Alisha Alfatunnisa, putri dari pemilik pondok pesantren yang populer di kotanya. Belum menikah meski menginjak umur 29 tahun. Hati yang belum bisa move on karena Azam sang pujaan hati, salah melamar kembaran nya yaitu Aisha.
Peperangan batin dilalui Alisha. Satu tahun dia mengasingkan diri di tempat kakeknya. Satu tahun belum juga bisa menyembuhkan luka hati Alisha. Hingga datang sosok Adam, senior di kampusnya sekaligus menjadi rekan duet dalam menulis.
Apakah kehadiran Adam bisa menyembuhkan luka hati Alisha? Atau masih ada luka yang akan diterima Alisha? Cerita yang menguras air mata untuk kebahagiaan sang kembaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erni Handayani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Mana mungkin Kak Adam melamarku, dia sudah memiliki istri juga anak. Dan menjadi yang kedua tidak ada dalam kamusku.
"Insya Allah aku mau, Kak! Nanti kita bahas lebih lanjut lagi tentang ini. Tetapi aku minta izin pada Ayah karena restu Ayah sangat penting! ucapku.
Ayah berdehem sebelum berbicara, lelaki yang sangat aku sayang itu tersenyum tipis.
"Ayah restui, Nak! Berdakwalah lewat aksara. Ayah akan dukung!" jawab Ayah.
Aku mengucap syukur mendapat respon positif dari Ayah. Saatnya aku melukis aksara, meluapkan segala sakit dalam cerita. Biarlah mereka tahu isi cerita tokohku, tanpa mereka sadari kisah yang tersaji adalah duka laraku. Begitulah sejatinya cara terbaik untuk curhat melalui tulisan.
"Jadi Sania itu adik, Kak Adam?" tanyaku.
Kak Adam mengangguk pasti. Pantas saja saat pelajaran tadi Sania sangat antusias. Ternyata bakat kakaknya menurun padanya.
"Dia suka menulis, Kak?" tanyaku lagi. Mata Kak Adam tak lepas dari Sania yang sedang bercengkrama dengan Sila.
"Aku nggak tahu, Alisha! Dia tertutup padaku. Atau aku yang tidak perhatian sama dia. Lima tahun kami tidak bertemu, dia sudah sebesar itu!" ucap Kak Adam. Dari sorot matanya aku melihat ada sebuah penyesalan, mungkin sama dengan penyesalan aku yang tidak pulang da Darul Arkom selama satu tahun.
"Aku baru tahu dia adik kakak, seumuran dengan Sarah!" ujarku. Sania dia juga gadia manis, sama seperti Sarah.
"Sarah? Adik Azam?"tanya Kak Adam.
"Iya adiknya Azam, dia juga masih mondok di sini, Kak!" jawabku! Kak Adam memandang lekat aku, matanya menatap dengan intens.
"Azam tinggal di rumah ini, Alisha?" tanya Kak Adam.
Aku mengangguk, terlalu kelu lidah ini untuk mengucap iya Azam tinggal disini.
"Apa karena itu kamu baru pulang tiga hari ini setelah satu tahun tidak pulang?"tanya Kak Adam dengan tatapan yang sulit aku artikan.
"Tidak, Kak! Aku yang ingin tinggal di Al-Irsyad tempat kakek,"jawabku hati-hati. Meski Kak Adam tahu yang sebenarnya, jika aku patah hati karena salah lamar yang berujung luka hingga detik ini. Tak akan aku mengatakan yang sebenarnya, biarlah semua tahunya aku merawat kakek.
"Tidak ada niatan untuk nikah kamu, Alisha? Setidaknya ada yang membuat kamu lupa dengan Azam!" tanya Kak Adam.
Aku merasakan ribuan beban menimpa dadaku, saat orang-orang bertanya tidak adakah niatan menikah? Kapan menikah nanti jadi perawan tua? Aku aku terlihat menderita saat ini jika belum menikah? Mengapa harus aku? Sebisa mungkin aku abai dengan pertanyaan itu. Namun, jika terus ditanya bisa membuat kepalaku seperti oven, panas karena pertanyaan mereka.
"Niat ada, Kak! Belum nemu yang pas!" jawabku setelah lama terdiam.
"Belum ada atau kamu yang belum bis move on?" cecer Kak Adam.
Perkataan Kak Adam membuat aku terdiam. Apa iya aku masih belum bisa move on sampai sekarang? Atau move on hanya bisa di lihat dari kita ketika sudah menemukan pengganti. Kepala ini mendadak pening karena terlalu diajak berpikir.
"Jangan bahas itu di sini, kak! Nanti ada yang dengar. Aku nggak ingin semua tambah rumit! Biarlah Allah yang mengatur jodohku," ucapku.
Kak Adam mendesah keras. Tatapan matanya menerawang jauh ke depan, suasana mendadak canggung. Aku tidak ingin ada yang ikut campur privasiku. Apalagi membahasnya di pesantren. Akan riskan jika ada yang mendengar.
"Sampai kapan, Alisha?"tanya Kak Adam lagi. Suaranya terdengar lirih nyaris tidak jelas diucapkannya. Seperti terluka dalam hatinya, nada penuh kekecewaan.
"Hingga waktuku terhenti, Kak!"jawabku lirih.
Kak Adam menoleh ke arahku. Matanya memandang tak percaya, aku menundukan pandangan. Cairan panas mulai berdesakan dipelupuk mata, tak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun. Sebisa mungkin aku menghalau air mataku, sekali saja berkedip akan tumpah membanjiri pipiku.
"Bisakah beri aku kesempatan untuk menyembuhkan lukamu, membuat kamu ceria seperti dulu? Aku rindu sosok Alisha Alfatunnisa lima tahun lalu. Sekali saja Alisha, jika tak bisa aku akan berhenti!" ucap Kak Adam dengan suara serak.
Aku mendongakan kepala, menatap manik matanya. Apa maksud dia bilang seperti itu?
"Aku pulang dulu, Alisha! Mama sudah rindu dengan Sila. Untuk rencana kita bisa dibicarakan lagi besok!" ucap Kak Adam.
Belum sempat aku bertanya maksud ucapan dia. Kak Adam memutuskan untuk pulang.
"Alisha salim dulu sama tante Alisha! Kita pulang sekarang!" ujar Kak Adam pada putri kecilnya.
"Alisha mau disini sama tante Alisha saja, pa!" ucap Sila yang malah berlari memeluk kakiku erat. Membuat aku tak bisa bergerak. Alisha baru sekali bertemu denganku sudah akrab dan tidak mau pulang.
"Besok kita ketemu lagi dengan tante Alisha, sayang! Kita kan mau berkunjung juga ke tempat Mama!" ucap Kak Adam membujuk putri kecilnya.
"Besok tante janji main lagi sama Sila! Mama udah nungguin Sila,"ucapku. Aku duduk mensejajarkan tinggi dengan Sila. Mata sipit Sila berbinar. Gemas diri ini membuat aku mencubit tipis pipi gembilnya.
Cup, Sila menciumku, membuat darahku berdesir. Wajah polos Sila benar-benar menawanku. Beruntung Kak Adam memiliki anak seperti Sila.
"Ayo tante gendong ke mobil, ya!" tawarku pada Sila. Bocah itupun mengangguk senang.
Aku mengekori Kak Adam menuju mobilnya . Sedangkan Sania sudah kembali lagi ke asrama sejak tadi.
"Sampai besok, Sila!" ucapku saat bocah itu sudah duduk dikursi depan berdampingan dengan Kak Adam.
Mobil Kak Adam melaju meninggalkan pondok. Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah mobil Kak Adam tak terlihat aku masuk ke rumah lagi.
Mataku menangkap sosok Azam yang berdiri di depan pintu masuk. Apa dia mengawasi aku sejak tadi, dan astagfirullah apa dia juga menguping pembicaraanku dengan Kak Adam di teras rumah.
Aku mencoba abai pada pikiran itu dan bergegas masuk ke dalam rumah. Entah kenapa kepalaku tiba-tiba berat dan rasanya ingin segera rebahan. Migrainku kambuh, mungkin karena terlalu berpikir berat yang menjadi pemicunya.
"Jalan ini masih panjang, Neng! Ucapan Kak Adam benar. Lekas carikan penggantiku untuk berkeluh kesah!" ucap Azam ketika aku melewati dia di depan pintu masuk. Apa ini apa dia juga yang menyuruh aku untuk segera menikah?
Waktu bergulir begitu cepat, malam kini merajai bumi. Cahaya rembulan mengintipku dari celah jendela. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00, akan tetapi mataku masih belum mengantuk.
Satu tahun ini aku mengalami insomnia, sering menangis di kala malam menyapa. Andai masalah ini seperti kopi yang bisa berubah manis jika dicampur gula. Maka aku tidak akan terlalu lama merasakan pahitnya rasa kecewa juga nestapa.