“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Wira vs Chaca
Wanita itu tersenyum getir mendengar permintaan kakak iparnya tersebut. Hatinya bertanya-tanya mengapa pria itu begitu menginginkan ia harus menikah dengannya.
“Kalau kamu sangat menyayangi anakmu dan ingin bersama Aqila, maka setujui permintaan keluarga saya,” ujar Wira begitu tajam didengarnya.
“Mengapa? Mengapa saya harus menuruti permintaan kalian, Pak? Saya masih sanggup merawat dan mengurus anak saya sendiri! Tidak perlu menikah dengan Anda! Kembalikan anak saya!” desak Chaca masih menolak permintaan pria itu.
Pria itu mengeram pelan, rahangnya semakin mengeras, kedua tangannya yang masih memeluk tubuh adik iparnya, kini bagaikan tali yang mengikat kecang tubuh Chaca dan terasa semakin sesak bagi wanita itu.
“Jika hanya ingin mendapatkan anak, carilah wanita yang lebih baik—“
Tubuh Chaca tersentak dan semakin merapat dengan tubuh pria itu, tak ada jarak yang memisahkan. Wanita itu bisa merasakan degup jantung Wira yang tampak berdebar dengan cepatnya.
“Jangan mengajari saya, Chaca! Jika kamu memang tidak menginginkan. Baiklah, rasakan keputusanmu itu! Hak asuhmu akan saya ambil secara hukum, dan kamu tidak akan berhak melihat bahkan memiliki Aqila!” sentak Wira, kemudian ia melepaskan pelukannya, dan tak sengaja ia mendorong wanita hingga terjerembap di lantai.
“Akh!” Chaca meringis kesakitan.
Wira yang tidak bermaksud membuat Chaca terjatuh, tidak membantunya berdiri, ego marahnya lebih besar menahan dirinya untuk tidak meraih wanita itu kembali.
Hati Chaca semakin tersayat, ia menggigit bibirnya demi menahan rasa kesakitannya yang menjalar di relung hatinya. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya, menatap Wira yang masih berdiri di hadapannya.
“Mengapa tidak bunuh saya saja? Agar kalian bisa bebas mengambil anak saya?” tanya Chaca malah menantang pria itu.
Memerahlah wajah Wira, kemudian ia mendekat lalu berjongkok. Matanya menyalak saat pandangan matanya beradu, dicapitnya dagu Chaca dengan kasarnya.
“Akh!” Wajah Chaca agak mendongak.
“Maksud kamu apa berkata seperti itu? Sudah bosan hidup ... hah! Katanya kamu sayang dengan Aqila tapi sekarang minta dibunuh? Ibu macam apa kamu itu! Memangnya kamu sudah siap mati! Atau kamu ini saking cinta sama Ezzar ingin menyusulnya ke sana, begitu!” Suara Wira menggema di dalam kamar, hatinya mendidih luar biasa.
Chaca tergelak tawa. “Cinta! Apa itu cinta, Pak Wira?” Mata Chaca mulai memanas ingin menumpahkan air matanya yang sudah mendesak ujung matanya.
Wira tertegun, tapi tertutupi dengan raut wajah arogannya.
“Saya menyesalinya semuanya. Seharusnya saya sejak dulu sudah pergi dari sini! Seharusnya saya tidak menuntut tanggung jawab!” Suara Chaca agak bergetar, lalu ditepisnya tangan Wira dari dagunya.
Pria itu mendesis pelan, lalu menyentuh kedua bahu wanita itu. “Jika kamu berniat ingin bunuh diri, jangan pernah lakukan di sini. Saya akan mengizinkan kamu keluar dari kamar ini, lakukanlah di luar sana. Tapi, sekali lagi saya tidak akan mengizinkan kamu untuk melihat Aqila meski kamu menangis, berteriak, atau berpura-pura pingsan di hadapan saya! Seharusnya kamu itu berterima kasih saya mau menikah denganmu, menerima bekas adikku dan mau merawat Aqila!” tegas Wira, ia masih bersikeras dengan keputusannya.
Lagi-lagi, Chaca terkekeh pelan. Ia sudah tahu maksud dibalik pernikahan yang diinginkan Wira. Ya, hanya untuk mengandung dan melahirkan anak Wira, lalu pernikahannya akan selesai.
“Ayo berdiri, kalau memang kamu ingin melakukannya sekarang,” pinta Wira agak memaksa Chaca untuk berdiri.
“Aww!” Pandangan mata Chaca mendadak berputar-putar saat dipaksa berdiri.
Chaca memejamkan matanya, tubuhnya limbung. Wira yang sebelumnya memaksa wanita itu berdiri, spontan memegang lengannya agar tidak terjatuh lagi. Namun, tangannya terasa dingin dan kasar, tidak ada kehangatan di sana. Chaca tahu, ini bukan pertolongan, melainkan refleks dari tubuhnya.
“Lihat diri kamu, Chaca,” ucap Wira dengan nada penuh ejekan. “Kamu bahkan tidak sanggup berdiri tegak. Bagaimana kamu bisa merawat Aqila jika kondisi kamu seperti ini?”
Chaca membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah pria di depannya. “Kondisi saya tidak ada hubungannya dengan anak saya. Aqila adalah milik saya, bukan milik keluarga Anda.”
Wira mendengus, menarik napas panjang seolah sedang menahan emosi. “Aqila adalah bagian dari keluarga kami. Jika kamu tidak mau bekerja sama, saya akan memastikan kamu kehilangan segalanya, Chaca.”
Chaca mencoba berdiri sendiri, meski lututnya terasa gemetar. “Anda tahu apa yang paling menyakitkan, Pak Wira? Bukan kehilangan Aqila, bukan kehilangan Mas Ezzar, tapi kehilangan harga diri saya. Selama tiga tahun ini, saya dipaksa menunduk kepada keluarga Anda. Dan sekarang, Anda ingin saya menikahi Bapak demi anak saya? Itu penghinaan terbesar.”
Wira memutar matanya. “Kamu selalu dramatis, Chaca. Saya memberikanmu kesempatan yang adil. Saya bisa saja membuangmu keluar dari mansion ini bersama Aqila saat Ezzar meninggal, tapi saya tidak melakukannya. Jadi, berhenti bersikap seperti korban.”
Chaca terkekeh getir, matanya memerah. “Tentu saja, Pak Wira tidak membuang saya. Bukan karena kebaikan hati, tapi karena Bapak ingin mengendalikan saya. Bapak pikir saya tidak tahu alasan sebenarnya?”
Wira memiringkan kepalanya, menatap Chaca dengan tatapan tajam. “Dan menurutmu, apa alasan saya?”
Chaca melangkah maju, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia menatap langsung ke mata pria itu. “Pak Wira ingin saya menjadi alat. Alat untuk melahirkan anak-anak Pak Wira, lalu setelah itu membuang saya seperti sampah. Itu tujuan Anda, ‘kan?”
Rahasia di balik permintaan pernikahan hampir terungkap, walau sebenarnya ada hal yang lain. Dan, hanya Wira saja yang tahu. Pria itu mendekat, memegangi kedua bahu Chaca dengan erat. “Jaga mulutmu, Chaca. Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
Chaca tersenyum lemah. “Oh, saya tahu, Pak Wira. Saya tahu betul. Karena istri Pak Wira yang mengatakannya. Tapi biar saya beri tahu satu hal ... saya lebih baik mati daripada menjadi bagian dari rencana busukmu.”
***
Ketegangan di antara mereka seperti tali yang semakin menegang, siap putus kapan saja. Wira melepaskan genggamannya, melangkah mundur sambil mengatur napas. Chaca tidak bergerak, meskipun tubuhnya mulai bergetar. Ia tahu, apa pun yang akan terjadi, ia harus tetap kuat demi Aqila.
“Kamu keras kepala, Chaca,” ujar Wira akhirnya, suaranya terdengar lebih tenang, namun nadanya masih mengancam. “Saya memberimu pilihan, tapi kamu memilih jalan sulit. Jangan salahkan saya jika saya mengambil langkah yang lebih tegas.”
Chaca menatap pria itu dengan mata penuh kebencian. “Lakukan apa yang Anda mau, Pak Wira. Tapi saya bersumpah, saya akan melawanmu sampai napas terakhirku.”
Wira hanya tersenyum miring, lalu berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Namun sebelum menutup pintu, ia berkata, “Pikirkan baik-baik, Chaca. Waktu kamu tidak banyak.”
Setelah Wira pergi, Chaca duduk di tepi ranjang. Pikirannya kacau. Ia tahu Wira tidak main-main dengan ancamannya. Pria itu memiliki kuasa, uang, dan dukungan keluarganya. Sedangkan dirinya hanya seorang wanita lemah tanpa dukungan siapa pun. Namun, Chaca tidak bisa menyerah begitu saja. Ia tidak akan membiarkan anaknya tumbuh tanpa kasih sayang ibunya.
Air matanya mengalir deras. Ia memikirkan Aqila, bayangan senyum anak itu menjadi satu-satunya penguat dirinya. “Tunggu Mama, Nak. Mama akan menemukanmu,” gumamnya lirih.
Dalam keheningan malam, Chaca mencoba menyusun rencana. Ia harus mencoba kembali melarikan diri dari mansion ini, tapi sebelumnya harus menemukan Aqila, dan memulai hidup baru. Namun, bagaimana caranya? Semua pintu terkunci, dan setiap gerak-geriknya diawasi.
Tiba-tiba, ingatan tentang teman baik yang ia kenal di sosial media, Rayya, muncul di benaknya. Rayya adalah seorang pengacara yang pernah menawarkan bantuan ketika Ezzar meninggal.
Mungkin Rayya bisa membantunya keluar dari situasi ini. Tapi untuk menghubunginya, Chaca harus mendapatkan akses ke telepon atau keluar dari mansion ini. Ponselnya sudah disita Wira.
Bersambung ... ✍️