Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim yang bagaimana.
Tugas utama seorang anak adalah berbakti pada orang tuanya.
Sekalipun orang tua itu seakan tak pernah mau menerima kita sebagai anaknya.
Dan itulah yang Aruna alami.
Karena seingatnya, ibunya tak pernah memanjakannya. Melihatnya seperti seorang musuh bahkan sejak kecil.
Hidup lelah karena selalu pindah kontrakan dan berakhir di satu keadaan yang membuatnya semakin merasa bahwa memang tak seharusnya dia dilahirkan.
Tapi semesta selalu punya cara untuk mempertemukan keluarga meski sudah lama terpisah.
Haruskah Aruna selalu mengalah dan mengorbankan perasaannya?
Atau satu kali ini saja dalam hidupnya dia akan berjuang demi rasa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bund FF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kabur
"Gila cantiknya" kata pria bopeng saat Selly sudah membawa Aruna kembali ke ruang tamu.
Sungguh penampilan Aruna malam ini sangat luar biasa. Selly sendiri tak menyangka jika Aruna akan benar-benar menjadi berlian yang berkilau saat semua sampah dihilangkan darinya.
"Pasti tamu kita malam ini akan bahagia" kata pria bopeng itu lantas menelepon seseorang.
Aruna sangat risih dengan penampilannya. Sang ibu memaksanya untuk memakai baju soft pink yang hanya menggunakan tali spaghetti di pundaknya.
Membuat pundak putih mulus itu terpampang indah memanjakan mata para pria yang rakus akan kemolekan.
Baju kurang bahan itu juga membuat gundukan dada Aruna menyembul separuh. Sangat risih tapi Aruna tak berani membantah karena ancaman ibunya tidak main-main.
Tinggi yang menjulang karena tambahan high heels membuat Aruna bak model kelas dunia. Sungguh sangat mempesona.
Apalagi Selly menambahkan wig panjang yang membuat tampilan Aruna semakin feminim. Duh, rasanya seperti melihat artis saja.
"Tamunya sudah standby di kamarnya. Berangkatnya boleh diantar sama supir, tapi pulangnya Lo sendiri ya. Gue masih banyak urusan" kata pria bopeng itu menyuruh Selly segera pergi membawa Aruna.
"Ayo buruan" tangan Selly menarik paksa Aruna yang diam saja padahal supir sudah menunggu di luar.
"Bu, tolong bebasin aku. Aku janji akan kerja dengan giat biar bisa ngasih ibu uang yang banyak. Tapi jangan paksa aku untuk melakukan ini, Bu. Aku mohon" ucap Aruna seraya memelas. Memohon agar ibunya mau berpikir ulang.
"Terserah Lo, sih. Tapi gue rasa, Marni sama suaminya yang sakit-sakitan itu bisa gantiin semuanya" kata Selly, sungguh diluar dugaan Aruna.
"Maksudnya?" tanya Aruna.
"Ya nggak apa-apa kalau Lo mau lari, tapi nanti biar Marni sama si Burhan yang gue mampusin biar Lo tahu kalau gue nggak main-main" kata Selly santai, hanya menggeretak saja sebenarnya.
Darimana juga dia punya kekuatan untuk menghabisi nyawa orang lain? Hukum negara masih berlaku untuk rakyat jelata. Tentu Selly juga takut penjara.
"Jangan macam-macam sama pak Dhe dan budhe, Bu. Kasihan mereka" kata Aruna tak berani menangis, Selly sudah mengancamnya tadi setelah selesai mendandaninya agar jangan menangis.
"Semuanya ada di tangan Lo, anak bangsat. Tinggal nurut dan semua aman, atau nyawa mereka yang jadi taruhannya" ancam Selly lagi.
Kini Aruna terdiam. Sungguh ibunya ini sudah sangat kelewatan. Dan jika sampai malam ini berhasil Aruna lewati dengan selamat, gadis itu sudah memastikan untuk tak mau lagi menurut pada ibunya yang berhati iblis ini.
Aruna sudah memutuskan untuk tak mau mengurusi apapun yang bersangkutan dengan ibunya. Anak perempuan yang malang itu sudah tak sanggup untuk berusaha berbakti lagi pada ibunya.
Perjalanan membawa Aruna ke sebuah hotel berbintang. Gedung tinggi menjulang itu akan merubah nasib anak gadis dan ibunya setelah malam ini berhasil mereka lalui.
Sudah sangat piawai dalam urusan hotel, Selly segera mendatangi resepsionis.
"Mbak, tolong beritahu orang di kamar 212 kalau ada tamu" ujar Selly.
Resepsionis itu segera melakukan tugasnya. Menelepon kamar yang dimaksud dan tak lama terlihat seorang pria berseragam hotel disuruh mengantarkan mereka berdua.
"Terimakasih, mbak" ucap Selly sambil menggandeng tangan Aruna yang kini sedikit lega saat ibunya meminjami jaket rajut untuk menutup tubuh bagian atas anaknya saat tadi akan menuruni mobil.
Dalam diam Aruna ikut saja saat ibunya membawa langkahnya menuju lift. Dan naik hingga lantai ke sepuluh.
"Silahkan lewat sini, Bu" ujar pegawai hotel memberi petunjuk jalan.
Lantas berhenti di depan sebuah kamar yang bertuliskan 212.
"Terimakasih, mas" ujar Selly sambil memberikan uang tip pada pegawai itu.
"Lo masuk, layani apapun yang orang di dalam sana inginkan. Jangan sampai Lo bikin keributan. Ingat, nyawa Mirna ada di tangan Lo. Gue tunggu di bawah" kata Mirna dengan banyak sekali ancaman pada Aruna.
Masih terdiam. Aruna sedang memikirkan cara cepat agar bisa keluar dari kamar itu seandainya nanti ada kesempatan.
Sementara Selly memilih untuk duduk di lobi saja sambil merokok.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Padahal Aruna belum mengetuknya.
"Sudah datang rupanya. Kenapa nggak mengetuk pintu?" tanya sebuah suara dari dalam kamar itu.
Sepertinya familiar, tapi suasana remang membuat penglihatan Aruna sedikit terhalang.
"Ayo cepat masuk" ajak si pria yang seperti sudah sangat tak tahan.
Aruna memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar itu semakin dalam. Rasa penasaran pada si pemilik suara membuatnya tak bisa segera lari. Lagipula dia masih mengenakan jaket. Jadi, tak merasa terlalu malu.
Pluk!
Tangan nakal pria itu tak tahan untuk segera berinteraksi. Pantat Aruna sudah dia pukul meski tak sakit.
"Sialan" gumam Aruna lantas menoleh.
Berusaha melihat seperti apa wajah pria hidung belang yang sudah ibunya siapkan untuknya.
"Om Kim?" sungguh Aruna sangat tak percaya dengan pemandangan di depannya ini.
Padahal yang Aruna lihat selama ini, Kim dan Berta adalah pasangan yang sangat serasi. Apalagi ada Mina di tengah kehidupan sempurna mereka. Aruna sangat tidak menyangka jika Kim tega mengkhianati keluarga kecilnya.
"Siapa kamu?" tanya Kim yang memang sedang tak berkacamata.
"Aku Aruna, anak buahnya ko Acing" kata Aruna sambil melepaskan wig panjangnya dan melepaskan jepit yang dipakaikan ibunya agar poninya tak keluar dari wig saat dipasang.
Lantas membuang wig itu sembarangan karena sangat kecewa pada tampilan Kim yang biasanya terlihat sopan dan berwibawa, sekarang malah menjadi calon penikmat raganya.
"Aruna?" tanya Kim sedikit gemetar, tak menyangka juga jika Aruna yang akan menjadi teman kencannya.
"Tolong katakan ini hanyalah permainan saja, om. Semua ini bukanlah kebiasaan om, iya kan?" kata Aruna, sungguh ekspektasinya terhadap seorang Kim sangatlah berlebihan.
"Ah, sudahlah. Itu semua tidak penting. Malam ini aku sedang sangat ingin bercinta dengan seorang gadis" kata Kim yang sudah bernafsu.
"Jangan macam-macam, om. Atau Mina akan aku bully sampai mati kalau sampai om berbuat nekat" ancam Aruna.
"Hahaha, kamu belum tahu siapa aku, anak kecil?" tawa Kim meledak mendengar ancaman Aruna.
"Bahkan hukum bisa tunduk padaku. Jadi, apa yang harus aku takutkan?" tanya Kim seolah lebih bersemangat karena masih harus menaklukkan mangsanya sebelum dinikmati.
"Kukira cuma bapakku saja yang busuk, ternyata om Kim lebih buruk. Kamu kira aku takut padamu? Hah? Awas ya kamu, pak tua" kata Aruna setengah berlari lebih memasuki kamar yang malah membawanya ke area ranjang.
Kim tertawa, "Rupanya kamu sendiri sudah tak tahan ya? Baiklah, ayo segera kita lakukan saja" kata Kim tanpa malu.
Aruna menelisik ruangan itu. Berharap ada sesuatu yang bisa dia gunakan untuk bertahan.
Tapi hanya ada sebuah bolpoin di atas meja. Mungkin tadi Kim menggunakannya untuk menulis sesuatu.
Aruna berlari mengambil bolpoin itu dan mencari sasaran yang tepat agar bisa menumbangkan Kim tanpa membuatnya mati. Dan area leher sepertinya tempat terbaik.
Kim tak bisa diam, gerakannya seolah ingin menangkap anak ayam. Merentangkan tangan dan bergerak ke kiri dan ke kanan. Apalagi sedikit alkohol membuat Kim seolah serasa melayang meski belum mabuk.
"Ayolah, Aruna. Tidak apa-apa. Om janji tidak akan melaporkanmu pada Acing. Lagipula Acing sedang berduka, masih lama dia akan kembali ke kota ini. Pasti kamu sudah sembuh saat masuk kerja nanti" kata Kim berusaha membujuk Aruna.
Keduanya berdiri dengan jarak sekitar dua meter. Dan Aruna berada di dalam kamar, sedangkan pintu keluar ada dibelakang Kim.
Sedikit membidik, Aruna lebih mengarahkan ke lengan Kim saja daripada leher. Takut kalau bisa fatal jika sampai bolpoin itu menancap di leher Kim.
"Satu, dua, tiga" gumam Aruna dengan bidikannya.
Sementara Kim hanya tertawa, melihat kelakuan Aruna sebatas permainan saja.
Tapi ternyata tidak!
Aruna benar-benar melemparkan bolpoin itu ke lengan Kim yang hanya memakai kemeja yang digulung sebatas siku.
Ckit!
Rasanya seperti saat jarum suntik memasuki lengan yang akan dialiri obat. Lengan kanan bagian dalam sudah tertancap bolpoin.
Awalnya tak sakit, tapi ternyata cukup nyut-nyutan saat Kim menarik bolpoin itu ternyata membuat lengannya berdarah.
"Dasar anak sialan" kecam Kim yang melihat Aruna sedang melepaskan sepatu hak tingginya.
Lantas melemparkan sepasang sepatu itu dan kembali tepat mengenai kening dan matanya.
"Ah, sakit" teriak Kim saat matanya terkena lemparan sepatu.
"Makanya jadi orang tua itu sadar diri. Kalau anak yang berulah dikatakan anak durhaka, giliran diri sendiri yang berulah, memangnya mau dicap sebagai bapak durhaka?" ejek Aruna sebelum berlari.
Membiarkan Kim merasakan sakitnya sementara Aruna berusaha keluar dari dalam kamar itu.
Sudah berhasil keluar, Aruna meneruskan langkahnya menuju lift yang terbuka. Dan dia masih bisa melihat Kim yang sudah berhasil keluar dan kini sedang mengejarnya.
"Dah om" ejek Aruna saat Kim tak berhasil masuk ke dalam lift yang sama.
Kelimpungan, tentu Kim panik dan harus mengejar Aruna atau masa depannya akan kembali hancur.
Beruntung lift kembali terbuka dan Kim bisa menyusul Aruna yang dia yakin sedang menuju ke lobi.
Pintu lift sudah terbuka, Aruna keluar dari lift itu dan mendapati ibunya langsung berdiri begitu melihat Aruna datang.
"Cepat sekali? Lo kabur, ya?" bentak Selly.
Aruna sudah tak takut lagi kali ini. Langkah mantapnya mendatangi sang ibu dan menamparnya dengan sangat keras sebagai luapan emosi yang tertahan sejak dia masih kecil.
"Ibu durhaka! Orang tua gila! Lo pikir sekarang gue takut sama Lo, hah?" Aruna juga membentak ibunya yang sedang memegangi pipinya yang perih.
Selly sedikit takut, baru kali ini melihat anaknya kalap. Dan ternyata cukup menyeramkan.
Pegawai hotel tidak bisa membantu, semua itu urusan pribadi dan akan ditenangkan jika sudah diluar kendali.
Ting.
Suara lift membuat Selly dan Aruna menoleh dan menampakkan Kim keluar dengan wajah suram.
"Aruna, jangan lari kamu ya" teriak Kim sembari memegangi lengannya yang berdarah dan sudah kembali berkacamata.
Mata Selly membola. Melotot tajam sampai terlihat akan keluar dari lubangnya.
Selly sangat terkejut, tapi sebelum Aruna mendengar lagi sumpah serapah dari ibunya dan juga Kim, lebih baik jika Aruna segera lari saja.
Dan apa itu, Aruna melihat Selly sedang menahan Kim yang akan mengejarnya. Tangan Selly terlihat sangat erat memegangi lengan Kim yang akan berlari.
Sementara Kim juga terlihat syok saat mendapati wajah Selly di depan matanya.
Kedua orang dewasa itu seperti sedang main film India saja. Saling pandang di tempat umum dan saling mematung dan berpandangan satu sama lainnya.
Tentu kesempatan bagus untuk Aruna agar bisa terus berlari meski belum tahu kemana kakinya akan membawa pergi.