"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Tok! Tok!
“Hana, ini gue. Boleh gue masuk?”
Hana yang masih terbaring di ranjang mendengar suara Ruka, mengucek matanya, mengusir sisa kantuk. “Masuk aja, Ruka.”
Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan wajah cantik sahabat karibnya yang menyembul dari balik pintu. Senyum kecil mengembang di bibir Ruka, sambil mengangkat kantong plastik di tangannya. “Hey... Gue bawa sesuatu buat lo,” katanya penuh semangat. “Mie super pedas!”
Tanpa menunggu jawaban, Ruka melangkah masuk ke kamar. Matanya menyapu keadaan kamar Hana yang gelap dengan tirai yang masih tertutup rapat. Ia menghela napas sambil menggeleng. “Buset, anak perawan jam segini belum bangun juga? Mau jadi kelelawar, lo?” ejeknya.
Hana mengangkat bahu, menyembunyikan senyumnya. “Gue nggak laper, Ruka. Lo makan aja sendiri.”
Bugh!
Tinju kecil Ruka mendarat di lengan Hana, membuatnya terkesiap. “Mana bisa! Ini level pedes banget, lo mau gue gugurin baby gue apa gimana, hah? Udah, pokoknya lo makan, gue nggak terima penolakan!”
“Oke, oke, gue nyerah. Tapi gue cuci muka dulu.” Hana segera beranjak dari ranjang dan kabur ke kamar mandi.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar dengan wajah segar dan tubuh yang wangi. Ia menjatuhkan diri di karpet di depan Ruka, lalu duduk bersila. “Demi ponakan gue nih, gue mandi pagi di hari Minggu.”
Ruka terkekeh, menyerahkan seporsi mie pedas ke tangan Hana. “Nah gitu dong. Anak gue pasti seneng banget liat auntinya nurut.”
Hana memandang mie pedas itu dengan ekspresi skeptis. “Suruh siapa lo antri sejam?” gumamnya, memonyongkan bibir.
Bugh!
Ruka kembali meninju lengan Hana, lebih pelan kali ini. “Bukannya makasih malah nyinyir, lo emang ngeselin!”
Hana terkekeh kecil, lalu mulai menyantap mie pedas itu. Rasa panas langsung menyeruak di lidahnya, tetapi ia menikmatinya. Mereka makan sambil berbagi cerita ringan, meski Hana lebih banyak diam dan hanya mendengarkan Ruka berbicara.
“Eh, malam ini gue nginep sini, ya,” ujar Ruka tiba-tiba.
Hana mengangkat alis, meletakkan sumpitnya sejenak. “Dih, ngapain? Laki lo gimana?”
“Biarin aja. Hari Kamis gue berangkat, jadi gue mau puas-puasin sama lo malam ini.”
“Hari Kamis? Dua hari lagi dong?”
Ruka mengangguk, memasukkan sesendok mie lagi ke mulutnya. “Makanya, gue mau kita rumpi sampai ketiduran, kayak dulu lagi.”
Hana mendesah, lalu mengangkat bahu. “Serah lo deh.”
“Tapi abis makan ini, kita ke salon ya? Temenin gue mani-pedi,” tambah Ruka dengan nada riang.
“Lo kira gue punya energi lebih buat ngemal setelah lo paksa gue makan mie neraka ini?”
Ruka terkekeh, memukul bahu Hana pelan. “Ayolah, kapan lagi gue bisa manjain diri sambil ditemenin sahabat paling ngeselin di dunia ini, hm?”
"Ogah! Gue mau tidur aja hari ini, Ruka."
"Ihh... Masa lo tega sih biarin bumil nyalon sendirian, hm? Gimana kalau ada yang nyulik gue?" Ruka mengedip-ngedipkan matanya memohon.
"Lo bisa ajak suami lo, Haruka. Nggak usah lebay deh."
"Hana... Please..." Ruka langsung memelas dengan puppy eyes mengemaskan yang sulit untuk di tolak. "Gue ngidam lo anterin ke salon. Lo tega ponakan lo nanti ileran kalau nggak keturutan?"
"Ruka.... Ih!" Hana menghela nafas berat, "lo ngidamnya, kenapa nyusahin gue sih?"
"Ponakan lo yang minta, ya kan sayang." Ruka mengelus perutnya yang masih rata itu sambil mengajaknya berbicara. "Kasihan sekali kamu sayang. Tante lo benar-benar kejam sam Ibu."
Hana tak bisa menahan senyumnya lebih lama. Ruka terlihat sangat lucu saat berbicara dengan bayi di perutnya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, ia merasa sedikit lebih ringan. Ya, sepertinya ia harus menghabiskan waktu bersama Ruka lebih banyak hari ini, sebelum Ruka di boyong oleh suaminya ke London. Dan entah kapan lagi mereka bisa bertemu.
“Oke deh, gue temenin lo ngemall, tapi lo yang bayarin. Gue lagi bokek.”
Ruka terkekeh sambil mengangkat bahu. “Deal! Kartu El luber, zeyeeenk.”
"Pamer lo?"
"Nggak sih, cuma kasih tahu aja."
Hana memutar bola matanya jengah, "Ngomong-ngomong,” Hana menatap mie di tangannya, lalu kembali menatap Ruka, “gimana rasanya bakal jadi mama muda? Lo deg-degan nggak?”
“Deg-degan sih enggak ya, tapi gue lebih takut anak gue nanti nurun sifat lo yang keras kepala.”
“Gimana ceritanya, gue aja kagak ikut pas lagi ngadon. Tapi kalau ngelihat bapaknya…” Hana mengusap-usap dagunya seperti detektif yang sedang memecahkan kasus, “hmm, mungkin ada potensi besar dia keluar jadi versi mini si El. Bayangin aja, El kecil yang rebel.
“Jangan dong, Han!” Ruka memekik kecil, pura-pura panik. “Satu El aja udah bikin gue pusing, apalagi kalau keluar versi sasetnya juga. Bisa-bisa gue migrain tiap hari.”
Hana kembali tertawa, kali ini lebih lepas. Suasana di antara mereka terasa lebih ringan, meski obrolan itu hanya sekadar bercanda.
"Tapi serius, lo udah siap ninggalin semua di sini?”
Pertanyaan itu membuat Ruka terdiam sejenak. Ia meletakkan sumpitnya, lalu menatap Hana dengan serius. “Gue nggak punya pilihan, Han. Gue nggak bisa jauh dari El. Tapi jujur, ninggalin lo bikin berat banget.”
“Bohong lo, pasti cuma berat ninggalin Indomie level neraka di sini,” canda Hana mencoba mencairkan suasana.
Ruka tersenyum, meski matanya sedikit berkaca-kaca. “Gue serius, Han. Lo itu sahabat gue sejak kecil. Lo selalu ada buat gue. Gue nggak kebayang kalau lo tetap terjebak di tempat gelap kayak sekarang, sendirian. Gimana kalau lo ikut kita ke London? Nyokap lo pasti setuju.”
“Gue nggak bisa, Ruka,” jawab Hana pelan, namun tegas.
“Han, dengerin gue. Kenapa nggak lo coba buka lembaran baru aja? Di sana lo bisa mulai semuanya dari awal. Lo nggak harus terus-terusan tinggal di sini dan...”
“Cukup, Ruka.” Hana memotong dengan suara tajam. Mata cokelatnya yang biasanya hangat kini penuh dengan tekad. “Gue nggak akan bisa hidup tenang tanpa tahu siapa dalang yang udah bunuh Rico.”
“Tapi, Han... Sampai kapan lo mau terus kayak gini? Lo pikir Rico mau liat lo hancur kayak sekarang? Dia pasti lebih pengen lo bahagia, buka lembaran baru.”
“Bahagia?” Hana tertawa kecil, namun tanpa rasa. “Gimana gue bisa bahagia kalau pelakunya masih bebas di luar sana? Mereka ngerenggut Rico dari gue, Ruka. Gue nggak bisa tutup mata dan pura-pura semuanya baik-baik aja.”
“Tapi lo juga nggak bisa terus-terusan hidup di dalam kegelapan, Han! Gue cuma nggak mau kehilangan lo juga! Gue takut lo bakal tenggelam terlalu dalam dan nggak bisa keluar lagi.”
Hana mendekat, menatap sahabatnya dengan sorot mata dingin tapi penuh rasa sakit. “Ruka, gue nggak minta lo ngerti. Gue cuma minta lo percaya. Ini bukan soal gue lagi. Ini soal keadilan buat Rico. Kalau gue harus mati di tengah jalan buat nemuin jawabannya, ya biar aja.”
“Lo bodoh, Han...” gumamnya pelan.
Hana tersenyum getir. “Lo bayangin aja, Ruka… gimana kalau El yang ada di posisi Rico?”
Ruka terdiam. Kata-kata itu menusuknya seperti belati, membuatnya sulit bernapas. Matanya membesar, dan ia langsung menggeleng keras.
"Gue yakin lo bakalan lebih gila dari gue, iya kan?"
"Han...."
"Cukup Ruka, jangan bujuk gue lagi. Tekad gue udah bulat. Kalau gue berhenti sekarang, gue cuma bakal jadi orang yang nggak pernah bisa maafin diri sendiri. Gue nggak bisa hidup pura-pura bahagia."
Ruka menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri. Ia tahu Hana keras kepala, tapi kali ini tekad sahabatnya terasa seperti tembok besar yang mustahil ditembus. "Tapi, Han... janji satu hal ke gue.”
“Apa?”
“Jangan mati, Han. Apa pun yang terjadi, lo harus balik ke gue, ke nyokap lo, ke hidup lo. Lo ngerti?”
“Gue nggak janji, tapi gue akan coba.”
Ruka menghela napas panjang, lalu memeluk Hana erat. “Lo nyebelin banget.”
“Gue tahu."
"Ya udah ayok kita capcuss ngemall aja, yuk." Ruka mengurai pelukannya, lalu berdiri menuju meja rias untuk memoles lipstiknya lagi. Namun, matanya menangkap liontin di atas meja. "Liontin ini—?"
"Lo tahu siapa pemiliknya?"
Ruka mengangkat liontin itu, memutar-mutar di jarinya sambil mengamati ukiran yang terukir di permukaannya. "Hmm… gue nggak yakin sih, tapi ukirannya kayak pernah gue lihat di suatu tempat."
Hana langsung bangkit dari tempat duduknya, menatap Ruka dengan mata penuh harap. "Lo serius, Ruka? Dimana?"
Bersambung...