Alina berkali kali patah hati yang dibuat sendiri. Meski dia paham kesalahannya yang terlalu idealis memilih pasangan. Wajar karena ia cantik dan cerdas serta dari keluarga terpandang. Namun tetap saja dia harus menikah. Karena tuntutan keluarga. Bagaimana akhir keputusannya? Mampukah ia menerima takdirNya? Apalagi setelah ia sadari cinta yang sesungguhnya setelah sosok itu tiada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Ame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Bersama
Rumah besar di ujung jalan bertema Batu Permata itu terbangun di lokasi Senayan Jakarta Selatan. Mungkin hanya nampak biasa saja kalau untuk Roy, tapi buat yang belum punya rumah pasti bilang cakep parah, karena udah rumahnya besar, sangat bersih belum lagi si empunya ganteng, dengan lingkungan yang parah abis indahnya dan tentu saja plus fasilitas exclusive khas rumah seorang pengusaha.
Rumah utama dengan garasi berisi lebih dari empat mobil, kamar tidur mampu menampung 10 keluarga yang menginap bersamaan dengan suasana yang nyaman, bisa dipastikan areanya seluas minimal seribu meter. Indah dan sangat luar biasa.
Di ruang keluarga di rumah megah itu, Roy duduk di sofa dengan wajah kusut. Sejak kembali dari luar kota, suasana hatinya buruk. Adit, Arka, dan Andien saling bertukar pandang, bingung melihat ayah mereka seperti ini. Mereka seperti melihat mood ayahnya memburuk.
Adit yang berbaring di lantai, menatap langit-langit, "Yah, serius deh… ada apa sih? Kita bikin salah apa?"
Arka yang mendengar Adit pun mengangkat alis, duduk bersandar di kursi dengan tangan terlipat, "Sepertinya bukan kita deh yang bikin Ayah kayak gini."
Andien yang sedang asyik main game ponsel menyipitkan mata sambil meletakkan gadgetnya, mencoba membaca ekspresi Roy, "Jangan bilang ini gara-gara… calon ibu baru kita?"
Roy menoleh, ekspresinya langsung berubah seolah tertangkap basah. Ia menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya.
Roy berusaha mengelak, "Kalian ini… terlalu banyak bicara."
Adit kemudian duduk tegak, memasang ekspresi penasaran. "Ohhh jadi benar ini gara-gara Tante Alina!" Tanpa sadar Adit mengangguk dengan senyum menyeringai.
Roy spontan menatap tajam ke Adit, tapi tidak membantah. Dan sekejap melengos membuang muka.
Andien tersenyum miring, melipat tangan di dada, "Kenapa sih? Beliau ngambek ya Yah? Atau malah menghindar?"
Roy mendengus, lalu menatap ke luar jendela, "Dia… tidak mengangkat teleponku."
Arka mencibir, lalu bangkit dari duduknya, "Serius, Yah? Itu aja? Makanya, jangan overthinking. Cewek kan memang suka jual mahal."
Mendengar celoteh Arka Roy pun mengerutkan dahi, menatap tajam ke arah Arka, "Bukan soal jual mahal, Arka. Ini… berbeda."
Adit yang awalnya duduk bersandar, kini mencondongkan tubuh ke depan, kepo pada ayahnya, dengan wajah penuh rasa ingin tahu, "Berbeda gimana sih, Yah?"
Roy diam sejenak, seolah ragu untuk berbicara. Tapi akhirnya ia menghela napas dan menjawab pelan, "Dia ragu. Aku tahu itu. Tapi aku juga tahu kalau dia menyukaiku. Hanya saja, dia terus menghindar. Dan itu menyebalkan."
Andien menyilangkan kaki, lalu menatap Roy serius, "Terus, Ayah mau gimana? Kejar terus sampai Tante Alina menyerah?"
Roy pun mengangguk, "Kalau perlu, ya."
Arka kemudian tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepala, "Wah, baru kali ini lihat Ayah kayak gini. Biasanya santai, sekarang uring-uringan."
Adit kemudian mengetuk-ngetukkan jari ke dagunya, berpikir "Hmm… kayaknya kita harus ikut campur, deh."
Andien penasaran melihat wajah adiknya, "Maksudmu?"
Adit menyeringai, lalu memandang kakak-kakaknya, "Bagaimana kalau kita kuliah di Yogya?"
Roy langsung menoleh dengan kening berkerut, "Apa?"
Arka tertawa smirk, mulai menangkap maksud Adit, "Menarik. Kalau kita kuliah di Yogya, kita bisa sekalian ‘mengawasi’ calon ibu baru kita."
Andien menyentuh dan menggosok dagunya, berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju, "Ya… sekalian melihat langsung apakah beliau benar-benar cocok untuk Ayah."
Roy mengerutkan kening, memandang mereka satu per satu, "Kalian serius?"
Adit mengangguk cepat, tersenyum lebar, "Serius, dong Ayah! Toh, universitas di Yogya juga bagus-bagus. Kita bisa kuliah di sana, Ayah bisa lebih dekat dengan Tante Alina, dan siapa tahu kita jadi lebih akrab juga."
Roy menghela napas, lalu tersenyum kecil untuk pertama kalinya sejak kembali ke Jakarta, "Aku tidak tahu ini ide bagus atau jebakan buatku."
Arka tertawa sambil menepuk bahu Roy, "Santai aja, Yah. Anggap saja ini win-win solution."
Roy menggeleng sambil tersenyum, sementara anak-anaknya tertawa kecil. Dalam hati, ia tahu bahwa mereka penasaran dengan Alina. Dan mungkin, ini memang jalan terbaik untuk semakin mendekatkan mereka semua.
Dan pembicaraan hangat malam itu ditutup dengan kesepakatan bahwa mereka bertiga serentak ingin pindah ke kota dimana Alina tinggal.
Tidak begitu sulit mencari kampus dan sekolah untuk tiga bersaudara itu. Disamping karena Roy memang berada, ketiganya punya nilai yang bagus sehingga jarang ada sekolah menolak nilai dan uang sekaligus. Memang dunia para orang berada sedemikian mudahnya.
cek profil aku ada cerita terbaru judulnya
THE EVIL TWINS
atau langsung tulis aja judulnya di pencarian, jangan lupa mampir dan favorit kan juga ya.
terima kasih