Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembuh Total
"Bisakah kau berhenti memandangiku?" kata Rinson merasa risih karena wajah Nusa dekat dengan culanya.
"...."
Nusa hanya diam saja dan terus memandanginya.
"Tukk." Rinson menyundulkan culanya ke kening Nusa dengan pelan.
"Aduh. Ssss, sakit tau." Karena culanya yang keras, Nusa mengelus keningnya karena kesakitan.
"Kenapa kau memandangiku seperti itu? Apa ada yang aneh?" tanya Rinson jengkel.
"Tentu saja aneh. Lihat."
Nusa mengangkat Rinson dan meletakkannya di tengkuknya, sehingga memposisikan Rinson seperti anak yang digendong ayahnya.
"Biasanya, aku yang naik di tengkukmu. Sekarang kamu yang naik di tengkukku."
"Apa itu yang membuatmu merasa aneh?" kata Rinson merasa respon Nusa yang aneh.
Tubuh Rinson telah berubah menjadi berukuran kecil. Yang biasanya sebesar kerbau, sekarang hanya sebesar kucing yang obesitas. Perubahan ini sangat mengejutkan Nusa, karena Rinson tidak pernah Bisa merubah ukurannya. Sejak Nusa kecil sampai sekarang, ukuran Rinson tidak pernah berubah. Melihat Rinson yang bisa merubah ukuran tubuhnya menjadi kecil, tentu saja membuat Nusa sangat terkejut dan heran.
"Tentu saja perubahan wujudmu. Bagaimana bisa kau merubah ukuranmu, sebelumnya tidak pernah." kata Nusa penasaran.
"Mungkin karena aku makan makanan yang salah." jelas Rinson.
"Apa karena kamu makan kulit pisang kemarin? Aku memakan pisangnya tubuhku sembuh, mungkin karena kamu makan kulit pisangnya kamu jadi bisa merubah ukuran tubuhmu." kata Nusa mengungkap perkiraannya.
"Mungkin saja iya." balas Rinson.
_ _
"Sepertinya butuh proses yang lebih panjang untuk membuatmu lupa." ucap Ibu Nusa sembari menimang-nimang bambu runcing.
"Maaamaaa." Tara merengek karena merasa putus asa dihukum, membuat mentalnya turun.
"Jangan merengek memanggil mamamu, itu tidak membuatku berhenti." gertak Ibu Nusa. Dia melesatkan dua bambu sekaligus dan menancap di samping kedua mata Tara.
"Maaamaaaa, bibi Winda jahat, waaaaa." rengekan Tara semakin kencang.
"Hmmm, sepertinya mengikatmu di pemakan umum adalah ide bagus. Kau akan ketakutan sampai melupakan semuanya." pikir ibu Nusa sambil menulis dagunya.
"Yah, sudah diputuskan. Pemakaman umum. Terima ini, Tara." lanjut Ibu Nusa dengan bersemangat.
Ibu Nusa melemparkan tiga bambu tersisa ke udara. Dia mengarahkan tangan kirinya ke sebatang bambu dan bambu itu tertarik kearah tangannya. Setelah menggenggam batang bambu, Ibu Nusa mengambil ancang-ancang memukul. Setelah tiga bambu turun dan berada di hadapannya, dia melakukan pukulan seperti pemain bisbol profesional. Bambu itu melesat kencang kearah Tara.
"Maaamaaaa." teriak Tara.
Ketika bambu itu tinggal beberapa senti dari wajah Tara, tiba-tiba bambu itu berhenti dan melayang di udara. Bambu itu bergetar dan kemudian rontok seperti pasir yang jatuh.
"Maaamaaa." rengek Tara dengan suara parau dan sedikit lirih.
Ibu Nusa melirik ke arah pagar, dia melihat ibunya Tara berhenti di pintu pagar rumahnya, membentangkan tangan kirinya ke arah Tara. Dia berada di atas seekor kuda sambil membawa keranjang telur di tangan kanannya. Wajahnya terlihat sangat marah dengan tatapan tajam.
Ibu Tara menurunkan tangannya dan memegang tali kendali kuda. Dia menggerakkan tali untuk memerintahkan kuda bergerak. Si kuda bergerak sesuai instruksi ibu Tara dan berjalan pelan ke arah Ibu Nusa.
"Tok. Tok. Tok." derak suara tapal kuda.
Si kuda berhenti tepat di depan Ibu Nusa. Ibu Tara memandang Ibu Nusa dari atas kuda, seakan mendominasi. Ibu Nusa membalas tatapannya. Suasana menjadi tegang antara keduanya, bagaikan dua rival yang sedang berhadapan.
"Maaamaaa, tolong, aku takut." rengek Tara.
Tangan kanan Ibu Tara terangkat dan mengarah ke Tara. Dia melepas keranjang telur. Keranjang itu tidak terjatuh melainkan melayang seperti ada kekuatan yang menahannya. Telapak tangan Ibu Tara terbuka. Kemudian tangannya menutup seakan meremas sesuatu. Semua tali yang mengikat Tara dan bambu tempatnya terikat hancur menjadi butiran kecil seperti pasir yang rontok. Tara akhirnya terlepas dan dia terduduk karena lemas menahan rasa takut.
"Apa yang kakak lakukan pada anakku." tanya Ibu Tara dengan nada dingin. Dagunya sedikit terangkat keatas menjadikan matanya seperti melihat kebawah.
"Tidak ada. Hanya bermain." balas Ibu Nusa dengan senyum tipis.
"Permainan apa yang membuatnya sampai menangis histeris." ucap Ibu Tara masih dengan tatapan dingin.
"Dianya saja yang cengeng tidak kuat mental." ucap Ibu Nusa sambil menyilangkan tangan dan memutar matanya.
"Bagaimana dia bisa kuat kalau diintimidasi dan dipaksa tidak bisa melawan? Aku tidak terima kakak memperlakukan anakku seperti itu. Apalagi tadi kakak berencana mengikatnya di pemakaman umum, apa kakak ingin membuat Tara kena penyakit mental?" ucap Ibu Tara geram.
"Dia tidak sengaja melihat Ibu saat hanya pakai celana dalam. Jadi Ibu hanya sedikit memberinya hukuman." Nusa menyela pembicaraan yang semakin memanas. Di menghampiri kedua Ibu sambil menggendong Rinson di tengkuknya.
"Huh, benarkah itu Tara?" tanya Ibu Tara terkejut mendengar kenyataan. Dia spontan memandang Tara yang masih terduduk dengan nafas tersengal karena sehabis menangis.
"Hmm,hmm." Tara mengangguk jujur.
"Hah?" Ibu Tara terkejut melihat respon anaknya.
"Tapi itukan tidak sengaja. Pasti itu kerena kakak ceroboh. Dan apanya hukuman ringan?" ucap Ibu Tara masih tidak terima atas tindakan Ibu Nusa.
Ibu Nusa memalingkan wajahnya dan sedikit manyun. Dia sepertinya berusaha menghindar dari fakta.
"Iya,iya. Aku salah. Aku minta maaf." ucap Ibu Nusa mengakui kesalahannya.
"Minta maafnya ke Tara, bukan padaku." ucap Ibu Tara sambil menunjuk anaknya.
"Bibi minta maaf, Tara." ucap Ibu Nusa dengan perasaan sedikit bersalah.
Tara membalas dengan pose 'beri aku pelukan lembut'. Sepertinya dia ingin mendapatkan dada sebagai ucapan maaf.
Ibu Nusa membalas dengan kepalan tangan yang terlihat berurat.
"Ada urusan apa bibi Windi datang kerumah?" tanya Nusa penasaran.
"Oh, bibi hanya ingin mengantar telur ini. Dan karena bibi merasakan perasaan buruk dan ternyata benar." ucap Ibu Tara sambil menunjukkan keranjang yang berisi telur.
"Haahhh, dasar pelupa." Ibu Nusa menghela nafas melihat kebiasaan adiknya.
"Kring,kring."
Suara bel sepeda terdengar memasuki pekarangan. Seorang laki-laki datang dengan pakaian rapi dan tas di punggungnya. Dia adalah seorang Tukang Diagnosa Penyakit.
"Apa kakak memanggilnya?" tanya Ibu Tara penasaran.
"Ya. Aku memintanya datang untuk memeriksa kondisi Nusa. Aku ingin memastikan bahwa Nusa benar-benar sudah sembuh." jawab Ibu Nusa.
"Apa? Nusa sembuh? Aku memang merasakan energi yang berbeda di tubuh Nusa. Bagaimana bisa?" pernyataan Ibu Nusa membuatnya terkejut dan dia baru sadar ada perubahan pada tubuh Nusa.
"Nanti kita bicarakan di dalam." balas Ibu Nusa.
"Selamat pagi." sapa laki-laki itu.
"Selamat pagi. Silahkan masuk." Ibu Nusa mempersilahkan masuk pada laki-laki itu.
"Permisi." ucap laki-laki itu dengan sopan.
Mereka bertiga masuk ke dalam rumah meninggalkan Ibu Tara dan Tara. Ibu Nusa menyandar batang bambu yang masih di pegangnya ke dinding dekat pintu masuk.
Ibu Tara memperhatikan sesuatu di punggung Nusa.
"Hewan apa itu?" pikirnya dalam hati. Dia baru sadar ada hewan di tengkuk Nusa.
Ibu Tara pun ikut masuk ke dalam rumah.
"Tinggalkan kudamu diluar, Windi." ucap Ibu Nusa.
"Oh, ya. Lupa." ucap Ibu Tara sambil meringis dan menggaruk kepala. Diapun turun dari kudanya. Dia melihat Tara masih duduk sambil tersedu-sedu.
"Haaahh."
Ibu Tara menghela nafas melihat tingkah anaknya. Dia menggerakkan tangannya untuk melayangkan batang bambu milik Ibu Nusa dan memasukkannya ke kedua lengan baju Tara. Tara terangkat dengan pose seperti orangan sawah dan melayang ke arah Ibunya.
"Merepotkan saja." keluh Ibu Tara.
_ _
Nusa berbaring di ranjang kamarnya dengan telanjang dada. Tukang Diagnosa meletakkan tasnya di meja Nusa dan mengeluarkan sebuah kaca transparan yang berbentuk seperti cermin genggam. Dia melakukan scan ke tubuh Nusa dengan benda itu. Terlihat struktur tulang dan organ dalam Nusa. Cara kerja alat itu mirip seperti mesin MRI.
Ibu Tara masuk kedalam kamar dengan membawa Tara yang melayang. Ibu Nusa terkejut dengan Tara yang melayang di udara. Dia langsung isyarat kepada Ibu Tara dengan telunjuknya untuk menurunkan Tara. Itu respon yang normal bagi Ibu Nusa karena mereka berdua merahasiakan kekuatan mereka kepada orang lain.
"Oh, maaf. Aku lupa." ucap Ibu Tara lirih, faham akan isyarat itu.
Ibu Tara lansung menyimpan kekuatannya dan Tara terjatuh dengan posisi tersungkur.
"Bruukk."
"Aduh. Maaa, saakiit." keluh Tara.
"Ah, maaf Tara." Ibu Tara lansung menghampiri anaknya untuk memeriksa kondisinya.
"Haaah, dasar, Ibu dan anak sama-sama banyak tingkah." ucap Ibu Nusa.
Tukang Diagnosa selesai memindai tubuh Nusa.
"Melihat dari kondisi tubuhnya yang sebelumnya, sekarang kondisi tubuhnya mulai dari struktur tulang, jaringan otot dan organ dalamnya semuanya terlihat normal. Sepertinya dia sudah sembuh total. Kabar baiknya, tubuhnya mengalami perubahan menjadi tubuh yang biasa dimiliki ahli bela diri. Energi Aji dalam jumlah besar mengalir di tubuhnya." jelas Tukang Diagnosa.
"Benarkah? Syukurlah."
Ibu Nusa menangis haru mendengar kesembuhan anaknya. Dia menghampiri Nusa dan memeluknya.
"Akhirnya kamu sembuh, sayang." ucap Ibu Nusa dengan lembut.
"Iya, hihihi." Nusa tersenyum bahagia.
"Apa yang sudah kau makan hingga bisa sembuh?" tanya Tukang Diagnosa penasaran.
"Eeee, kemarin aku memakan buah pisang yang diberi seseorang yang tidak aku kenal." balas Nusa.
"Kemungkinan Kamu memakan buah yang mengandung Aji. Kamu beruntung. Lain kali, kamu harus hati-hati. Kalau diberi sesuatu oleh orang asing, jangan asal terima. Bisa jadi itu membahayakan nyawamu." ucap Tukang Diagnosa memberikan saran.
"Ya, lain kali aku akan hati-hati. Terima kasih atas saran dan pemeriksaannya." ucap Nusa.
"Sama-sama. Apa kau ingin menyimpan gambar hasil scanner, nona?" tanya Tukang Diagnosa.
"Tidak usah." sahut Ibu Nusa.
"Oke. Kalau begitu pemeriksaan selesai. Jangan lupa makan makanan bergizi dan latihan agar impianmu tercapai."
Nusa membalas dengan mengangguk.
Tukang Diagnosa memasukkan alatnya ke dalam tas. Ibu Nusa mendekat dan menggeserkan sebuah amplop di atas meja. Tukang Diagnosa meliriknya dan memasukkannya ke dalam tas.
"Terima kasih." ucapnya lirih.
Ibu Nusa membalas dengan anggukan dan senyuman tipis. Matanya tertutup menunjukkan ketulusan.
"Kalua begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa semua." Tukang Diagnosa berpamitan pergi dan meninggalkan kamar Nusa.
"Hewan apa ini? Kucing obesitas?" Tukang Diagnosa melihat seekor hewan kecil yang bersandar di dinding seakan menjadi penjaga pintu. Dia menghiraukannya dan pergi.
Ibu Nusa duduk disamping Nusa dan memeluknya, menyandarkannya di bahunya, lalu mencium ubun-ubunnya. Dia mengelus kepala Nusa dengan penuh kasih sayang.
"Pisang apa yang kamu makan kemarin, Nusa?" tanya Ibu Tara penasaran dengan jenis pisang itu. Dia berpikir mungkin saja pisang itu juga bisa menyembuhkan penyakit Tara.
"Itu adalah Pisang Raja. Pisang yang di makan oleh para raja zaman kerajaan kuno." jawab Rinson.
Ibu Tara seketika menoleh kearah suara itu. Dia melihat hewan kecil bersandar di dinding. Dia terkejut hewan itu bisa bicara.
"Hewan apa kau? Kenapa bisa bicara?" ucap Ibu Tara dengan wajah terkejut dan bingung.
"Eh, Bibi Windi bisa ngerti ucapannya Rinson?" Nusa terkejut Ibu Tara faham perkataannya Rinson. Dia dan ibunya memang bisa bicara dengan Rinson menggunakan bahasa keluarga, dia baru sadar kalau Rinson berbicara dengan bahasa manusia.
"Rinson? Hewan ini Rinson?"
Ibu Tara memandang Rinson dengan rasa tak percaya. Setahu dia Rinson tidak bisa berbicara dan merubah ukuran tubuhnya. Tapi sekarang di depan matanya Rinson bisa bicara dan tubuhnya seukuran kucing yang obesitas.
"Mungkin karena dia memakan kulit pisang yang kemarin aku makan." jelas Nusa.
Ibu Tara semakin tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan Nusa. Wajahnya menunjukkan ekspresi tak percaya dan bingung.
"Nusa, Tara, kalian keluar dulu. Ada hal yang ingin Ibu bicarakan dengan bibi Windi dan Rinson." pinta Ibu Nusa.
Nusa pun mengangguk dan beranjak dari tempat tidur.
"Ayo, woi."
Nusa melihat Tara dalam keadaan terduduk sambil menyeka ingusnya. Karena tidak mau bergerak, akhirnya Nusa menyeret Tara keluar karena dia masih bersedih akibat Ibu Nusa menolak memberikan pelukan lembut di dada. Dia menarik tangannya menuju pintu keluar.
"Oke, Rinson. Ayo kita mulai perbincangannya." ucap Ibu Nusa dengan wajah serius.
_ _
"Tuan Bares, kalu kita ingin menguasai seluruh daratan seberang, menurut informasi yang kami kumpulkan, kita hanya perlu menaklukkan pulau yang bernama Kawung." ucap seorang pria disampingnya.
"Begitu kah?" sahut Bares santai.
"Iya." balas pria itu.
Mereka berdua berpenampilan seperti seorang petarung, dengan memakai penutup kepala berbentuk beruang. Mereka berdua sedang duduk di sebuah gundukan es di pinggir laut sambil memegang alat pancing.
Di belakang mereka, daratan es yang sangat luas membentang sepanjang mata memandang. Jauh di tengah dataran es, berdiri pemukiman yang sangat besar menutupi hampir seluruh daratan es.
"Eee, memangnya di sini ada ikannya?" tanya pria itu.
"Mungkin." sahut Bares.