Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hutan, hiduplah Kirana, gadis cantik, cerdas, dan mahir bela diri. Suatu hari, ia menemukan seorang pemuda terluka di tepi sungai dan membawanya ke rumah Kakek Sapto, sang guru silat.
Pemuda itu adalah Satria Nugroho, pewaris keluarga pengusaha ternama di Jakarta yang menjadi target kejahatan. Dalam perawatan Kirana, benih cinta mulai tumbuh di antara mereka. Namun, setelah sembuh, Satria kembali ke Jakarta, meninggalkan kenangan di hati Kirana.
Bertahun-tahun kemudian, Kirana merantau ke Jakarta dan tak disangka bertemu kembali dengan Satria yang kini sudah dijodohkan demi bisnis keluarganya. Akankah mereka bisa memperjuangkan cinta mereka, atau justru takdir berkata lain?
Sebuah kisah takdir, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh waktu, hadir dalam novel ini! ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon I Wayan Adi Sudiatmika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Upaya Penyelamatan
Tiba-tiba Daniel sudah berdiri di depannya. Senyumnya lebar tapi bukan senyum yang menenangkan. Senyum itu membuat Susi seperti seekor mangsa yang terjebak di depan predator. Mata Daniel berbinar tapi bukan dengan cahaya yang hangat melainkan dengan kilauan nafsu yang gelap dan mengerikan. Tidak ada lagi Daniel yang tampan dengan tutur kata lembut tapi sekarang Daniel seperti menjadi serigala yang mengerikan.
“Sudah siap sayang…,” ujarnya dengan suara rendah dan menggoda tapi penuh ancaman. Setiap kata yang keluar dari mulut Daniel seperti menusuk jantung Susi dan membuatnya semakin meringkuk ketakutan. Napasnya tersengal dan dadanya terasa sesak.
Susi merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam tapi udara berat di paru-parunya seperti terperangkap dalam ruangan yang sempit. “Daniel… tolong jangan lakukan ini…,” suaranya gemetar hampir seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. “Aku mohon… antarkan aku pulang….!” lanjutnya dengan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya.
Tapi Daniel hanya tertawa. Suara tawanya dingin seperti es yang menusuk tulang dan tanpa menunjukkan belas kasihan. “Pulang…? Sekarang…?” ujarnya sambil melangkah semakin dekat. “Kita baru saja akan mulai Sus…,” lanjut Daniel. Setiap langkah Daniel membuat Susi semakin terpojok.
“Daniel… aku serius… tolong…,” pinta Susi dan mencoba merangkak mundur tapi punggungnya sudah menempel ke dinding. Tidak ada jalan keluar. Dia seperti hewan buruan yang terjebak dalam perangkap.
Daniel tidak perduli dengan permohonan Susi. Dia mulai melepaskan baju kemeja sekolahnya. Gerakannya lambat dan penuh kesengajaan seperti sedang memamerkan kekuasaannya. Susi menutup matanya dan berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di kelopak matanya. Tapi dia tidak bisa menutup telinganya dari suara langkah Daniel yang semakin mendekat.
“Jangan tutup matamu Sus…,” ujar Daniel dengan suara seperti racun yang merayap ke dalam pikiran Susi. “Lihat aku…,” lanjut Daniel dengan meraih tangan Susi dengan kasar dan mencoba menariknya semakin dekat.
Susi berontak sekuat tenaga dan mencoba melepaskan diri dari genggaman Daniel. “Jangan…!! Tolong lepaskan…!!” teriaknya namun suaranya pecah antara ketakutan dan kemarahan. Tapi Daniel terlalu kuat. Dia mendorong Susi ke dipan yang ada di sana dan Susi merasakan baju kemejanya robek di bagian bahu. Suara kain yang terkoyak seperti petir di telinganya. Bahunya yag putih mulus semakin membuat Daniel bernafsu.
“Daniel… tolong… jangan…” Susi terus meronta tapi Daniel sudah termakan nafsu. Matanya penuh hawa nafsu seperti tidak lagi memikirkan apa pun selain keinginannya sendiri. Dia tidak peduli dengan tangisan Susi dan tidak peduli dengan teriakan Susi yang memohon belas kasihan.
Rok Susi sudah hampir terlepas dan dia merasa seperti dunia ini runtuh sekelilingnya. “Tolong…!!! Siapa pun…!!! Tolong…!!!” teriaknya dengan suara menggema di ruangan kosong itu. Tapi siapa yang akan mendengarnya? Teman-teman Daniel ada di luar menjaga agar tidak ada yang mengganggu.
Daniel mencoba mencium Susi dengan beringas tapi Susi memalingkan wajahnya berusaha menghindar. “Jangan…!!!” teriaknya lagi dengan suara penuh keputusasaan. Tapi Daniel hanya tertawa dengan suara seperti deru angin yang dingin dan tak berperasaan.
“Kamu tidak bisa lari dari ini Sus…,” bisiknya sambil memegang dagu Susi agar melihat ke arahnya.
“Tidak….!!!” Susi menjerit dan tangannya mencoba mendorong Daniel tapi tenaganya terlalu lemah.
Tapi Daniel seperti tidak mendengarkan jeritan Susi. Daniel sudah terlalu jauh terjerumus dalam nafsunya sendiri. Sedangkan Susi merasakan keputusasaan yang semakin dalam, seperti tenggelam dalam lautan hitam yang tak berujung. Susi mencoba mencari kekuatan dan mencoba melawan tapi tubuhnya seperti tidak lagi menuruti perintahnya.
----
Sementara itu Kirana berboncengan dengan Ririn, sementara Dina mengikuti dari belakang dengan motornya sendiri. Mereka melaju menelusuri jalanan berliku yang mengarah ke pondok Kakek Sapto. Udara sejuk siang menjelang sore itu menyapu wajah mereka dengan membawa aroma segar dedaunan dan tanah basah setelah hujan semalam. Matahari sudah mulai agak condong ke barat dan memberikan bayangan pepohonan yang rimbun sepanjang jalan.
Kirana memegang setang motor dengan santai dengan sekali-kali melirik ke belakang melalui spionnya untuk memastikan Dina masih mengikuti. “Rin… kamu yakin Dina nggak akan tersesat..? Dia kayaknya lebih fokus ngemil daripada lihat jalan...,” ujar Kirana sambil tertawa kecil.
Ririn yang duduk di belakangnya ikut tersenyum. “Santai saja Kir… Dina mah udah kayak GPS hidup. Dia pasti bisa nyusul kita… apalagi kalau sudah ngomongi singkong rebus Kakek Sapto. Itu kayaknya jadi motivasi utama di mau ikut kita.”
Dari belakang Dina melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa. “Eh jangan ngomongi aku ya…! Aku denger lho...!” teriaknya dengan suara yang hampir hilang tertiup angin.
Kirana dan Ririn tertawa lepas. “Dasar Dina… makan terus pokoknya…!” sahut Ririn dengan candaannya.
Perjalanan mereka terasa ringan dan menyenangkan. Kirana merasa lega bisa melupakan sejenak kesibukannya baik di rumah mapun di sekolah. Mereka menikmati kebersamaan ini dan menikmati momen dimana mereka bisa tertawa serta bercanda tanpa beban.
-----
Sebelum mencapai pondok Kakek Sapto, tiba-tiba Kirana melihat sekelompok kakak kelasnya duduk-duduk di depan sebuah gubuk tua yang terletak di pinggir jalan. Mereka terlihat santai, tertawa-tawa dan sesekali melirik ke arah gubuk itu seperti sedang menjaga sesuatu. Kirana merasa ada yang tidak beres dan berhenti agak jauh dari gubuk itu. Karena teman-teman Daniel masih asyik ngobrol sambil merokok, mereka tidak melihat kedatangan Kirana dan teman-temannya.
“Rin… lihat itu…,” bisik Kirana sambil menghentikan laju motornya di tempat yang agak jauh. Matanya menyipit dan mencoba membaca situasi. “Mereka lagi ngapain ya di depan gubuk itu?”
Ririn yang duduk di belakangnya ikut memandang ke arah gubuk. “Hmmm… aneh juga ya… Biasanya mereka nggak pernah ke sini. Apa ada acara apa gitu?” ujarnya dengan suara penuh rasa penasaran.
Dina yang mengikuti dari belakang menghentikan motornya di samping motor Kirana. “Eh… jangan-jangan mereka lagi ngadain acara rahasia. Atau mungkin… ada sesuatu yang mereka sembunyikan…,” ujarnya dengan nada setengah bercanda tapi matanya penuh kecurigaan.
Kirana menghela napas. “Aku tidak suka ini. Ada sesuatu yang nggak beres. Kalian dengar nggak? Seperti ada suara teriakan dari dalam gubuk itu.”
Ririn dan Dina diam sejenak dan mencoba mendengarkan. Benar saja… dari kejauhan terdengar samar-samar suara teriakan. Suara itu seperti jeritan minta tolong tapi teredam oleh dinding kayu gubuk yang sudah tua.
“Apa kita harus peduli?” tanya Dina dengan wajah menunjukkan keraguan. “Aku sih nggak mau ribut dengan mereka. Bisa-bisa kita yang akan kena masalah.”
Ririn mengangguk pelan. “Iya Kir… Mending kita lanjut jalan saja. Ini sepertinya bukan urusan kita.”
Tapi Kirana tidak bisa mengabaikan perasaannya. Hatinya berdebar-debar dan nalurinya berkata bahwa ada sesuatu yang sangat salah. “Aku nggak bisa cuek Rin… Sepertinya ada orang yang membutuhkan bantuan dan kita harus lakukan sesuatu. Apa kalian nggak dengar suara teriakan itu? Itu sepertinya suara wanita minta tolong.”
Ririn dan Dina saling pandang dan ragu. Tapi mereka tahu Kirana tidak akan mundur begitu saja. “Oke… tapi kita harus hati-hati…,” ujar Ririn akhirnya. “Kita tidak tahu apa yang terjadi di sana.”
Dina menghela napas. “Aduh… ini bakal ribet sepertinya. Tapi okelah… aku ikut. Tapi kalau ada apa-apa… kita kabur saja ya…”
Kirana mengangguk. “Iya… kita harus hati-hati. Tapi kita nggak bisa tinggal diam.”
Mereka pun mendekati gerombolan kakak kelasnya dengan langkah hati-hati. Semakin dekat… suara teriakan wanita dari dalam gubuk semakin jelas. Kirana merasa dadanya sesak. Dia tidak bisa membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana.
-----
Apakah Kirana dan teman-temannya bisa menyelamatkan Susi? Ikuti pada bab berikutnya…