Jika ada yang bertanya apa yang membuatku menyesal dalam menjalankan rumah tangga? maka akan aku jawab, yaitu melakukan poligami atas dasar kemauan dari orang tua yang menginginkan cucu laki-laki. Hingga membuat istri dan anakku perlahan pergi dari kehidupanku. Andai saja aku tidak melakukan poligami, mungkin anak dan istriku masih bersamaku hingga maut memisahkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 HARUS RISEGN
Laras mengangkat wajahnya, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca, tapi dia tidak mengatakan apa pun.
Aku menghela napas. "Aku tidak ingin rumah tangga ini berantakan. Jadi, pastikan kamu mengikuti semua peraturan ini."
Laras menutup buku catatan itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Aku bisa melihat dia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menahannya.
Aku berdiri, menatapnya tajam. "Mulai hari ini, kamu adalah istriku. Aku harap kamu bisa menerima semua ini."
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ini adalah peraturan terakhir yang akan aku sampaikan, dan aku tahu ini akan sangat berat bagi Laras. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku merasa cemas melihat ekspresinya yang mulai berubah saat aku bersiap untuk mengatakan hal berikutnya.
"Peraturan terakhir," ucapku dengan suara yang lebih serius. "Aku ingin kamu resign dari pekerjaanmu."
Aku bisa melihat Laras terkejut, matanya terbelalak sejenak. "Resign?" tanyanya dengan nada yang sedikit ragu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar dariku. "Tapi, aku—"
"Aku tahu kamu nyaman dengan pekerjaanmu sekarang, apalagi dengan gaji yang cukup besar," lanjutku tanpa memberinya kesempatan untuk melanjutkan. "Tapi, aku ingin kamu fokus pada peranmu sebagai istri, bukan sebagai karyawan. Rumah tangga ini butuh perhatian penuh dari dirimu, dan aku tidak ingin ada hal lain yang mengganggu itu."
Laras terlihat bingung, matanya menatapku seakan mencari pemahaman yang lebih jelas. Aku bisa merasakan keengganan dan pertentangan di dalam dirinya, tapi aku tetap melanjutkan.
"Kamu sudah cukup bekerja keras, dan sekarang waktunya untuk fokus pada keluarga ini. Aku ingin kamu di rumah, mengurus suami dan anak-anak—bukan lagi mengejar karier yang menurutku tidak lagi sejalan dengan apa yang kita bangun di sini."
Aku bisa melihat bibir Laras sedikit bergetar, mungkin menahan perasaan yang sulit untuk diungkapkan. Aku tahu ini bukanlah keputusan yang mudah baginya. Dia sudah terbiasa dengan kemandirian dan penghasilan yang dia miliki. Tetapi bagi aku, peran sebagai istri yang penuh perhatian dan fokus adalah yang lebih penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga ini.
"Aku tidak ingin kamu merasa terbebani atau merasa kehilangan arah," kataku dengan lembut. "Tapi aku berharap kamu mengerti ini demi kebaikan kita bersama."
Laras tidak langsung menjawab. Dia diam, seolah mempertimbangkan semuanya dalam pikirannya. Aku menunggu jawabannya, berharap dia bisa menerima keputusan ini meskipun berat. Aku tahu ini adalah tantangan besar bagi kami berdua.
Laras akhirnya membuka suara, suaranya sedikit gemetar. "Sepertinya akan sangat sulit, Reza," katanya dengan nada yang penuh keraguan. "Apalagi aku sudah terbiasa dengan pekerjaan ini, dengan gaji yang besar. Ada tanggung jawab kepada keluargaku yang harus aku penuhi. Aku takut kalau aku resign, aku tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka."
Aku bisa melihat jelas kekhawatiran di wajahnya. Aku tahu betul betapa pentingnya pekerjaan itu bagi Laras, tidak hanya dari segi penghasilan, tapi juga rasa kemandirian yang dia miliki. Tapi, aku merasa aku harus tetap teguh dengan keputusan yang aku buat untuk keluarga ini.
"Dan aku juga yakin kedua orang tuaku tidak akan setuju, kan?" lanjut Laras, seolah mencoba mengungkapkan ketidaksetujuannya lebih lanjut. "Mereka pasti akan merasa kecewa jika aku berhenti bekerja."
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku sebelum berbicara. "Aku mengerti itu semua, Laras. Tapi, kita sudah memutuskan untuk bersama, dan ini adalah rumah tangga kita. Tentu aku ingin kita berfokus pada membangun keluarga, bukan hanya mengejar karier. Aku ingin kamu di sini, bersama aku, tanpa kekhawatiran tentang pekerjaan."
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku bisa mengurus kita berdua, Laras. Kamu tidak perlu khawatir soal kebutuhan finansial kita. Aku akan mencukupinya."
Laras terdiam sejenak, seolah memikirkan segala kemungkinan. "Tapi... bagaimana dengan masa depanku, Reza? Aku tidak bisa hanya bergantung padamu."
"Dan aku tidak ingin kamu merasa seperti itu," jawabku tegas. "Aku ingin kamu merasa aman dan nyaman di rumah ini, sebagai istri, tanpa harus memikirkan pekerjaan lagi. Jangan khawatir, kita akan baik-baik saja."
Aku tahu ini adalah hal yang sangat berat bagi Laras, dan mungkin juga bagi aku. Namun, aku ingin agar kami bisa membangun sebuah rumah tangga yang penuh fokus dan perhatian pada keluarga. Meskipun itu berarti Laras harus membuat pengorbanan besar.
Aku menunggu jawabannya dengan hati yang penuh harapan, berharap dia bisa mengerti dan menerima keputusanku.
Aku mengerti bahwa keputusan ini bukan hal yang mudah untuk Laras. Aku bisa melihat betapa beratnya bagi dia, dan aku tidak ingin terburu-buru memaksanya membuat keputusan yang bisa merusak perasaannya. "Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, Laras," kataku dengan lembut. "Kamu butuh waktu untuk mempertimbangkannya, dan aku menghargai itu. Tapi, aku juga ingin kamu jujur pada dirimu sendiri dan memikirkan apa yang terbaik untuk kita sebagai sebuah keluarga."
Laras menundukkan kepala, seolah mencerna setiap kata yang baru saja aku ucapkan. "Aku akan berbicara dengan orang tuaku, Reza," jawabnya akhirnya, suaranya pelan, namun ada keteguhan di dalamnya. "Aku tahu mereka pasti akan keberatan, terutama dengan keputusan ini. Mereka selalu menginginkanku untuk terus bekerja, dan mereka tidak akan mengerti jika aku resign begitu saja."
Aku mengangguk, memahami kekhawatiran yang ada. "Aku tahu itu, dan aku tidak ingin kamu merasa tertekan dengan keputusan ini. Tapi aku harap kamu bisa mempertimbangkan semuanya dengan hati-hati. Aku percaya kita bisa menghadapi ini bersama."
Laras mengangguk pelan, meskipun masih ada keraguan di wajahnya. "Aku akan berpikir tentang semuanya, Reza. Aku hanya butuh waktu."
Aku tidak ingin terburu-buru. "Tentu, Laras. Ambil waktu yang kamu butuhkan. Kita akan bicarakan ini lagi nanti. Yang penting, kita harus memikirkan apa yang terbaik untuk masa depan kita berdua."
Aku memberikan ruang bagi Laras untuk memikirkan keputusan ini, berharap dia bisa menemukan solusi yang terbaik, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun hubungan kami. Aku tahu ini bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi tentang bagaimana kami ingin membangun kehidupan bersama. Dan aku siap untuk mendukung apapun keputusannya, selama itu yang terbaik untuk kami berdua.
...****************...
Hari itu, aku dan Laras berangkat kerja seperti biasa. Pagi itu, aku menyuruh Laras untuk menyiapkan sarapan, berharap dia bisa mulai menyesuaikan diri dengan rutinitas baru ini. Namun, karena ada meeting yang harus dia hadiri tepat waktu, Laras tampak terburu-buru dan tidak sempat menyiapkan sarapan untukku.
"Maaf, Reza, aku nggak bisa menyiapkan sarapan hari ini," katanya dengan nada tergesa. "Aku harus berangkat sekarang, meetingnya sudah menunggu. Bisa minta tolong Aisyah untuk menyiapkan sarapan?"
Aku agak terkejut mendengar itu. Walaupun aku tahu bahwa Laras harus menghadiri meeting yang penting, aku merasa sedikit kecewa karena seharusnya dia bisa mengatur waktunya lebih baik, terutama mengingat peraturan yang telah aku buat mengenai tugas rumah tangga.
Tapi, melihat betapa terburu-burunya Laras, aku mengangguk dan mencoba mengerti. "Baiklah, kalau begitu. Tapi pastikan setelah meeting kamu bisa kembali untuk menuntaskan tugas-tugas lain di rumah."
Reza menyesal seumur hidup, thor
terutama Reza yg menjadi wayang...
semangat Aisyah
kehidupan baru mu
akan datang