Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Canggung
Malik merenung mendengar kata-kata Haris yang terus terngiang di kepalanya. ‘Pengalaman memalukan, dibuli, atau dikritik…’ pikirnya, mencoba menebak apa yang mungkin pernah Naima alami.
Jika memang benar, maka itu menjelaskan kenapa Naima begitu tertutup dan enggan membuka diri kepada orang lain. Mungkin dia takut ditolak atau dikecewakan lagi. Tapi hal itu membuat Malik merasa semakin ingin tahu tentang Naima—tentang apa yang membuatnya seperti ini, dan bagaimana dia bisa membantunya untuk sembuh dari luka-luka itu.
‘Tapi bagaimana cara membantunya kalau dia sendiri tidak mau berbicara?’ Malik bertanya-tanya dalam hati. Keinginan untuk memberi Naima ruang dan waktu adalah satu hal, namun ada ketakutan bahwa mungkin selama ini dia tidak cukup perhatian, atau mungkin Naima merasa tidak cukup nyaman untuk berbagi.
Malik menatap Naima yang sedang makan di depannya. Gerakan tangannya tampak pelan, hati-hati, seperti dia sedang berusaha memastikan setiap potongan makanan yang dimasukkan ke mulutnya dilakukan dengan sempurna. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Naima makan itu—sesuatu yang mengingatkan Malik pada sikap canggung yang sering ia lihat pada gadis itu. ‘Apa itu juga tanda bahwa Naima sedang tidak nyaman?’ pikirnya dalam hati, merasa sedikit khawatir.
Naima selalu tampak tenang, tapi ada kalanya ekspresinya berbicara lebih keras dari kata-kata. Di balik sikap pendiam dan ketidaknyamanan yang sering ia tunjukkan, Malik merasa ada sebuah perasaan yang tersembunyi—rasa takut atau cemas yang sulit diungkapkan. Ia tahu, meskipun Naima mencoba untuk menjaga jarak, ada lebih banyak hal yang dia sembunyikan, dan hal itu membuat hati Malik cemas. Dia tidak ingin memaksanya, tapi di sisi lain, rasa khawatir yang membuncah tidak bisa dia hindari.
Malik menyadari bahwa, tidak ada cara pasti untuk menghapus trauma. Itu bukan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan cepat, bukan sesuatu yang bisa hilang begitu saja hanya dengan waktu atau kata-kata. Hanya ada usaha untuk memperbaikinya—usaha yang harus dilakukan dengan sabar, penuh pengertian, dan tanpa terburu-buru. Untuk Naima, itu mungkin akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari yang ia kira. Tapi meskipun begitu, Malik merasa yakin dengan satu hal: dia siap berusaha untuk itu. Untuk memahami, untuk memberi ruang, dan untuk menunjukkan bahwa ia ada untuk Naima, tanpa menuntut apapun.
“Kak Malik, biasa aja dong liatin kak Naima,” sindir Zahra dengan senyum nakal, matanya menyipit melihat Malik yang terus menatap Naima dengan perhatian lebih dari biasanya.
“Ingget kak, zina mata,” tambah Zahra, menggoda dengan nada canda.
Haris yang duduk di sebelahnya tidak bisa menahan tawa, dan akhirnya tertawa terbahak-bahak, membuat nasi yang sedang ia kunyah hampir tersedak. Kehebohan kecil itu menarik perhatian dari Naima, yang dengan tiba-tiba menjatuhkan sendoknya ke lantai. Suara benturan sendok yang keras menggema di ruang makan yang sepi sejenak, mencuri perhatian dari suasana yang sebelumnya canda tawa.
Malik buru-buru menoleh ke Naima yang terlihat lebih canggung dari sebelumnya. Gadis itu memandang sendok yang jatuh dengan wajah yang mulai memerah, jelas terlihat bahwa dia tidak tahu bagaimana merespon situasi itu. Sementara itu, Haris dan Zahra masih tertawa, sedikit tanpa menyadari ketegangan yang baru saja tercipta.
Naima mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meskipun jelas ada rasa malu yang menghampiri. Malik, merasa canggung karena terlalu lama menatapnya, segera mengalihkan pandangannya dan meraih sendok yang terjatuh, sambil berkata, “Kamu ga papa?” ucapnya mencoba setenang mungkin.
Naima gelagapan, jelas terlihat betapa tidak nyaman dirinya dengan situasi yang tercipta. Dia meremas tangan di bawah meja, mencoba menenangkan diri agar tidak semakin canggung. Hanum, yang sejak tadi memperhatikan, segera mengambil alih situasi dengan penuh wibawa.
“Kalo makan, jangan sambil ngobrol,” ucap Hanum dengan suara yang tenang namun penuh pengertian, mencoba meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
“Em... maaf, Ma,” ucap Haris dengan sedikit rasa bersalah, meskipun senyumnya masih tampak di bibirnya, mencerminkan betapa dia masih merasa geli dengan suasana tadi.
“Maaf, Tante,” ucap Zahra dengan penuh penyesalan, menyadari bahwa dia telah berbuat tidak sopan di rumah orang. Wajahnya yang tadinya tertawa kini memerah, merasa malu atas kekeliruannya.
Hanum kemudian mengalihkan pandangannya pada Naima yang tampak gelisah, memberikan senyum lembut. “Biar Tante ambilkan sendok yang baru, ya Naima. Tunggu sebentar.”
Naima hanya mengangguk pelan, matanya masih tertunduk, berusaha mengatasi rasa malu yang menggelayuti dirinya. Suasana di meja makan kini terasa lebih hening. Hanya bunyi detak jam yang terdengar jelas, dan nafas Naima yang terengah-engah, seolah terperangkap dalam rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. Semua orang di meja makan seperti memahami, ada sesuatu yang harus dijaga.
Malik melirik Haris dengan pandangan tajam, rasa kesal yang sudah mengumpul sejak tadi makin memuncak. Dia ingat betul apa yang kakaknya katakan sebelumnya—untuk tidak membuat Naima merasa tidak nyaman. Tapi kenyataannya, justru Haris yang kini membuat Naima terlepas kendali, menambah ketegangan yang sudah ada.
Pandangan mereka bertemu, dan Haris yang menyadari raut masam di wajah Malik hanya bisa menyeringai, seolah menikmati situasi yang agak memalukan ini.
“Maaf Naima, Malik lucu sih,” kata Haris sambil tertawa ringan, mencoba meredakan ketegangan di antara mereka. Namun, bagi Malik, candaan itu justru semakin membuatnya tidak nyaman.
Hanum kembali membawakan sendok baru untuk Naima dengan senyum lembut, dan perlahan bergabung kembali di tengah perjamuan makan siang. Suasana di meja makan sedikit lebih tenang, meskipun ketegangan yang baru saja terjadi masih terasa mengendap di udara. Hanum melirik Zahra sejenak, memperhatikan anak SMP itu yang makan dengan lahap, tampak menikmati setiap suapan makanan. Sementara itu, Ali terlihat tertidur pulas di kamarnya, mungkin setelah bermain sepanjang pagi.
"Bagaimana, masakannya enak?" tanya Hanum, mencoba kembali mencairkan suasana.
"Enak, Tante," jawab Zahra dengan mata berbinar, menambah keyakinan Hanum bahwa hidangan kali ini benar-benar diterima dengan baik.
Zahra memasukkan suapan berikutnya ke mulutnya dengan lahap, tak memperdulikan apapun selain rasa makanan yang menyenangkan. Haris mengangguk pelan, menikmati makanan yang ada di hadapannya. Dia tidak memberikan komentar lebih, tetapi jelas dari ekspresinya bahwa dia pun puas. Bagi Haris, penuturan Zahra sudah cukup mewakili dirinya.
"Malik?" Hanum bertanya lagi, ingin memastikan reaksi anak keduanya.
"Iya, Ma. Masakan Mama selalu enak," jawab Malik dengan tulus, meskipun dalam hatinya masih ada sedikit kegelisahan yang belum hilang. Namun, dia mencoba menyembunyikan itu di balik kalimat pujian untuk ibunya.
Hanum tersenyum puas, merasa lega bisa mencairkan suasana. "Eh, itu masakan Naima loh, bukan Mama," ucapnya sambil melirik ke arah Naima dengan senyum lembut.
Naima yang semula tampak terperangkap dalam kecanggungan, tiba-tiba tersadar. "Tapi mama senang kalo kamu suka, Naima juga, iyakan, Naima?" Hanum menambahkan, suaranya penuh kelembutan, mencoba memberikan kenyamanan bagi Naima.
Naima gelagapan sejenak, bibirnya tampak ragu, namun akhirnya dia tertawa kikik kecil, mencoba meredakan ketegangannya. "Ah, eh iya..." jawabnya, dengan nada canggung namun sedikit lebih tenang. Senyumnya tipis, seperti ada rasa malu yang masih menggelayuti dirinya, namun lebih santai dibandingkan sebelumnya.
Suasana menjadi sedikit lebih hangat setelah itu, meskipun kecanggungan masih ada, terutama di antara Malik dan Naima. Namun, semua orang tampaknya berusaha menjaga momen makan siang ini tetap menyenangkan, meskipun dengan kekakuan yang sedikit terasa.
Haris mengaduh pelan sambil menepuk jidatnya, seolah tak tahan melihat interaksi canggung di antara Malik dan Naima. Raut wajahnya mencerminkan rasa gemas yang mendalam. Bagaimana tidak? Melihat adiknya yang biasanya selalu sinis dan kurang ajar padanya, kini tampak seperti anak kecil yang kebingungan, jelas merupakan hiburan tersendiri bagi Haris.
Namun, meski naluri jahilnya mendorong untuk menggoda, Haris tahu betul ada batasan yang harus dijaga. Dia paham bahwa Naima sedang menghadapi sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecanggungan biasa. Gangguan kecemasan sosial yang Naima alami bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Jika dia terlalu jauh dalam bercanda, itu bisa menjadi bumerang—bukan hanya bagi Malik, tetapi terutama bagi Naima.
Akhirnya, Haris menahan diri, memilih hanya menyeringai kecil tanpa melepaskan komentar yang biasanya ia lontarkan. Dia meneguk air putih di gelasnya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari godaan untuk membuka mulut. ‘Ah, susah juga ya jadi kakak bijak,’ pikir Haris dalam hati, sambil melirik Malik yang tampak gelisah.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak