Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Batavia, 1941.
Seorang wanita pribumi sedang fokus mengetik lembaran dokumen di meja kerjanya, jemarinya bergerak tangkas menghasilkan suara gemeretik yang riuh. Tubuhnya ramping dan mungil, seperti wanita pribumi pada umumnya. Rambut hitam panjangnya yang berkilau subur diikat rendah di belakang. Ia juga berkutat dengan data-data di kertas di yang harus ia periksa dengan saksama, sementara tidak jauh dari sana seorang pemuda Belanda pirang berdiri melipat tangan sambil memerhatikannya. Wanita tadi merasa risih diawasi kedua mata biru itu terus.
“Bisakah saya meminta tolong, Tuan?” Pinta wanita pribumi itu berusaha sopan.
“Oh tentu, apa yang bisa saya bantu?” Pemuda pirang itu maju dengan antusias sambil merekahkan senyum, merasa diberi kesempatan.
“Tolong jangan menatap saya terus, saya jadi sulit memusatkan pikiran pada pekerjaan saya. Saya bukan monyet sirkus.” Wanita itu memberi peringatan tegas sambil memperlihatkan senyum yang penuh kekesalan.
Pemuda itu tertegun dengan kelugasan wanita pribumi di hadapannya menyuarakan perasaan secara terus terang. Tapi responnya malah membuat pemuda itu tertawa terhibur, “Bukankah pekerja di sini harus memiliki kemampuan bekerja dibawah tekanan? Anggap saja ini ujian.”
“Bekerja di bawah tekanan tuntutan kerja, bukan di bawah pengawasan yang tidak perlu dan menghambat pekerjaan.” Wanita pribumi itu meralat dengan diplomatis, “Pun saya tidak mengenal anda, apa sebab Tuan datang kesini dan membuang-buang waktu dengan memerhatikan saya? Itu bukan pekerjaan anda, kan?”
Lagi-lagi pemuda Belanda itu terkesima, jawaban perempuan itu terdengar penuh intelektualitas. “Saya hanya terkejut, menemukan seorang wanita pribumi di sini dengan pekerjaan yang memerlukan kepandaian. Ini bukan pemandangan yang biasa bagi saya. Biasanya wanita pribumi akan bercokol di rumahnya, berkutat dengan dapur, sumur, kasur. Tapi anda mampu mematahkan anggapan umum masyarakat dan melampaui wanita-wanita awam. Anda hebat.”
Alih-alih tersanjung, wanita yang disebut-sebut itu melirik dengan tatapan sinis sebelum kembali mengerjakan kertas demi kertas yang harus diketiknya.
“Saya masih mengerjakannya, yang anda sebut pekerjaan dapur, sumur, kasur. Dan itu pekerjaan yang baik, mulia, bukan hina. Wanita yang memilih berdiam di rumah mereka sepanjang hari berkutat dengan dapur, sumur, kasur, tidak kalah hebatnya dengan saya.” Dengan wibawanya ia membela kaumnya, “Pemikiran sempit itu kan anda sendiri yang membuat, lalu anda sendiri yang terkejut. Saya merasa biasa saja, wanita lain pun mampu mengurus pekerjaan kantor yang mudah semacam ini andai diberi kesempatan. Pekerjaan rumah yang anda remehkan itu nyatanya lebih sulit daripada semua pekerjaan di kantor ini digabung menjadi satu. Cobalah sesekali ikut mengurus rumah, pria manja, supaya tahu. Yang jarang ada bukan wanita pribumi pandai, tapi kesempatannya.” Terlihat wanita itu menyeringai.
Pemuda pirang itu kecele, tidak menyangka ucapannya justru menyinggung wanita pribumi yang ia kagumi. “Maaf, saya bukan bermaksud mengkerdilkan kaummu. Saya cuma berusaha memujimu. Saya akui saya terlalu gegabah menilai kemampuan wanita pribumi dengan sebelah mata, maaf. Saya cuma senang, wanita pribumi yang memiliki kepandaian berpikir seperti anda diberi kesempatan bekerja disini. Papa saya tidak keliru menempatkan orang.” Pemuda itu tampak malu dan menyesali ucapannya.
“Jadi Papa anda petinggi di sini? Tidak heran, anda bisa membuang waktu dengan leluasa disini. Tuan...Adrian Van Ankeren?” Perempuan pribumi itu menebak identitasnya dengan tepat sambil tersenyum sinis. “Kembalilah ke istana anda yang nyaman, atau bekerjalah dengan sungguh-sungguh disini. Jangan menganggap ini tempat bermain anda.” Saran wanita itu dengan nada tajam.
“Kamu tahu nama saya?” Pemuda pirang itu merasa bersalah dan tidak enak hati, “Maaf, saya tidak berniat sombong atau buruk. Bukankah saya sudah meminta maaf, anda masih marah?”
“Anda kira kata maaf cukup untuk meredam amarah? Apa gunanya maaf jika tiada hikmah yang dipetik atau perubahan sikap yang nyata? Maaf hanyalah awal, yang jauh lebih penting adalah perbaikan selepasnya.” Perempuan itu menjelaskan, “Jadi apa anda benar-benar paham kesalahan anda, atau kata maaf ini sekedar menyudahi masalah?”
Pemuda pirang itu menunduk, “Saya paham letak kesalahan saya, tapi sepertinya semakin banyak saya bicara, saya semakin mengganggu anda dan membuat anda kesal. Padahal saya sekadar menyuarakan kekaguman saya terhadap Puan, sekali lagi maaf, saya undur diri.” Ia berbalik dan menjauh dengan gontai.
“Silakan lakukan di luar waktu bekerja.” Pesan wanita pribumi itu menghembuskan angin segar. Adrian sontak memutar kepalanya demi menatap wanita pribumi itu dengan haru. Matanya berkilau-kilau seperti anak anjing terlantar yang baru saja menemukan pemilik baru.
“Jadi anda tidak keberatan berbincang lagi dengan saya setelah ini?” Adrian memastikan pendengarannya dan kesimpulan yang dia tangkap.
“Jika saya punya waktu luang dan anda tidak bermaksud buruk, ya.” Jawab wanita pribumi itu cuek sambil masih membolak-balik kertas dihadapannya.
“Baiklah, siapa nama Puan? Saya belum mengetahuinya.” Rasa tidak sabar menyelimuti pria pirang itu. Ingin ia semakin mengenal sosok wanita pribumi berintelektualitas yang dijumpainya kini.
“Kemuning.” Wanita bersetelan kerja rapi itu menjawab singkat sambil tersenyum kecil.
Maka sore itu juga Adrian menunggu Kemuning menuntaskan pekerjaannya. Saat waktunya pulang ia muncul mencegat perempuan pribumi yang manis itu, Kemuning.
“Ada waktu berbincang kali ini?” Adrian menawarkan dengan wajah riang.
“Baiklah, satu jam saja.” Kemuning berkompromi.
“Ikuti saya, akan saya tunjukkan tempat menarik.” Pemuda berkulit putih itu mengajak wanita pribumi tadi ke sebuah area di pekarangan kantor, dimana berdiri pohon Trembesi besar yang rindang menaungi sekitarnya hingga teduh. Di bayangan pohon itu Adrian mengembangkan koran-koran yang dikumpulkannya dan menjadikannya tikar.
“Bagaimana? Seperti picknick kan?” Ia menduduki koran tersebut disusul Kemuning di dekatnya.
Wanita berkemeja putih itu tertawa melihat sisi kekanakan dalam diri pria nederlander di hadapannya, “Sejujurnya aku tidak pernah picknick.” Bisiknya lirih, sarat keraguan.
Adrian memandangnya dengan raut wajah iba. “Itu berarti ini kali pertamamu ya?” Ia menyimpulkan, segera paham kesulitan hidup wanita pribumi di depannya. “Ini aku membawa beberapa roti, makanlah...itupun jika kamu suka.” Pemuda itu membongkar tasnya dan mengeluarkan kantong kain berisi roti-roti segar yang dilindungi kertas pembungkus.
Kemuning menatap Adrian yang tampak antusias, tersentuh dengan usahanya, “Sepertinya sedap, benarkah saya boleh memakannya?”
“Ambil saja, saya sudah bosan memakannya.” Adrian mempersilakan.
“Tidak boleh mencela makanan seperti itu, tidak baik. Nanti Tuhan tidak berkenan memberimu makanan lagi, bagaimana?” Wanita bijaksana itu menasihati.
“Tuhan, ampuni saya. Maaf roti, saya tarik lagi ucapan saya.” Pria Belanda itu segera menyesali tindakannya, bahkan sampai mengajak bicara roti di depannya.
Kemuning terkekeh melihat aksi pemuda tampan di depannya, “Kamu lucu,”
“Memang,” jawab Adrian singkat, senyumnya manis penuh optimisme.
“Kenapa percaya diri sekali?” Wanita berambut lurus itu tersenyum geli.
“Karena percaya diri modal untuk hidup.” Pria pirang itu menjawab lugas.
“Bedankt (terima kasih).” Ucap Kemuning sambil mengambil roti didepannya. Ia menyantap roti pemberian Adrian sambil memperhatikan pemuda percaya diri di hadapannya. Tidak bisa ia pungkiri pemuda itu tampan dan sikapnya menawan, sungguh melenakan bagi wanita yang diberikannya perhatian. Ia tidak mengerti alasan pemuda ini mendekatinya, sedangkan ia merasa banyak wanita bersedia mengantri demi memperebutkan pemuda memesona dari keluarga makmur di depannya, “Kenapa mengajak saya?”
“Kamu menarik. Kamu menatap mukaku sewaktu berbicara denganku. Kebanyakan wanita pribumi menunduk ketika berhadapan dengan nederlander sepertiku, seperti punya rasa rendah diri.” Adrian menjelaskan alasannya.
Kemuning menghela napas, “Dengarkan ya, Tuan, wanita-wanita pribumi itu menunduk bukan karena mereka merasa rendah diri, tapi karena tatanan sosial kalian menuntut itu. Banyak wanita pribumi yang bekerja di keluarga Belanda seperti anda, dipaksa menurut seperti kerbau dicucuk hidungnya, bahkan keselamatannya menjadi taruhan, kalau melawan dihukum tanpa ampun. Mereka menjadi terbiasa mencari aman, menunduk takut seperti tawanan. Kalian yang membiasakannya, bukan kemauan kami. Justru semestinya Tuan mengasihani dan mempertanyakan, kenangan sepahit apa yang membuat mereka takut hingga bergidik seperti melihat hantu saat berhadapan dengan nederlander seperti kalian."
Pemaparan Kemuning itu tak pelak membuka pandangan Adrian, ia seperti tercerahkan dari pemikiran sempitnya. “Begitu buruknya perlakuan bangsaku terhadap bangsamu ternyata, maaf, sejujurnya aku malu.” Ia menyatakan, “Aku sangat membenci diskriminasi terhadap ras dan suku bangsa, perbedaan tidak seharusnya disikapi dengan buruk seperti itu.” Pria Belanda pirang itu tampak tidak enak hati. “Sejujurnya keluargaku mendirikan perusahaan ini dengan komitmen memberikan kesempatan kerja yang adil untuk setiap orang tanpa memandang warna kulit atau latar belakangnya, murni melihat kemampuannya. Keluargaku juga membenci diskriminasi antar bangsa.”
“Aku bisa merasakan niat baik itu.” Kemuning tersenyum, “Perusahaanmu sangat baik memperlakukanku dan pekerja pribumi lainnya. Kami merasa dihargai. Tolong sampaikan ucapan terima kasih kepada Papamu, beliau pemimpin yang baik.”
Adrian tersenyum, meski dalam hati menyesali, ‘Kenapa kami jadi membahas keluargaku? Kesannya malah seperti aku menyombongkan diri sebagai anak manja pemilik perusahaan, sama sekali tidak mengesankan.’ Ia menengadah menatap langit, mencoba mencari topik lain.
“Kenapa ya langit siang berwarna biru?” Cetusnya spontan, “Apa karena samudra itu biru, membuat pantulan di langit juga biru?”
Kemuning terkekeh, “Itu kesalahan berpikir yang umum. Pada dasarnya semua warna dihamburkan oleh molekul udara, tetapi matahari lebih banyak memancarkan energi sebagai cahaya biru, dan kebetulan pula mata kita lebih peka terhadap cahaya biru. Itulah sebabnya langit siang terlihat biru.”
Adrian tertegun dengan jawaban ilmiah wanita pribumi di sampingnya, “Kamu selalu berhasil mengejutkanku, Kemuning. Darimana pengetahuan itu kamu dapat?”
“Aku gemar membaca. Seingatku itu tertulis di ensiklopedi pengetahuan alam yang pernah aku baca.” Gadis berambut indah itu mengingat-ingat.
“Kamu seperti golongan anak paling pandai dan berambisi di sekolah. Tunggu, apa kamu bersekolah?” Adrian penasaran.
“Iya, aku sudah lulus dari AMS (Algemene Middelbare School). Tapi bukan dikarenakan aku bangsawan atau anak priyayi, kebetulan Ibuku pengajar di AMS, jadi bisa memasukkanku kesana.” Kemuning menceritakan.
“Ibumu pasti wanita yang amat pandai, hingga bisa menghasilkan putri yang menggemari ilmu seperti kamu. Beliau pasti bangga denganmu.” Mata biru pemuda itu menunjukkan binar kekaguman.
“Terima kasih, aku anggap itu sanjungan.” Kemuning tertunduk.
“Aha, kamu ternyata suka disanjung ya?” Adrian meledek reaksi wanita itu yang tersipu malu.
“Aku pantas tersanjung karena kamu menghargai kemampuanku, bukan karena memandang penampilan.” Wanita itu mengungkap alasannya, “Seringkali laki-laki memandang wanita sebagai pemuas mata, semua sekadar tentang penampilannya saja.”
“Tenang saja, penampilanmu tidak semenarik itu.” Adrian terkekeh, yang disambut Kemuning dengan tepakan kesal di punggung, “Aduh, tapi aku kan jujur.”
“Terima kasih atas kejujurannya yang tidak diperlukan.” Gadis dengan rambut hitam legam itu merespon sinis.
“Tapi tenang, kamu tergolong menarik. Untuk menarik tidak perlu menjadi cantik kan.” Adrian berusaha menenangkan wanita di depannya itu masih sambil terkekeh.
“Meledek lagi?” Kemuning merajuk, “Aku pergi.” Wanita itu bangkit dari duduknya untuk beranjak dari tempat itu. Tangan Adrian menahan tangannya sambil memandang wajahnya lekat-lekat. Pemilik wajah menahan kikuk sejadi-jadinya.
“Aku berbohong. Kamu cantik.” Adrian berkata dengan tatapan serius, ‘Itu pula yang membuatku terpikat selain kepintaranmu.’ Suara hatinya menambahkan.
Bujukan itu berhasil membuat Kemuning duduk kembali, “Aku juga bergurau. Aku tidak masalah dibilang buruk rupa, yang penting tidak buruk hati.” Ia tersenyum tengil, menutupi debaran jantungnya yang tadi berpacu.
“Boleh aku berkawan denganmu untuk seterusnya?” Pemuda Belanda itu memberanikan diri bertanya.
“Bukankah sudah?” Kemuning menjawab lugas dengan senyum manisnya, “Justru harusnya aku yang bertanya, sudikah kiranya Tuan Muda Eropa ini berkawan dengan kasta pribumi seperti saya?” Ia mendramatisir ucapannya sambil menahan geli.
“Hei jangan menyindirku! Kamu kan tahu aku tidak seperti Belanda lain yang sombongnya menyaingi tingginya matahari.” Adrian membalas dengan tawa manisnya.
Mereka menikmati sore itu dengan perbincangan penuh gurauan dan sesekali gelak tawa, seperti sudah berkawan sejak lama. Itulah kali pertama perjumpaan Adrian dengan Kemuning. Setelah itu Adrian, nederlander sang anak pemilik perusahaan, terus mengekori Kemuning, perempuan inlander yang penuh potensi, di luar waktu bekerjanya. Mereka menjadi sering makan bersama sambil berbincang di tengah waktu istirahat siang, atau sepulang mereka bekerja. Kedua insan yang unik itu terlihat saling melengkapi, layaknya kawan yang telah ditakdirkan untuk bertemu dan berbagi sudut pandang yang berbeda.
semangat /Good/