NovelToon NovelToon
Tetangga Gilaku

Tetangga Gilaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Teman lama bertemu kembali / Enemy to Lovers
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Karangkuna

"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."

"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"

Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25

Raga menggendong Biu dengan erat dan perlahan berbalik menghadap sosok yang bersuara itu.

Raga maju ke depan bermaksud melindungi Bri yang ketakutan. Mata mereka menatap terpaku pada sosok Pak Opet yang berdiri sambil membawa cangkul di tangannya. Sebulir keringat jatuh turun membasahi pelipis Bri.

Raga berusaha tenang. "Maaf Pak kami langcang masuk ke sini tanpa permisi. Saya hanya mau mengambil kucing saya ini."

"Oh kucing itu. Dia suka sekali main di sini," ucap Pak Opet yang berjalan agak ke tengah halaman mencangkul tanah dan mengubur kotoran hasil kreasi dari Biu yang cukup banyak bertumpuk di atas tanah.

"Maafkan kucing saya Pak," ucap Raga menyesal sambil melirik ke arah Bri yang masih ketakutan.

"Saya baru pertama kali berjumpa dengan kalian. Saya Opet, salam kenal."

Raga dengan cepat tapi canggung menjabat tangan Pak Opet. "Saya Raga penghuni rumah nomor 9 dan ini Bri tinggal di rumah nomor 10. Salam kenal Pak." Bri mengangguk sembari menjabat tangan Pak Opet yang dirasanya cukup lembut untuk ukuran pria tua.

Perlahan rintik-rintik hujan mulai turun membasahi tanah. Pak Opet buru-buru menaruh cangkulnya di pohon mangga.

"Mari masuk. Kebetulan tadi saya baru buat kue ala kadarnya. Ayo dicicipi," ucap Pak Opet yang sudah melangkah lebih dulu masuk lewat pintu depan.

Bri mendengat hal itu jadi sangat khawatir, dengan berbisik dia menarik lengan Raga. "Apa sebaiknya kita pulang saja. Aku punya firasat buruk."

Raga juga cukup ragu. "Lalu bagaimana cara menolaknya? Dengan bilang kalau kita takut dibunuh atau semacamnya di dalam sana?"

Bri memandangnya dengan sengit. "Apa kau tidak bisa berpikir lebih kreatif?"

"Ayo. Tidak baik menolak undangan tetangga. Tenang saja," ucap Raga yang tampak yakin padahal di dalam hati juga cemas.

”Bagaimana kalau kau sendiri saja yang masuk ke dalam. Aku pulang duluan,” ucap Bri sambil memikirkan ide yang lain.

Raga meliriknya sinis. “Dia sudah melihat kita berdua. Bukankah aneh jika hanya aku sendiri yang masuk ke dalam? Lagipula apa alasanmu? Rumahmu kebakaran? Tiba-tiba sakit perut? Atau ada gorilla raksasa yang sedang mengamuk dirumahmu?” Mereka berdua berdebat sambil melangkah menuju pintu depan.

Bri balas menatapnya dengan tajam. “Aku penasaran. Kenapa kau terobsesi sekali dengan gorilla?”

Raga mendahuluinya masuk lewat pintu. “Karena kau mirip dengannya.”

“Sial—” Bri buru-buru menghentikan omongannya ketika sadar sudah berada di dalam rumah. Dia memutuskan untuk bersikap sopan.

Di dalam rumah itu, ia menemukan suasana yang, biasa saja. Tidak ada darah, koper misterius, atau peralatan aneh. Tapi saat ia memeriksa dapur, ia menemukan sebuah meja yang penuh dengan buku-buku resep dan panci berantakan. Di salah satu sudut dapur, ada oven kecil yang masih menyisakan aroma kue gosong.

Di atas meja ada sebuah buku. Halaman pertama buku itu penuh dengan coretan tulisan tangan Pak Opet: “Resep brownies sempurna!”

Bri tersenyum membaca judul itu. Pak Opet mengeluarkan dari oven seloyang kue yang sudah mengeluarkan wangi semerbak.

"Kalau ada waktu banyak saya suka mencoba resep mendiang istri saya. Berkali-kali gagal namun akhirnya jadi juga." Dia memotong kue tersebut menjadi beberapa bagian dan meletaknnya di piring kecil untuk kedua tetangganya itu.

Mata Raga menangkap sebuah koper bwaar berwarna hitam yang terletak di sudut ruangan. Pak Opet yang menyadari pandangan Raga itu langsung mengambil koper dan membukanya. Raga dan Bri kaget ketika melihat isi dari koper itu. Ternyata berisi kostum penari yang mirip dengan penari Jawa.

Malam telah larut ketika Warto bersiap-siap di balik tirai ruang ganti. Tangannya yang berkerut perlahan merapikan kain jarik yang melilit pinggangnya, memastikan simpulnya kuat. Di atas meja kayu kecil, sebuah cermin buram memantulkan wajahnya yang penuh garis usia. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum meraih selendang merah yang akan ia gunakan malam ini.

Setiap malam, setelah pekerjaannya sebagai penjaga gudang selesai, Warto selalu datang ke pendapa kecil di ujung kota, tempat ia berubah menjadi sosok yang berbeda—seorang penari Jawa yang luwes, penuh wibawa, dan menguasai panggung. Namun, hanya sedikit orang yang tahu akan hal ini. Baginya, tarian adalah nyawa, tetapi di mata orang-orang sekitarnya, menari mungkin hanyalah sebuah hal yang pantas dilakukan oleh pemuda atau perempuan.

"Sejak muda saya telah mencintai tari Jawa. Saya belajar diam-diam dari pertunjukan di alun-alun, meniru gerakan para penari dengan penuh takzim. Namun, setelah dewasa, hidup membawa saya ke jalan lain. Saya menikah, bekerja serabutan, dan akhirnya menetap sebagai penjaga gudang di sebuah toko grosir. Dunia tari yang dulu menjadi bagian dari jiwa saya perlahan terkubur oleh beban hidup." Pak Opet duduk di sebuah kursi dekat jendela sambil termenung mengingat masa lalunya.

"Baru setelah istri saya meninggal beberapa yang tahun lalu, saya kembali ke panggung. Tidak ada orang yang tahu. Dulu di tempat tinggal saya yang lama, saya menjadi bahan gunjingan karena mereka tahu bahwa setiap malam saya akan mengenakan busana tari dan meliukkan tubuh dengan gemulai, mereka tidak tau bahwa itu adalah pertujukkan seni itu adalah jiwa saya, mereka hanya bisa menghina dan menjatuhkan saya." Bri tertegun mendengar cerita dari Pak Opet dia menyesal karena sebelumnya sudaj salah sangka dan membiarkan dirinya termakan oleh rumor yang tidak berdasar.

Raga bersimpati setelah mendegar cerita itu. "Saya jadi ingat kakek saya Pak. Dia juga suka sekali dengan tarian Jawa, dia selalu menemani para penari dengan alunan musik yang dia mainkan. Katanya melihat orang-orang menikmati pertunjukkan itu membuat hatinya senang bukan main."

"Kakekmu benar. Rasanya seperti meraih kebebasan akan diri kita."

"Di mana biasanya Pak Opet melakukan pertunjukkan? Mungkin nanti kami bisa melihatnya juga," tanya Bri yang mulai antusias.

"Di sanggar tari Bulan dekat alun-alun kota. Saya akan senang jika kaliam menonton saya di sana." Pak Opet tersenyum sambil merapikan kembali kopernya itu.

Sepeninggal kedatangan kedua tetangganya itu, Opet bersiap-siap untuk pergi. Malam itu, Opet menari dengan hati yang penuh. Gerakannya bercerita tentang seorang ksatria yang berjuang dalam peperangan batinnya sendiri. Ia menutup matanya, membiarkan tubuhnya berbicara melalui tarian, mengabaikan fakta bahwa usia telah membuat lututnya nyeri. Di antara penonton yang terbatas, seorang pemuda merekamnya dengan ponsel tanpa sepengetahuannya.

Keesokan harinya, Opet dikejutkan oleh bisikan-bisikan di warung kopi dekat komplek. “Pak Opet? Itu yang menari semalam, bukan?” seorang pemuda menunjuk layar ponselnya, di mana sosok pria berumur tengah menari dengan anggun.

Detik itu juga, tubuh Opet menegang. Jantungnya berdegup kencang. Rahasia yang ia simpan bertahun-tahun telah terbongkar.

“Aneh, ya? Sudah tua tapi masih menari seperti perempuan—”

Opet menarik napas dalam. Ia menyesap kopinya perlahan, berusaha menahan gejolak dalam dada. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa menari bukan sekadar gerakan, melainkan jiwa yang berbicara. Tetapi, yang ia lakukan hanyalah tersenyum tipis sebelum meninggalkan warung tanpa sepatah kata.

Raga yang kebetulan baru sampai langsung menghampiri pemuda itu. "Kau tidak tau apapun tentang seni. Jangan suka menghakimi orang lain. Lihat dirimu! Sebulan sekali selalu menyebarkan gosip tak benar tentang orang lain." Pemuda itu bernama Ater, penghuni rumah komplek sebelah yang bermulut besar suka memfitnah orang-orang.

Ater yang marah mencoba membela dirinya. "Bukan urusanmu! Memangnya kenapa? Biar saja semua orang tau kalau dia menari seperti perempuan," ucapnya sambil tertawa mengejek. Sementara itu Opet sudah tidak terlihat lagi di warung itu, dia memilih untuk pulang.

Tiba-tiba Pak Surya datang dan melotot ke arah Ater yang terlihat ketakutan. "Jika kau tidak menghapus video itu segera. Aku akan membuatmu menyesal. Dan jangan berkata hal buruk tentang wargaku!" Ater yang takut langsung diam dan menghapus video itu di tempat. Raga penasaran apa alasan dari ketakutan Ater pada Pak RT-nya itu.

Sepulangnya ke rumah, Opet duduk termenung di depan cermin. Bayangan dirinya dalam balutan pakaian penari semalam masih melekat di benaknya. Bagaimana pun juga, ia tidak bisa terus bersembunyi. Ia tidak ingin rasa malu atau gengsi mengalahkan cintanya pada tari.

Maka, keesokan harinya, Opet mengambil keputusan besar. Ia berjalan menuju rumah Pak RT, mengetuk pintunya dengan tangan sedikit gemetar.

“Pak, saya ingin meminta izin untuk mengadakan pertunjukan tari di balai warga,” ucapnya dengan suara mantap.

Surya yang awalnya terkejut, kemudian mengangguk pelan. “Bapak yakin?”

“Saya harus jujur pada diri sendiri, Pak. Jika orang-orang melihat sendiri tarian saya, mungkin mereka bisa mengerti.”

"Bagus sekali kalau begitu. Kebetulan akam ada acara jumat ini di balai warga. Pak Opet bisa menjadi salah satu pengisi acaranya," ucap Surya bersemangat.

Pengumuman segera disebarkan. Warga dibuat penasaran. Ada yang ingin datang karena ingin menertawakan, ada yang benar-benar tertarik, dan ada pula yang datang sekadar untuk melihat “keanehan” ini dengan mata kepala sendiri.

Hari pertunjukan pun tiba. Balai warga dipenuhi tetangga, anak-anak kecil duduk di lantai depan panggung. Opet berdiri di balik tirai, jantungnya berdegup kencang. Namun, begitu musik gamelan mengalun, tubuhnya mulai bergerak dengan sendirinya.

Gerakannya lembut tapi bertenaga, matanya tajam menatap ke depan, tangannya menyampaikan cerita yang lebih dalam dari kata-kata. Malam itu, ia membawakan tarian Gatutkaca Gandrung, sebuah tarian yang menceritakan seorang ksatria yang harus memilih antara takdir dan hatinya sendiri.

Semakin lama ia menari, semakin hening ruangan itu. Tidak ada tawa. Tidak ada bisikan. Hanya ada decak kagum dan tatapan yang mulai mengerti.

Saat musik berhenti, Opet membungkukkan badan. Hening sejenak, lalu tepuk tangan bergema memenuhi ruangan. Beberapa orang yang tadinya mencibir, kini ikut bertepuk tangan. Bahkan, beberapa ibu tersenyum dan berbisik satu sama lain, “Bagus sekali, ya.”

Opet mengangkat kepalanya dan tersenyum. Malam itu, ia telah berdamai dengan dirinya sendiri. Tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi ketakutan. Hanya ada ia dan tarian yang selalu ia cintai.

Dan kini, seluruh dunia bisa melihatnya.

1
Siska Amelia
okayy update kok dikit dikit
lilacz
dari segi alur dan penulisan membuat aku tertarik
lilacz
jgnn lama-lama update part selanjutnya ya thor
Karangkuna: terima kasih untuk dukungannya :)
total 1 replies
ulfa
wah genre favorit aku, dan ceritanya tentang enemy to lovers. ditunggu next part ya kak. semangat /Smile/
Karangkuna: happy reading, terima kasih sudah mampir :)
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!