NovelToon NovelToon
Keluargamu Toxic, Mas!

Keluargamu Toxic, Mas!

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta Lansia
Popularitas:883
Nilai: 5
Nama Author: Dian Herliana

Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12

"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya.

"1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya.

"Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya.

"Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih.

"Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang.

"Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"

Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu.

"Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit.

"Tika juga mau, Bibi!"

"Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani.

"Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin menangis.

"Ya tungguin Mamah pulang, dong."

"Tapi nanti Abang abangnya keburu pergii.." si Abang abangpun merasa serba salah. Kalau ia menunggu apa di jamin Mamah anak ini akan membelinya?

"Tika mau yang mana?" suara Nisa memberi angin segar untuk keduanya. Tika dan si Abang abang.

Tika langsung memilih.

'Alhamdulillah dagangan Abang ini nggak mahal.' gumam hati Nisa.

Begitulah Nisa. Ia sangat menyayangi keponakan keponakannya ini. Benar kata Iman, punya anak 1 tapi seperti punya anak 10.

Anak anak itu sekarang sudah dewasa. Nino saja sudah menikah. Mereka selalu mengingat kasih sayang Nisa pada mereka saat mereka kecil dulu.

" Bibi, sekarang gini aja, ya. Uang Itu Tika kasih ke Bibi. Nggak Tika pinjemin." Nisa terperangah. Ia sedang mengeluh kepada keponakannya ini. Nisa meminjam uang Tika untuk membayar kebutuhan sekolah Doni beberapa waktu lal. Waktu itu Iman hanya mengangkat tangannya berlepas diri.

"Papah nggak punya uang. Papah dapet uang dari mana?" Nisa sedih sekaligus kesal. Ia memberanikan diri meminjam pada Tika dan Tika langsung memberikannya.

"Pakai aja, Bi. Jangan dipikirin."

Tentu saja Nisa tetap memikirkannya. Tapi ia tak kunjung dapat mengumpulkannya untuk membayar uang keponakannya ini. Sampai bulan berganti bulan..

"Tika, maafin Bibi, ya. Bibi belum bisa bayar." Airmata Nisa mengalir. Tika merasa iba melihat bibinya yang terlihat tertekan karena memikirkan beban hutang padanya.

"Bibi, sekarang gini aja, ya. Uang Itu Tika kasihin ke Bibi. Nggak Tika pinjemin." Itu yang Tika katakan.

Nisa merasa terkejut dan tak menduga Tika akan sebaik itu padanya.

"Tapi, Tik. Nanti kalau Bibi punya uang tetap Bibi bayar, ya?"

"Kalau Bibi punya uang pakai untuk keperluan yang lain." tegas Tika lagi. Nisa terharu. Ia berjanji dalam hatinya akan membalas kebaikan Tika bila ada kesempatan nanti.

"Bibi baik banget sama Tika. Dari dulu sampai sekarang." gumam Tika. Uang yang ia berikan pada Nisa tidaklah sebanding dengan kebaikan bibinya itu.

Sekarang ia sudah bekerja. Sudah menikah juga.

"Ngapain sih, Kamu bilang sama Nisa begitu? Kalau Dia nanti mau bayar ya biarin aja!" ketus Yanah yang sedang berkunjung ke rumah Tika ditemani Umboh. Saat melihat Nisa datang, ia bersembunyi di dapur.

"Kenapa sih Mamah kayaknya sentimen banget sama bi Nisa?"

"Bibi Kamu itu judes, galak!" teriak Yanah.

"Bi Nisa nggak judes, Mah. Nggak galak juga tuh."

"Pokoknya Mamah nggak suka!"

"Kalau Mamah nggak suka sama bi Nisa, kenapa dulu Tika dititipin sama Bi Nisa kalau Mamah pergi? Kenapa nggak dititipin sama Wak Yanti? Atau Bi Sari?" Sari itu istri Edi.

Yanah melengos. Mana mau ia menitipkan anaknya pada kedua orang itu. Bisa bisa anaknya nggak keurus. Anak anak mereka sendiri aja nggak mereka urus dengan benar.

Bersama Nisa, saat Ia pulang Tika sudah mandi dan cantik. Perutnya sudah kenyang juga.

"Mamah sama Papah yang jahat sama bi Nisa!" Umboh ikut membela Nisa.

Yanah mendengus.

"Emang jahat apa sih, Mamah?"

"Mulut Mamah tuh. Kalau ngomong emang nggak nyakitin Bibi?"

"Emang Mamah ngomong apa?"

"Banyak, Mah. Saking banyaknya Mamah sampai lupa, ya?"

Yanah diam.

"Papah juga mulutnya 2 kayak perempuan!" sungut Tika lagi. Ia berani bicara begitu karena Papahnya sedang tidak ada di rumah. Kalau ada omelannya akan merentet terus seperti petasan cabai.

"Kasihan bibi Nisa, Mah. Gitu - gitu juga pernah ngurusin Tika. Ngajarin Tika belajar." papar Umboh yang di sambut dengan anggukan Tika.

Yanah menghela nafas. Rasa tidak sukanya pada Nisa memang sudah ada sejak Nisa hadir dalam kehidupan Iman.

Nisa yang begitu terlihat sempurna. Cantik, lembut, anak orang berada pula.

"Dari mana Iman dapat cewek secantik itu?" Yanah melihat saat Ijay menelan salivanya. Ia seperti tersihir melihat Nisa. Hati Yanah langsung terasa panas terbakar api cemburu.

" Padahal mukanya polos begitu. Tapi.. " Ijay berdecak kagum. Pipi Nisa merona alami. Bibirnyapun merah muda tanpa sapuan lipstick. Begitu sederhana tapi terlihat elegan. Ia melirik istrinya yang terlihat cemberut.

'Ini udah di dempul sama bedak mahal juga tetap seperti kokok belok.'

Di rumahnya Nisa menangis lagi. Hatinya tidak dapat menerima kebaikan Tika.

Tapi tangisan Nisa hanya di perdengarkan pada Yang Maha Pemberi Rizki.

"Berilah hidayah pada suami Hamba, Ya Allah." itu di ucapkannya berulang ulang.

Nisa percaya Iman tidak bertanggung jawab sebagai suami dan Ayah karena ketidak mengertiannya pada agama. Seperti keluarganya yang lain, Iman sangat susah melakukan kewajibannya kepada Allah, yang memberinya kehidupan.

"Ampuni suami hamba, Ya Allah, ia tidak mengerti akan kesalahannya." airmata Nisa terus membasahi pipinya.

"Maah! " Nisa segera menghapus airmatanya dengan mukena yang ia pakai. Ia baru selesai sholat Duha.

"Mah, Papah.. " ucapan Iman terhenti melihat Nisa tengah melipat mukenanya.

"Papah mau berangkat ke Jonggol, ya!" Iman langsung mengambil 3 kaos dari dalam lemari. Berarti ia akan menginap.

Nisa diam melihat suaminya sibuk sendiri.

"Tas mana tas?" Iman meraih tas travel kecil di atas lemari.

"Ada handuk kecil, Mah?" Iman membuka laci lemari kabinet dan menemukan handuk yang ia cari. Padahal ia tahu semua tempatnya, tapi tidak afdol rasanya kalau ia tidak bertanya.

Nisa menghela nafas dan duduk di tempat tidur. Mengawasi senua kegiatan suaminya dalam diam.

"Kaos kaki, Mah?" Iman terlihat begitu bersemangat. Nisa menunjuk rak gantung khusus kaos kaki.

"Jangan yang putih." Iman mengambil yang bercorak milik Nisa.

"Itu punya Mamah, Pah. Ada jempolnya."

"Terus yang mana, dong?" Nisa mengambil kaos kaki warna hitam dan memberikannya pada Iman yang langsung memasukkannya ke dalam tas.

Sepertinya semua sudah beres.

"Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar.

"Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi..

*******

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!