauh. “Gue belum selesai. Lo belum tahu siapa sebenarnya yang lo lawan.”
Zayyan berdiri mematung. Kata-kata Harry menggantung di udara, namun ia tahu satu hal pasti. Apapun rencana busuk Harry, ia tak akan goyah.
Ia percaya pada Aira.
Dan cinta yang dijaga dengan kehormatan, tak akan mudah runtuh oleh kebohongan masa lalu.
Zayyan berdiri di dekat meja pelanggan sambil menunggu pesanannya yang masih dalam antrean. Kepalanya sedikit tertunduk, pikirannya masih tersangkut pada ucapan Harry tadi. Yang entah kebenaran atau kebohongan.
Tiba-tiba, suara riang terdengar dari belakangnya. “Astaghfirullah... aku nggak salah lihat kan? Ini kamu suaminya Bunda Aira, ya?”
Zayyan menoleh pelan. Seorang wanita seumuran Aira dengan jilbab mencolok dan senyum lebar sudah berdiri di hadapannya. Ekspresinya terlalu akrab untuk orang yang baru dikenal.
“Maaf, Anda siapa?” tanya Zayyan dengan nada datar.
“Aduh, maaf banget,” katanya tergelak kecil. “Aku Bunda Anita. Temannya istri kamu. Kami ngajar bareng di TK.”
“Oh.” Zayyan mengangguk pelan, tidak banyak berkata.
“Ya ampun, aslinya kamu dingin banget, ya? Tapi kalau dilihat dari dekat... hmm, ternyata tampan juga,” ujarnya sambil tersenyum sok akrab.
Zayyan hanya melirik singkat lalu memalingkan pandangannya ke arah dapur. Dalam hatinya, ia berharap pesanan segera selesai agar bisa cepat pergi.
“Ih, cuek banget sih ternyata suaminya Bunda Aira. Tapi boleh dong ya minta foto sebentar aja? Buat kenang-kenangan...”
“Maaf, saya buru-buru,” ujar Zayyan.
“Yaaah, sebentar aja! Astaga, nanti aku laporin loh ke Bunda Aira kalo suaminya super jutek dan nggak sopan. Bisa repot lho, hehehe…”
Zayyan terdiam. Ia menghela napas pelan. Tak ingin Aira terseret dalam masalah yang tak perlu, ia pun mengalah. “Baiklah. Tapi cepat saja.”
“Nah, gitu dong! Masa harus dipaksa dulu, hihihi...” Bunda Anita segera mengambil ponselnya dan bersiap selfie.
Selesai berfoto, Zayyan langsung mengambil pesanannya yang akhirnya siap. Tanpa banyak bicara, ia mengangguk kecil sebagai pamit, lalu melangkah keluar. Langkahnya cepat, ingin segera menjauh dari semua keributan ini.
"Ih, ganteng banget ih suami Bunda Aira. Dia itu kok beruntung banget ya punya suami se cool itu. Aku jadi merasa tertantang untuk bisa deket dengannya. Aku deketin dulu deh Bunda Aira."
😢💔😔