menceritakan tentang seorang gadis mantan penari ballet yang mencari tahu penyebab kematian sang sahabat soo young artis papan atas korea selatan. Hingga suatu ketika ia malah terjebak rumor kencan dengan idol ternama. bagaimana kisah mereka, yukkk langsung baca saja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon venn075, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Suara dering ponsel yang tak kunjung henti akhirnya memaksa Cassi membuka mata. Dengan enggan, ia meraih ponsel di samping tempat tidurnya dan melihat nama yang tertera di layar: Erland Matthew Seaggel, ayahnya.
Dengan napas panjang, Cassi menjawab panggilan tersebut. Suara berat sang ayah langsung terdengar dari seberang. "Cassi, kau sudah bangun? Apa kau sadar betapa panasnya berita tentangmu pagi ini?"
Cassi menghela napas, menatap langit-langit kamar sebelum menjawab dengan tenang, "Aku tahu, Ayah. Aku sudah menduga ini akan terjadi."
Erland terdengar menghela napas berat. "Aku ingin kau jujur padaku, Cassi. Apa benar kau dan Jihoon terlibat? Kau tahu siapa dirimu dan siapa dia. Dunia tidak akan mudah melepaskan rumor ini begitu saja."
Cassi tersenyum tipis, bukan karena bahagia, melainkan pahit. "Ayah, tenanglah. Aku dan Jihoon memang sedang bersama dalam sebuah rencana. Ini bukan sekadar tentang rumor atau hubungan kami, tapi ini tentang Soo Young."
Suara Erland mengeras, namun juga diliputi kekhawatiran. "Soo Young lagi? Apa hubungannya Jihoon dengan semua ini? Jika ini soal kematian sahabatmu itu, kenapa kau tidak bilang dari awal? Aku bisa turun tangan, aku bisa menyelesaikan ini lebih cepat—kau tahu itu."
Namun Cassi menggeleng pelan, meski tahu ayahnya tidak bisa melihat. Nada suaranya tegas tanpa keraguan. "Tidak, Ayah. Jangan campur tangan. Ini urusanku. Aku harus menyelesaikan ini dengan caraku sendiri. Terlalu banyak yang terlibat, dan jika Ayah ikut masuk, aku takut ini akan lebih rumit."
Keheningan sejenak terasa dari seberang telepon. "Kau yakin, Cassi?"
"Aku yakin, Ayah," jawabnya mantap. "Aku dan Jihoon sudah memutuskan untuk menyelami semua ini bersama. Jika aku benar-benar tidak sanggup, aku janji akan minta bantuan Ayah. Tapi untuk sekarang, percayalah padaku."
Erland terdiam lama, suara napasnya terdengar berat. "Baiklah. Tapi ingat, apapun yang terjadi, aku tetap ayahmu. Jika suatu hari kau merasa lelah atau tidak mampu, jangan bodoh menanggungnya sendiri."
Cassi menutup matanya sejenak, meresapi kalimat itu. "Terima kasih, Ayah. Tapi kali ini, biarkan aku yang menyelesaikannya."
Telepon terputus. Untuk beberapa saat, Cassi hanya terdiam, mengatur napasnya sendiri. Di luar sana, dunia mungkin tengah meributkan kisah cintanya. Tapi bagi Cassi, ini bukan lagi tentang cinta atau rumor murahan—ini tentang masa lalu yang harus ia ungkap demi Soo Young, dan demi dirinya sendiri.
---
Malam itu, Jihoon menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya menekan tombol hijau. Suara dering terdengar beberapa kali hingga sambungan terhubung.
Suara berat Tuan Erland terdengar di seberang, tenang namun penuh wibawa.
"Jihoon."
Jihoon menarik napas pelan. "Tuan Erland... Terima kasih sudah menerima telepon saya."
Tuan Erland terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku yang meminta kita bicara. Ada hal yang harus kau dengar langsung dariku."
Jihoon menunggu, menahan diri untuk tidak bicara lebih dulu.
"Aku tahu Cassi bersamamu sekarang. Aku tak bisa menghalangi pilihan putriku... Tapi satu hal yang harus kau ingat, Jihoon," suara Tuan Erland terdengar dalam dan dingin, "Kepercayaanku bukan sesuatu yang mudah kau dapatkan. Dan meski aku menyerahkan Cassi padamu, itu bukan berarti aku akan bersikap lunak."
Jihoon menggenggam ponselnya erat. "Saya mengerti, Tuan. Saya tidak pernah berharap Tuan mempermudah jalan saya. Tapi saya ingin Tuan tahu... saya benar-benar ingin menjaga Cassi."
Tuan Erland menghela napas panjang. "Kata-kata mudah diucapkan, Jihoon. Tapi aku pria yang menilai dari tindakan. Sekali saja kau menyakitinya... aku tidak akan berpikir dua kali untuk turun tangan sendiri."
Jihoon terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara dalam, penuh keyakinan, "Saya siap menanggung semua resikonya, Tuan. Dan saya pastikan, saya tidak akan pernah membiarkan Cassi terluka... apapun yang terjadi."
Tuan Erland tak langsung menjawab. Hanya ada jeda hening beberapa detik sebelum akhirnya ia berkata, lebih pelan namun tetap tegas, "Kita lihat saja, Jihoon. Jangan buat aku menyesal menyerahkan putriku padamu."
Sambungan terputus tak lama setelah itu. Jihoon menatap layar ponselnya yang gelap, menarik napas panjang. Beban kepercayaan itu kini benar-benar ada di pundaknya.
---
Malam itu, udara di mansion keluarga Seaggel terasa lebih dingin dari biasanya. Cassi duduk di tepi ranjangnya, matanya menatap kosong ke luar jendela besar yang menghadap ke hutan gelap di sekitar mansion. Kehidupan di mansion yang luas ini seharusnya memberi rasa aman, namun entah mengapa malam ini Cassi merasa begitu terisolasi. Rumah yang biasanya ramai dengan aktivitas pengawal dan staf terasa begitu sepi, dan hanya Alexa, asistennya yang setia, yang tinggal menemaninya malam itu.
Tiba-tiba, suasana hening itu terpecah oleh suara yang datang dari balik pintu kamar Cassi. Ia terlonjak, kemudian mendekati pintu dengan hati berdebar. Namun, saat membuka pintu, ia hanya menemukan kegelapan dan kesunyian di luar. Semua terasa normal, tetapi Cassi merasakan ada sesuatu yang salah—sebuah perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Langkahnya kembali ke kamar, namun matanya langsung tertuju pada sebuah benda yang tidak ia kenali. Sebuah kotak besar tergeletak di atas meja riasnya. Cassi tidak ingat melihat kotak itu tadi pagi, dan detik itu juga ia merasa ketegangan yang berat menguasai dirinya. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati kotak tersebut, matanya tajam memeriksa segala kemungkinan.
Saat membuka kotak itu, seutas napas terhenti. Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah boneka besar dengan wajah yang terdistorsi menyeramkan. Tali-tali rambut panjang boneka itu terlihat seperti rambut manusia, dan sebuah surat kecil yang tergulung ada di dekatnya.
Cassi meraih surat itu dengan gemetar, dan membacanya dengan suara yang hampir tak terdengar,
"Kami tahu semuanya tentangmu, Cassi. Setiap langkah, setiap nafas. Tidak ada yang bisa lari dariku. Kalian akan membayar atas kebohongan yang kalian sebarkan."
Jantung Cassi berdegup kencang. Itu bukan hanya ancaman kosong—ini lebih dari itu. Para penggemar Jihoon, yang tidak bisa menerima rumor kencan mereka, telah melangkah jauh ke dalam teror nyata. Sebuah perasaan takut yang luar biasa mulai mencekam dirinya.
Namun, Cassi sadar bahwa dia tidak bisa menghadapinya sendirian. Pengawal yang biasanya menjaga mansion malam itu agak longgar, seiring dengan pengaturan yang lebih santai di hari itu. Hanya Alexa yang menemani, dan meskipun Alexa adalah asisten yang cerdas, Cassi merasa tidak aman.
Segera, Alexa yang menyadari kegelisahan Cassi dan melihat kotak menakutkan itu, segera bertindak. Ia dengan cepat mengambil ponsel dan menghubungi Jihoon.
"Jihoon, ada sesuatu yang salah. Cassi menerima ancaman langsung, dan kami butuh kamu sekarang. Cepat datang ke sini, tolong."
Suara Alexa terdengar tegas namun cemas, dan Jihoon yang sedang berada di luar kota langsung merasakan urgensi dalam suara Alexa.
Beberapa detik setelah panggilan, Jihoon menjawab dengan suara yang terdengar panik, "Apa yang terjadi? Apa yang terjadi dengan Cassi?"
"Ada benda mengerikan yang dikirim ke kamar Cassi. Boneka yang mengerikan dan surat ancaman. Pengawal malam ini tidak terlalu ketat, dan kami tidak merasa aman di sini. Tolong datang, Jihoon. Cepat."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Jihoon menyuruh timnya menyiapkan kendaraan dan segera bergegas menuju mansion keluarga Seaggel. Hati Jihoon dipenuhi kecemasan. Walau jarak yang cukup jauh, ia tahu ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Cassi membutuhkan perlindungannya sekarang juga.
Cassi berdiri di dekat jendela, matanya mencari-cari tanda-tanda kedatangan Jihoon. Namun, ketakutan masih mencengkeram hatinya. Ia tak bisa lagi merasa aman, bahkan di rumah keluarganya sendiri. Ia menggenggam boneka itu dengan tangan gemetar, lalu menatap surat ancaman yang ada di sampingnya.
Malam semakin larut, dan Cassi bisa merasakan bahwa teror ini belum berakhir. Namun, saat ia melihat mobil yang akhirnya memasuki halaman mansion, sebuah rasa lega menyapu dirinya. Jihoon akhirnya datang.
Begitu Jihoon masuk ke dalam rumah, ia langsung mencari Cassi yang berdiri di ruang tamu. Begitu melihatnya, ia bergegas menghampiri dan memeluknya erat, memastikan bahwa dia aman.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Jihoon dengan suara yang penuh kecemasan.
Cassi mengangguk, namun suaranya terdengar rapuh. "Aku takut, Jihoon. Mereka bisa tahu setiap langkahku."
Jihoon mengeratkan pelukannya. "Kamu tidak sendirian, Cassi. Aku akan selalu ada di sisimu. Kita pergi dari sini malam ini juga. Tidak ada yang akan mengancammu lagi."