Bayangkan jika boneka porselen antik di sudut kamar Anda tiba-tiba hidup dan berubah menjadi manusia. Itulah yang dialami Akasia, seorang gadis SMA biasa yang kehidupannya mendadak penuh keanehan. Boneka pemberian ayahnya saat ulang tahun keenam ternyata menyimpan rahasia kelam: ia adalah Adrian, seorang pemuda Belanda yang dikutuk menjadi boneka sejak zaman penjajahan. Dengan mata biru tajam dan rambut pirang khasnya, Adrian tampak seperti sosok sempurna, hingga ia mulai mengacaukan keseharian Akasia.
Menyembunyikan Adrian yang bisa sewaktu-waktu berubah dari boneka menjadi manusia tampan bukan perkara mudah, terutama ketika masalah lain mulai bermunculan. Endry, siswa populer di sekolah, mulai mendekati Akasia setelah mereka bekerja paruh waktu bersama. Sementara itu, Selena, sahabat lama Endry, menjadikan Akasia sasaran keusilannya karena cemburu. Ditambah kedatangan sosok lain dari masa lalu Adrian yang misterius.
Namun, kehadiran Adrian ternyata membawa lebih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Khodijah Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
My Best Buddy
Jakarta, 2014
Aku memasuki kamar dan langsung menutup pintu rapat-rapat, setelah melewati ruang tengah yang penuh tensi di rumahku sendiri. Masih terdengar suara Ayah dan Ibu berselisih disana.
“Hah, lagi-lagi.” Aku bergumam sambil mendudukkan diriku di bangku meja belajar.
Aku tidak percaya glorifikasi cinta. Bagaimana orang yang bersatu karena mengaku saling mencintai bisa begitu menyakiti? Sejak dulu aku sudah skeptis cinta tulus itu benar-benar ada. Bahkan cinta pertamaku mengkhianati kepercayaanku. Ayahku, Hugo Darmahadi, orang yang dulu aku kagumi dan aku jadikan panutan dalam mencari calon pendampingku nanti. Namun terpaksa namanya kucoret dari daftar role model dihidupku, karena ternyata ia sudah begitu jahat padaku dan Ibuku. Ibuku, Marcella Anita Darmahadi, hanya Ibu rumah tangga biasa yang kukira kurang bisa mengontrol emosinya saja. Kesabarannya setipis tisu dibelah dua, mudah marah. Ternyata selama ini ia stres karena memendam kepedihannya sendiri.
Ayahku berkhianat hingga memiliki seorang anak dengan wanita lain, dan tanpa rasa malu Ayah meminta maaf pada Ibu. Ibuku, dengan jiwa besarnya, menerima saja kehadirannya kembali seperti tidak ada masalah besar. Tapi aku sih tidak, aku sudah terlanjur terluka. Aku merasa seperti seluruh hidupku dilandasi oleh kebohongan pria yang harus kusebut Ayah itu.
Dulu ia begitu lembut memperlakukanku, sering ia menemaniku bermain dan bercerita, dan ia lebih sabar menghadapiku dibanding Ibu. Banyak yang menilai Ayahku family man, ternyata itu hanya kedok semata. Dibelakang itu sosok yang terlihat tidak neko-neko, baik, pembawaannya tenang, penyayang, bertanggung jawab, bahkan gigih dalam bekerja, bisa tergoda dengan wanita murahan. Dengan logika apa aku bisa memakluminya?
Padahal Ibuku wanita yang handal dalam mengerjakan segala hal. Aku percaya kalaupun Ibu memilih berpisah dengan Ayah, ia akan bisa membangun hidupnya sendiri dengan lebih indah dan bahagia. Ibu bahkan bisa menjadi lebih tinggi dan lebih menginspirasi daripada sekarang, tapi kenapa Ibu tidak mau lepas dari tekanan batin? Apa yang ia takutkan? Mengenai finansial aku bisa membantunya mengumpulkan uang nantinya. Ibu juga pasti sukses berjualan apapun, ia punya relasi yang luas, cekatan, dan pandai bicara. Kami juga bisa menuntut Ayah uang nafkah dengan nominal besar jika mereka bercerai, mengingat Ayah kini telah menjadi arsitek yang tersohor dengan penghasilan yang besar. Tapi kenapa Ibu tidak menyudahi saja hubungan tanpa komitmen dan cinta ini? Aku jadi merasa rumahku panggung sandiwara, dan memuakkan untuk bertingkah seolah semua baik-baik saja setiap hari.
Aku kembali mencurahkan perasaan hatiku ke boneka favoritku, Adri. Boneka porselen ini meski antik tapi tetap terlihat tampan dan menggemaskan, dengan kulit putih, rambut pirang, dan mata biru, belum lagi badan imutnya yang mengenakan kemeja putih dipadu vest warna cokelat tua dan celana warna khaki yang senada. Boneka itu bahkan mengenakan sepatu pantofel hitam yang parlente khas setelan busana tempo dulu. Ia sahabat berceritaku selama ini mengingat aku anak tunggal, tanpanya aku merasa seperti berjuang sendiri. Aku terlalu malu untuk menceritakan kondisi keluargaku kepada sahabatku di sekolah, rasanya seperti membongkar aib keluarga. Aku memeluk boneka porselenku sambil berusaha keras menahan air mataku agar tidak menetes. Pertahananku lengah, akhirnya menetes juga air mataku ke wajah bonekaku. Kuusap pelan dengan tisu untuk membersihkan wajahnya dari air mataku.
“Aduh maaf Adri. Aku aneh ya? Curhat dan nangis ke boneka, kalau ada yang lihat pasti aku dikira gila. Tapi mau gimana, masalah hidupku serumit ini. Dan gilanya Ayah meminta izin Ibu membawa anak itu kesini untuk dibesarkan. Aku tahu anak itu nggak bersalah, itu hasil kesalahan lama Ayah. Perempuan simpanan Ayah pun sudah wafat. Masalahnya aku nggak yakin bisa bersikap baik ke anak itu. Setiap ketemu pasti aku teringat dosa Ayahku. Rasanya jijik membayangkan Ayah punya anak dengan perempuan lain.” Aku tidak siap membayangkan anak itu berkeliaran di rumah ini. Ada sedikit rasa iri yang menjalar, ‘Ayah bisa sangat peduli pada hidup anak gelapnya itu, tapi kenapa nggak peduli pada hidupku dan Ibuku?’ Batinku merasakan ketidak-adilan.
“Aku kira selama ini aku satu-satunya anak Ayahku, ternyata itu pun kebohongan ya.” Tangisanku semakin pecah, namun kujaga suaraku agar tidak sampai terdengar keluar kamar. Aku sudah terbiasa menangis dalam senyap seperti ini, oleh karena itu kamarku adalah tempat favoritku menghabiskan waktu. Aku bisa melepaskan topengku dan menjadi apa adanya disini, disaksikan Adri. Aku menangkupkan kepalaku di meja belajar, menyembunyikan air mata yang tumpah. Aku meluapkan tangisku selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menjadi lebih tenang dan berhenti menangis.
“Padahal semua akan selesai kalau Ibu pisah dari Ayah. Aku bisa kok bantu Ibu dengan bekerja.” Gerutuku sebelum mendadak teringat, “O iya, aku harus print dan fotokopi CV dan lamaran kerja.”
Aku mengusap wajahku untuk menghilangkan jejak-jejak tangisanku. “Aku harus buru-buru ke tukang fotokopi. Maaf Adri, sampai sini dulu sesi curhatnya. Sekarang aku pamit, mumpung belum mager.” Aku mengembalikan Adri ke tempat semula, terduduk di rak di atas meja belajarku.
Aku mencuci muka sebentar, memakai jaketku, dan membawa tas sekolahku kembali keluar kamar, tidak lupa menutup pintu kamar dengan rapat.
...oOo...
Sekeluarnya Akasia dari kamar tidurnya, sesuatu terjadi. Boneka porselen yang tadi diajaknya bicara dengan tiba-tiba jatuh ke meja belajarnya, lalu berubah menjadi pemuda tampan kaukasia dengan rambut pirangnya yang berkilau dan mata biru mudanya yang indah. Pakaiannya masih sama seperti bonekanya, kemeja putih dilapisi vest cokelat dan celana berwarna khaki yang terlihat senada. Pemuda itu menengok ke kanan dan kiri, memastikan situasinya aman. Setelah yakin ia seorang diri, ia pun mulai melihat-lihat rak buku di kamar itu, berisi novel-novel remaja yang umumnya bertemakan cinta.
“Nggak ada buku baru ya? Hari ini baca apa ya? Lagi nggak pengin cinta-cintaan sih,” gumamnya bosan. Belakangan ini ia memang seringkali berubah menjadi manusia, jadi sudah beberapa kali ia membaca buku-buku koleksi gadis pemilik kamar itu.
Cinta, ia juga tidak mengerti soal itu. Ia jadi teringat kisah hidup Akasia yang seringkali diceritakannya. Pemuda itu terhenti memilih buku dan jadi termenung. Ia sendiri juga gagal dalam percintaan, bagaimana bisa dia mengerti mengenai cinta tulus. Pemuda itu duduk di bangku belajar Akasia demi melanjutkan perenungannya.
‘Bahkan aku dikutuk jadi boneka begini akibat masalah cinta, jadi aku nggak punya cukup kredibilitas untuk berkomentar tentang cinta. Siapa aku?’ Batin pemuda itu mengingat nasibnya sendiri sambil tertawa menghibur diri.
Tapi ia juga merasa aneh, belakangan ini ia bisa kembali menjadi manusia beberapa kali dalam sehari, ‘Apa mungkin kutukannya mulai usang dan aku akan pulih kembali menjadi manusia di zaman ini? Atau ada syarat yang secara tidak sengaja terpenuhi untuk menghilangkan kutukan ini?’ Pikirnya curiga, ‘Coba pikirkan, kira-kira apa hal yang mungkin jadi penawar kutukan ini ya?’ Ia memaksa otaknya untuk mengingat. Biasanya ia berubah menjadi manusia setelah Akasia berbincang dengannya sebagai boneka. Mungkin kuncinya ada di Akasia, karena di tangan pemilik sebelumnya ia tidak pernah berubah menjadi manusia begini.
Akasia memang memperlakukan boneka Adri dengan istimewa. Sejak menerima boneka Adri sebagai hadiah di ulang-tahunnya yang ke-enam, Akasia memperlakukan boneka itu selayaknya teman akrab. Ia merawatnya dengan teliti, mengajaknya berbincang dan bermain hingga Adrian merasa kembali dimanusiakan. Semenjak bertemu Akasia semasa kecil, Adrian tidak lagi kesepian. Jiwanya yang bosan memperhatikan dunia dari sudut pandang boneka merasa bangkit, ia merasa dianggap ada kembali. Semenjak itu hatinya jadi menghangat setiap mengingat Akasia. Ia melihat sendiri perkembangan gadis itu sejak anak-anak hingga remaja seperti sekarang, dan tak pelak tumbuh rasa sayang yang besar terhadap gadis itu. Anak perempuan itu membangkitkan rasa ingin melindungi dan mengayomi yang ada di diri Adrian. Rasanya ingin senantiasa merengkuhnya untuk menghindarkannya dari kemalangan dan rasa sedih. Ia sangat peduli pada gadis itu. Ia merasa khawatir sekaligus tidak berdaya setiap kali Akasia menangis di hadapannya, ia bahkan tidak bisa mengusap air matanya meski ingin.
Kehidupan gadis itu memang seringkali dihiasi dengan tangisan. Malah seingatnya Akasia lebih banyak menangis daripada tertawa bahagia selama berada di kamarnya ini. Karena itu Adrian benar-benar ingin melindungi Akasia dari tangisan, ia ingin hidup gadis itu berubah menjadi lebih indah. Selama ini ia hanya bisa mendoakannya sebagai boneka, tapi jika ia mampu menjadi manusia, ia tahu siapa orang yang paling utama untuk ia bahagiakan.
Tiba-tiba terbersit dalam benaknya, ‘Apa mungkin karena selama ini Akasia tulus memperlakukanku seperti teman manusianya, jadi itu bisa menghidupkan lagi jiwa manusiaku dan berangsur-angsur semakin menghilangkan kutukanku? Bisa jadi, itu kemungkinan terbesarnya.’ Pemuda itu tertegun menyadarinya. ‘Berarti selanjutnya apa yang harus kulakukan kalau aku terus-terusan berubah menjadi manusia begini?’
Ia mulai memikirkan strategi selanjutnya demi keberlangsungan hidupnya. Karena ini rumah Akasia, cepat atau lambat ia akan memerlukan bantuan Akasia untuk menyembunyikannya, menjaga rahasianya, dan mungkin membuat identitas baru, karena semakin kesini durasi perubahannya menjadi manusia bertahan semakin lama dan semakin sering. Meski sebenarnya ia belum siap mengejutkan Akasia mengenai kenyataan kondisi tubuhnya ini, tapi cepat atau lambat Akasia pasti akan tahu.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan masuklah Akasia dengan santainya. Begitu melihat ada pemuda asing di bangku belajarnya ia tertegun. Adrian pun terpaku bingung, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa, ‘Iya sih cepat atau lambat akan ketahuan, tapi nggak secepat ini juga dong! Belum siap nih,’ batinnya protes.
“Kamu siapa? Kok nggak sopan banget masuk kamar orang tanpa izin?” Akasia memasang sikap waspada.
“Kamu ngerti bahasa Indonesia kan? Should i speak english (haruskah aku pakai bahasa inggris)? Go out of here (pergi dari sini)!” Akasia memperhatikan penampilan pemuda itu dari atas sampai bawah.
“Are you probably my dad's client (apa mungkin kamu klien ayahku)? This is my bedroom, not my father's office, you come to the wrong place (ini adalah kamar tidurku, bukan kantor ayahku, kamu masuk ke tempat yang salah).” Mata Akasia memicing, sejujurnya ia sedikit penasaran dengan siapa pemuda pirang di kamarnya, karena ia merasa familiar dengan penampilannya.
“Tenang dulu Akasia, aku Adri.” Pemuda itu akhirnya mengaku dengan ragu. Ia juga tidak tahu akankah gadis di depannya itu percaya dengan penuturannya.
“Nama kamu Adri? Kok nggak asing ya?” Gadis muda itu merespon bingung.
“Iya...Adri yang biasanya disitu.” Pemuda itu menunjuk rak tempat boneka Adri biasa diletakkan.
“Hah?” Akasia masih belum menangkap maksudnya.
Adrian menunjuk pakaiannya, itu membuat Akasia menyadari sesuatu. Ia tercengang melihat begitu banyak kesamaan pemuda itu dengan bonekanya. Tapi kemana bonekanya? Gadis itu mencari-cari. Adrian bingung menjelaskannya, hingga ia memilih mengubah tubuhnya lagi menjadi boneka.
Melihat perubahan itu langsung di depan matanya, Akasia terkejut dan kehilangan kesadaran.
Sebelum tubuh gadis itu tersungkur ke lantai, Adrian secepat kilat berubah menjadi manusia untuk menangkap tubuhnya dengan sigap.
“Yah dia pingsan! Untung sempat ditangkap.” Adrian sedikit lega, ia membopong tubuh gadis itu dan membaringkannya di tempat tidur dengan hati-hati.
“Apa dia bakal mengira semua ini mimpi ya?” Gumam pemuda kaukasia itu sambil memperhatikan wajah Akasia, “Nggak tahu deh, lihat nanti aja, sementara ini berubah jadi boneka aja dulu.” Ia kembali ke tempat boneka Adri biasa didudukkan dan menjadi boneka.
semangat /Good/