Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hati Alvian seakan diremas mendengar kata anak haram yang disematkan Oma. Jika saja orang lain yang mengatakan itu, mungkin kepalan tinju Alvian sudah mendapat mulus ke wajahnya. Namun, Alvian mendengar kalimat menyakitkan itu justru dari Omanya sendiri. Wanita yang membesarkannya dengan penuh kasih.
"Oma, dia anakku. Dia lahir dalam keadaan bersih tanpa dosa. Bagaimana Oma bisa menyebut dia anak haram?" balas Alvian tak terima. Hampir saja ia membentak Oma. Beruntung Alvian masih memiliki kewarasan dan kesadaran yang utuh.
Lagi, air mata Oma berderai. Apalagi setelah mendengar nada marah dari setiap kata yang terlontar dari bibir Alvian.
"Pokoknya Oma tidak akan pernah mau menerima anak itu, sekalipun dia anak kandung kamu!"
Tangan Alvian terkepal semakin kuat. Namun, berusaha menekan amarahnya. Ia tidak ingin terlibat pertengkaran dengan Oma. Terlebih, usia Oma sekarang tidak muda lagi. Emosi yang tidak stabil bisa mempengaruhi kesehatannya.
"Anakku tidak salah, Oma. Aku yang bersalah."
"Oke, bayi itu tidak salah. Tapi ibunya yang salah dan sudah menjebak kamu!"
"Ajela juga tidak sepenuhnya bersalah. Aku yang membeli Ajela malam itu dan memaksanya."
"Pokonya kamu tidak boleh menikahi wanita itu! Apa kata orang nanti kalau kamu menikahi wanita malam? Tinggalkan dia dan anaknya. Beri uang dalam jumlah yang banyak. Kamu masih bisa punya dengan wanita yang lebih terhormat nantinya."
Sepasang mata Alvian terpejam. Mendadak dadanya terasa sesak. Seakan udara dalam ruangan itu tak cukup baginya untuk bernapas.
"Aku tidak bisa, Oma. Aku akan tetap menikahi Ajela ."
"Kalau begitu kamu harus memilih antara keluarga atau wanita itu!" Suara serak oma menggema ke setiap sudut.
"Jangan memberi aku pilihan seperti itu, Oma. Karena Oma akan sakit kalau tahu apa yang kupilih."
"Ya, tentu saja. Kamu tetap akan memilih perempuan itu, karena dia sudah berhasil memperalat kamu!"
"Cukup, Oma! Ajela bukan orang seperti itu!" Kesabaran Alvian akhirnya pupus juga. "Tidak masalah oma mau terima Ajela atau tidak. Aku tetap akan menikahi dia."
"Kamu benar-benar sudah berada dalam kendali perempuan itu."
Tidak ingin terlibat perdebatan lebih jauh dengan oma, Alvian memilih bangkit dari posisi berjongkoknya, kemudian segera keluar dari kamar oma. Ia tak yakin akan bisa mengontrol emosi jika terus berdebat dengan oma. Terlebih oma terang-terangan menentang rencana pernikahannya dengan Ajela .
Begitu masuk ke kamar pribadinya, ia langsung menanggalkan seluruh pakaian dan beranjak menuju kamar mandi. Menyandarkan kepala di bath tub, Alvian menatap nanar langit-langit kamar mandi.
Bayang-bayang Ajela dan juga putranya bermunculan dalam ingatannya.
Jika bersikukuh mempertahankan Ajela dan Boy, ia harus melawan seluruh keluarga Darmawan. Termasuk mama dan Oma. Alvian tidak ingin putranya hidup dengan menanggung kebencian dari orang-orang. Ia akan memastikan anaknya tumbuh dalam limpahan kasih sayang. Dan Alvian akan melakukan apapun untuk itu.
**
**
Pagi-pagi sekali Alvian sudah keluar kamar. Jika biasanya di pagi hari ia mengenakan setelan pakaian kerja, pagi ini cukup berbeda. Ia terlihat santai dengan celana jeans dan kemeja berlengan pendek dan juga sepatu sneakers.
Ia menuruni tangga dengan tergesa-gesa. Pagi ini ada janji penting dengan seorang dokter.
"Mau ke mana kamu sepagi ini ?" Sapaan mama menghentikan langkah Alvian sejenak. Ia menoleh ke sumber suara. Mama terlihat sedang duduk di ruang televisi dengan sebuah majalah di pangkuannya.
"Mau ke rumah sakit, Mah."
Mama Veny memejamkan mata kesal. Majalah di tangannya ia letakkan ke meja dengan kasar.
"Ke rumah sakit? Menemui wanita itu lagi?"
"Memangnya kenapa, Mah?
Ajela sendirian di sana dan dia tidak punya siapa-siapa."
"Itu urusan dia!" ujar Mama Veny ketus. "Mama benar-benar tidak yakin kalau bayi itu anak kamu."
"Apa perlu aku membuktikan dengan tes DNA?" tantang Alvian.
Mama tergugu melihat keyakinan penuh dari putranya itu. Seakan tiada lagi keraguan dalam dirinya akan darah siapa yang mengalir pada tubuh bayi kecil itu.
"Baik, mama tunggu hasil tes DNA nya. Mungkin dengan itu mata kamu akan terbuka dan bisa menilai wanita itu dengan benar."
Alvian tak menanggapi ucapan mamanya. Ia melirik arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Maaf, Mah. Aku buru-buru. Nanti saja kalau mau bicara lagi," ucap Alvian menyudahi pembicaraan.
"Alvian tunggu! Mama belum selesai bicara!" panggil Mama Veny, namun Alvian tiada peduli. Ia terus melangkah keluar.
Di depan tampak seorang sopir sedang membersihkan mobilnya dari debu. Begitu Alvian mendekat, pria berusia kira-kira 40 tahunan itu menyerahkan kunci mobil.
"Terima kasih."
**
**
Tidak mudah bagi Riana untuk menerima kenyataan bahwa lelaki yang selama ini ia incar ternyata telah menghabiskan malam dengan adik tirinya sendiri.
Terlebih, sekarang Ajela telah melahirkan seorang anak laki-laki.
Boleh dikata Riana sangat menyesal telah menjebak Alvian malam itu dengan memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya. Seharusnya ia bisa bersabar dan melakukannya di luar kota. Toh, saat itu mereka memang berencana keluar kota berdua. Sayang rencana itu harus batal.
Pagi ini Riana sengaja menyambangi Mama Veny. Beruntung Alvian sudah pergi, sehingga keduanya lebih leluasa berbicara.
"Alvian nekat mau menikahi wanita itu, Riana," ucap Mama Veny tampak sangat putus asa.
Riana menyeka air mata yang terus mengalir membasahi kedua sisi pipinya. "Aku kurang apa sih sama Alvian? Kenapa Alvian tega melakukan semua ini? Aku jauh lebih cantik, lebih berkelas dan lebih layak."
"Kamu tenang saja. Mama tidak akan pernah menyetujui keputusan Alvian itu."
"Ajela itu bukan perempuan baik-baik, Mah. Aku tahu siapa dia. Dia tidak lebih dari seorang wanita malam. Apa Mama mau punya menantu seperti itu?"
"Tentu saja tidak. Amit-amit!" ucap Mama Veny, sambil bergidik ngeri. Membayangkan hal itu saja rasanya tak sanggup.
"Mami aku minta aku ikut keluar negeri, Mah. Mami kecewa dengan sikap Alvian. Katanya mami mau jodohkan aku dengan anak temannya aja."
"Apa mami kamu sudah kembali ke luar negeri, Sayang?"
Riana mengangguk pelan. " Mami tidak bisa lama-lama di sini."
Mama Veny turut prihatin menatap gadis itu. "Kamu sabar ya, Sayang. Pokoknya mama akan menolak keputusan Alvian untuk menikahi perempuan itu."
"Makasih, ya, Mah."
Riana menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu.
Tangisnya pecah pagi itu. Kini, ia sedang memikirkan sebuah rencana untuk menyingkirkan Ajela .
"Mah, bagaimana kalau nanti Mama temui perempuan itu?
Kalau Mama yang bicara, dia pasti akan sadar diri dan pergi meninggalkan Alvian."
"Kamu yakin?"
Riana mengangguk penuh keyakinan. Ia akan melakukan apapun demi mencegah Alvian menikahi Ajela . Meskipun harus menghasut Mama Veny terlebih dulu.
"Kamu benar juga sih.
Sepertinya mama memang harus turun tangan dalam masalah ini."
Riana menyembunyikan senyum penuh makna. Mama Veny benar-venar sudah berada dalam genggamannya.
**
**
Benar saja, setelah bicara panjang lebar dengan Riana, Mama Sungguh Riana memang wanita licik yang dapat memanfaatkan kepolosan Mama Veny. Ia juga berhasil mencuci otak Mama Veny dan menanamkan bibit kebencian dalam hati wanita itu.
"Langsung ke rumah sakit, Bu ?" tanya sang sopir.
"Iya, Mang. Langsung ke rumah sakit saja!" jawab Mama Veny, sambil memainkan ponselnya.
Mobil melaju pelan pagi itu. Mereka sedang melewati sebuah pasar tradisional. Beberapa mobil memarkir kendaraan di sisi jalan, menciptakan kemacetan panjang.
Rasanya
Mama Veny sudah tidak sabar untuk sampai di rumah sakit dan memberi peringatan kepada Ajela untuk menjauhi putranya.
Namun, sesuatu yang tak terduga berhasil mencuri perhatian Mama Veny. Wanita itu melirik ke arah pasar.
"Apa aku salah lihat?" Mama Veny mencoba menajamkan penglihatannya.
Hal yang membuat kedua bola matanya melotot seketika. Bagaimana tidak, di sana terlihat sosok wanita yang sangat mirip dengan Jeng Trisha, Maminya Riana.
"Apa mungkin hanya mirip, ya?"
Mama Veny meyakinkan dirinya. Toh, manusia mirip satu sama lain itu adalah hal yang wajar. Lagi pula penampilan wanita di dalam pasar dengan Jeng Trisha sangat berbeda. Jeng Trisha wanita berkelas sedangkan wanita yang dilihatnya sekarang hanyalah ibu-ibu yang mungkin sedang berjualan di pasar.
"Tapi memang benar-benar mirip, sih."
Penasaran, Mama Veny turun dari mobil. Melangkahkan kakinya semakin mendekat. Sosok wanita di depan sana memiliki kemiripan hampir sempurna dengan Jeng Trisha. Mama Veny sampai meneliti dari ujung kaki ke ujung kepala. Wanita itu tampak sedang melayani pembeli.
"Kenapa bisa semirip ini.
Bedanya hanya maminya Riana itu pengusaha tambang, sedangkan wanita yang di sana hanya penjual arang."
**
**
Hal baik yang patut disyukuri Ajela adalah kondisi fisiknya membaik dalam waktu yang terbilang sangat cepat. Berada di ruang VVIP membuatnya mendapat penanganan paripurna.
Tentu saja fasilitas dan pelayanan yang ia dapatkan jauh lebih baik dibanding pasien yang menempati ruangan biasa.
Ajela menebak bahwa Alvian mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk biaya rumah sakitnya. Hal yang membuat Ajela merasa takut. Di dunia ini tidak ada yang gratis, bukan? Akan ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatunya.
Kini Ajela sedang duduk di kursi roda menuju ruang bayi dengan diantar seorang perawat.
Dokter menyarankan agar Ajela mulai menyusui bayinya.
Si kecil sendiri sudah menunjukkan sangat banyak kemajuan. Tubuhnya sudah lebih kuat dari sebelumnya. Bahkan kata dokter sudah bisa keluar dari ruang inkubator dalam beberapa hari ke depan.
Rasanya Ajela sudah tidak sabar untuk melihat dan memeluk putranya untuk pertama kali. Entah seperti apa wajahnya. Ia menunggu seorang petugas di ruang NICU untuk membawakan bayinya menuju ruangan khusus untuk ibu menyusui.
Dan, saat malaikat kecil itu datang dengan digendong seorang perawat, Ajela tak kuasa membendung luapan air mata yang mengalir begitu saja membasahi pipi. Apalagi ketika melihat jarum infus menancap di pergelangan tangan kanan putranya.
Ia gendong bayi kecil itu untuk pertama kali dan menatap wajahnya lekat-lekat. Tanpa terasa air mata mengalir semakin deras.
"Kenapa anak ini mirip sekali dengan Tuan Alvian? Pantas saja Tuan Alvian terus menanyakan siapa ayahnya. Aku harus bagaimana sekarang?"
Ia bergumam dalam hati setelah mendapati kemiripan bayinya dengan Alvian.
Ajela mencoba menenangkan diri. Sementara perawat mengajarinya cara menyusui bayi yang benar. Tidak sulit bagi Ajela untuk cepat paham, sebab seorang ibu memiliki naluri keibuan yang kuat.
"Kamu harus kuat, ya, Sayang," bisik Ajela sambil membelai puncak kepala putranya.
Beberapa menit ia habiskan di ruangan itu. Rasanya waktu yang tersedia benar-benar tak cukup untuk melepas kerinduan dengan.
Hingga akhirnya, Ajela harus rela melepas bayinya untuk kembali dibaringkan di dalam inkubator. Ia hanya memandangi bayi kecil itu dari jendela.
"Kita kembali ke kamar sekarang, Bu?" tanya sang perawat.
"Iya, Sus," balas Ajela . Setidaknya ia merasa lega sudah melihat bayinya.
Sang perawat lantas mendorong kursi roda yang duduki Ajela menuju kamar perawatannya. Ketika melewati salah satu ruangan, tanpa sengaja pendengarannya menangkap suara tak asing.
Ya, itu suara Alvian yang sedang berbicara dengan seorang dokter. Ajela meminta perawat berhenti sejenak di depan ruangan itu.
"Tes DNA bisa dilakukan dengan menggunakan rambut atau mengambil sampel darah. Hasilnya akan keluar dalam beberapa hari."
"Baik, Dokter. Terima kasih."
Seketika bola mata Ajela membulat sempurna. Tubuhnya mendadak gemetar. Perlahan rasa takut menjalar ke hati.
"Tidak! Bagaimana kalau nanti hasilnya menunjukkan anakku identik dengannya? Dia pasti akan mengambilnya."
"Tolong antar saya ke kamar sekarang, Sus!" pintanya.
"Baik, Bu."
Begitu tiba di kamar, Ajela duduk dengan gelisah. Saat ini hatinya penuh dengan rasa takut. Pikirannya melayang memikirkan cara untuk melindungi bayinya dari cengkraman Alvian.
Dan ketakutan itu semakin bertambah dengan kehadiran Alvian yang muncul dari balik pintu. Ajela mencoba menyembunyikan air mata. Tetapi, terlambat karena Alvian sudah melihatnya lebih dulu.
"Kamu menangis?" tanya lelaki itu. "Apa ada masalah?"
"Tidak, Tuan. Saya tidak apa-apa," jawabnya ragu-ragu.
Ada kerutan tipis pada kedua alis tebal Alvian. Ingin bertanya lebih dalam, namun ia sedang terdesak waktu. Beberapa menit lalu, Galih tiba-tiba menghubungi dan meminta bertemu di suatu tempat.
"Ya sudah kalau begitu. Aku tidak bisa lama-lama. Ada yang harus aku urus pagi ini."
Tak ada sahutan dari Ajela . Ia hanya dapat memandangi punggung tegap Alvian yang kemudian menghilang di balik pintu.
"Apa yang akan dia urus? Apa jangan-jangan dia sedang menyusun rencana untuk mengambil anakku?"
**
**
Selepas menemui Ajela , Alvian menuju sebuah kafe. Ia cukup penasaran dengan informasi yang dibawa Galih. Entah berita sepenting apa, sebab tidak biasanya Galih mendesak seperti tadi.
Begitu memasuki Kafe, terlihat Galih mengangkat sebelah tangannya. Alvian langsung mendekat dan duduk di kursi berhadapan dengan sepupunya itu.
"Ada apa? Tumben mau ketemu pagi-pagi," tanya Alvian sambil melirik menu yang tersedia di meja. Galih sudah memesan kopi hitam dan juga roti bakar yang memang menjadi menu sarapan kesukaan Alvian. Alvian langsung menyambar secangkir kopi. Sementara Galih masih asyik memainkan ponsel di tangannya.
"Kamu tidak akan percaya dengan informasi yang aku bawa," ucap Galih.
Dahi Alvian berkerut tipis.
Semakin penasaran dengan informasi penting yang disebut Galih.
"Memang kamu ada informasi apa? Jangan sampai tidak penting dan hanya membuang-buang waktuku."
"Yang ampun, ini orang sok penting sekali." Galih menjeda ucapannya dengan tarikan napas. Kamu ingat, waktu itu kamu suruh aku menyelidiki rekaman CCTV di hotel di malam kamu menyewa Ajela ?"
Alvian hampir melupakan hal itu dan malah fokus pada masalah lainnya. Padahal informasi ini pun sama pentingnya. Karena pertemuannya dengan Ajela berakar dari malam ini.
"Apa yang kamu temukan di sana?" Alvian semakin penasaran.
Galih menggeser ponselnya ke hadapan Alvian. Membuat lelaki itu langsung meraih benda pipih tersebut.
Sebuah video berdurasi 15 menit menayangkan detik-detik Alvian sedang menikmati pesta ulang tahun perusahaan milik relasi bisnisnya. Alvian tampak sedang mengobrol dengan beberapa teman.
"Tidak ada yang aneh dengan rekaman ini," ucap Alvian saat memperhatikan rekaman CCTV. Namun, tak ada keanehan yang ia temukan.
"Sabar, Bos! Lihat saja terus."
Alvian pasrah. Dengan sabar
menatap lagi ke layar ponsel. Hingga akhirnya perhatiannya tertuju pada Riana yang terlihat jelas sedang celingukan. Kemudian tampak memasukkan sesuatu ke dalam minuman, yang kemudian ia berikan kepada Alvian.
"Riana?" Sebelah tangan Alvian terkepal kuat. Sorot matanya tajam penuh amarah.
"Kamu terkejut?"
Alvian belum sanggup menyahut. Terkejut membuat lidahnya terasa kaku. Galih pun demikian. Ia lebih terkejut saat mendapati rekaman CCTV itu untuk pertama kali. Sebenarnya agak sulit bagi Galih untuk bisa mendapatkan rekaman CCTV ini.
Karena pihak hotel sempat menolak menayangkan rekaman CCTV. Namun, lagi-lagi Galih harus menjual nama besar Alvian Setyo Darmawan.
"Aku rasa yang dia masukkan ke minuman itu yang menjadi penyebab kamu uring-uringan malam itu."
"Kurang ajar!" Rahang Alvian mengeras. Sorot matanya menghujam. Tanpa ia sadari selama ini sudah memelihara rubah licik di dekatnya.
Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa Riana, sekretaris yang baru sembilan bulan bekerja di perusahaannya itu bisa selancang ini.
"Jadi bagaimana? Kamu mau langsung eksekusi dia? Pecat, atau ...." Ucapan Galih terpotong. Ia menunggu akan seperti apa keputusan Alvian.
Alvian terdiam sejenak. Menimbang dalam hati. Untuk saat ini dirinya sama sekali tidak boleh gegabah dan tidak boleh sembarangan bertindak. Melihat rekaman CCTV ini, ia yakin bahwa Riana adalah tipe orang yang akan sanggup melakukan apapun untuk mencapai tujuannya.
Tidak hanya dapat menyakiti Ajela , tapi juga mengancam keselamatan putranya. Apalagi Riana mendapat dukungan penuh dari Oma dan Mama. Selain itu, Riana yang licik sangat mudah memutar balikkan fakta. Mama Veny yang selama ini ketat mencari jodoh untuk putranya saja bisa dikelabui wanita itu.
"Tunggu dulu! Aku tidak mau ambil resiko. Untuk sementara pura-pura saja tidak tahu apa-apa. Selidiki perempuan ini lebih jauh. Aku agak curiga dengannya! Oh ya, minta data diri Riana dari bagian HRD! Aku mau data dirinya yang lengkap!"
Bersambung ~