NovelToon NovelToon
CINTA Di Ujung PISAU

CINTA Di Ujung PISAU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Rmaa

Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.

Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.

bagaimana kelanjutannya?

silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.

mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you

selamat membaca


see you 😍

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Elizabeth menatap Axel dengan penuh perhatian, berusaha mencari momen untuk melanjutkan pembicaraan. Setelah merasakan sedikit ketegangan mulai mencair, ia memutuskan untuk mengutarakan tujuannya datang ke perusahaan.

“Axel, selain ingin memastikan kamu baik-baik saja, aku juga punya sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu,” ujarnya, suaranya lembut namun tegas.

Axel mengernyit, merasa curiga.

“Apa lagi yang bisa lebih penting dari situasi ini, Mom?” tanyanya, nada suaranya masih mengandung skeptisisme. Ia tahu ibunya biasanya memiliki agenda tertentu ketika datang kepada dirinya.

Elizabeth menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian.

“Aku ingin mengenalkan mu pada seorang gadis. Namanya Clara. Dia sangat baik dan memiliki banyak potensi. Aku pikir dia bisa menjadi teman yang baik untukmu.”

Mendengar nama itu, Axel langsung menolak.

“Tidak, Mom. Aku tidak butuh teman baru. Aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dan tidak ada waktu untuk hal-hal seperti itu,” jawabnya tegas, wajahnya kembali menunjukkan ketidaksetujuan.

Elizabeth menyadari bahwa Axel akan menolak, tetapi ia tetap bersikeras.

“Aku tahu kamu mungkin merasa seperti itu sekarang, tetapi Clara adalah orang yang berbeda. Dia cerdas, mandiri, dan bisa menjadi dukungan yang baik di saat-saat sulit. Kadang-kadang, memiliki seseorang di sampingmu bisa membantu, bahkan jika kamu tidak menyadarinya.”

Axel menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak membiarkan emosinya terbawa.

“Mom, aku tidak ingin membahas hal ini. Fokusku saat ini adalah perusahaan dan menangani masalah yang ada. Tidak ada tempat untuk hubungan pribadi.”

Elizabeth mengerutkan dahi, merasa frustasi.

“Axel, hidupmu tidak hanya tentang pekerjaan. Kamu juga perlu menjaga keseimbangan. Terkadang, membiarkan seseorang masuk ke dalam hidupmu bisa memberikan perspektif baru. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”

Axel merasakan desakan emosional dari ibunya, tetapi dia tetap teguh pada pendiriannya.

“Mom, aku menghargai perhatianmu, tetapi aku tidak dalam posisi untuk menjalin hubungan saat ini. Aku harus mengutamakan perusahaan.”

Melihat ketegasan Axel, Elizabeth tahu bahwa dia tidak akan mudah meyakinkan putranya. Namun, dia juga tidak ingin menyerah.

“Baiklah, Axel. Aku mengerti bahwa kamu merasa tidak siap. Tetapi ingat, aku selalu ada untukmu. Jika suatu saat kamu berubah pikiran, Clara akan selalu ada di sana.”

Axel mengangguk, meskipun masih merasa berat untuk berpikir tentang hubungan pribadi di tengah semua kekacauan yang terjadi.

“Terima kasih, Mom. Aku menghargainya, tetapi saat ini, tolong izinkan aku untuk fokus pada masalah yang ada.”

Elizabeth menghela napas, tetapi dia tahu bahwa dia harus menghormati keputusan Axel.

“Baiklah, tetapi jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kamu tidak perlu menghadapi semuanya sendirian.”

Elizabeth melangkah ke luar dari ruangan itu namun ia kembali lagi ke ruangan Axel beberapa saat kemudian, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Axel masih duduk di kursinya, wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kemarahan.

"Axel," Elizabeth memulai, suaranya terdengar lebih rendah,

"Aku tahu aku mungkin terlalu memaksa. Tapi aku mohon, kali ini saja. Temui Clara. Hanya sekali. Aku janji, setelah itu, aku tidak akan memaksamu lagi. Terserah padamu untuk memutuskan selanjutnya."

Axel menatap ibunya, melihat kesungguhan dalam mata wanita itu. Ia tahu ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, meskipun caranya mungkin salah. Ia menghela napas panjang, kemarahannya mulai mereda.

"Hanya sekali, Mom," kata Axel, suaranya masih terdengar berat. "Kalau aku tidak suka, ini selesai sampai di sini."

Elizabeth tersenyum lega, sebuah senyum yang penuh kelegaan dan syukur. "Terima kasih, sayang. Aku janji, kamu tidak akan menyesal."

"Jangan berharap terlalu banyak, Mom," Axel memperingatkan, namun nada suaranya tidak setajam sebelumnya. Ia merasa sedikit penasaran dengan gadis yang disebut ibunya sebagai aset berharga sekaligus calon pendamping hidup yang baik. Ia juga merasa sedikit lelah dengan beban tanggung jawab yang selalu dipikulnya. Mungkin, menemui Clara tidak akan merugikannya.

"Aku tahu," jawab Elizabeth. "Aku hanya ingin kau memberikan kesempatan. Itu saja."

Axel mengangguk.

"Baiklah, Mom. Kapan dan di mana?"

Elizabeth tersenyum, sebelum memberikan detail waktu dan tempat pertemuan. Axel mendengarkan dengan tenang, mencoba untuk tidak terlalu berharap banyak, namun juga tidak sepenuhnya menutup kemungkinan akan adanya perubahan dalam hidupnya.

Axel mengepalkan tangannya, urat-urat di tangannya menegang. Bukan amarah yang membara kali ini, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih menyakitkan: kerinduan. Kerinduan yang ia sembunyikan di balik topeng kekejaman dan sikap dinginnya. Kerinduan akan Emily, kekasihnya yang hilang tanpa jejak.

Bukan kerinduan yang melow dan lemah lembut. Kerinduan Axel lebih seperti luka menganga yang terus berdenyut, mengingatkannya akan kehilangan yang tak tergantikan. Ia merindukan bukan hanya kehadiran fisik Emily, tapi juga kekuatan dan kedamaian yang pernah ia rasakan saat bersama wanita itu.

Ia merindukan senyum Emily yang mampu mencairkan es di hatinya, sentuhannya yang mampu menenangkan badai emosi di dalam dirinya. Ia merindukan percakapan mereka, perdebatan mereka, bahkan pertengkaran mereka. Semua itu, sekarang hanya tinggal kenangan yang menyayat hati.

Namun, ia tak akan pernah menunjukkan kelemahannya. Ia tak akan pernah membiarkan siapa pun melihat air mata yang mungkin mengalir di balik topengnya yang dingin dan tak tertembus. Kerinduannya adalah beban yang ia pikul sendiri, sebuah rahasia gelap yang tersimpan di dalam hatinya, di balik tembok pertahanan yang ia bangun untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Ia adalah Axel Steele, CEO yang dingin dan tak kenal ampun, dan ia tidak akan pernah membiarkan kerinduannya melemahkannya.

Itu adalah janji yang ia buat pada dirinya sendiri, janji yang ia pegang teguh, meskipun hatinya hancur berkeping-keping karena kehilangan Emily. Kerinduannya adalah api yang terpendam, membakarnya dari dalam, tetapi ia tak akan pernah membiarkannya terlihat oleh dunia luar.

Axel menghela napas berat, matanya terpejam sejenak. Bayangan Emily muncul di benaknya, seolah-olah wanita itu masih berdiri di sampingnya, menawarkan senyum hangat dan tatapan penuh pengertian. Ia merindukan Emily, merindukan kehadirannya yang selalu menenangkan, merindukan kekuatan yang ia rasakan saat berada di dekatnya.

"Andai saja kau di sini, Emily," gumam Axel, suaranya nyaris tak terdengar.

"Mommy pasti tidak akan memaksaku untuk bertemu dengan wanita-wanita lain."

Ia membayangkan bagaimana Emily akan berdiri di antara dirinya dan mommy, menjelaskan dengan lembut bahwa ia belum siap untuk menjalin hubungan baru. Ia membayangkan bagaimana Emily akan menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang, menenangkan hatinya yang sedang kalut. Ia membayangkan bagaimana Emily akan melindunginya dari tekanan mommy nya, seperti yang selalu ia lakukan selama ini.

Namun, kenyataan pahit menghantamnya. Emily sudah tidak ada. Ia telah menghilang tanpa jejak, meninggalkan Axel sendirian dalam menghadapi semua masalahnya. Kehadiran Emily hanya tinggal kenangan, sebuah bayangan yang semakin samar seiring berjalannya waktu.

Axel mengusap wajahnya, merasa frustrasi. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak ingin membuat mommy nya kecewa, tetapi ia juga tidak ingin dipaksa untuk melakukan sesuatu yang belum ia siapkan. Ia merasa terjebak di antara dua keinginan yang saling bertentangan.

"kau harus kuat, Axel," gumamnya pada diri sendiri.

"Aku harus menghadapi semua ini sendiri." Ia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya, mengingatkan dirinya bahwa ia adalah Axel Steele, pria yang selalu tegar dan tak kenal takut. Ia harus menemukan cara untuk mengatasi tekanan mommy nya untuk melindungi dirinya dari rasa sakit yang mungkin muncul jika ia dipaksa untuk menjalin hubungan baru. Ia harus menemukan cara untuk hidup tanpa kehadiran Emily, meskipun hatinya masih merindukannya.

Ia harus menemukan cara untuk menjadi kuat, untuk menjadi Axel Steele yang tegar dan tak tertembus, meskipun di balik topengnya, sebuah kerinduan yang mendalam tetap tersimpan, kerinduan akan Emily, wanita yang telah menghilang dari hidupnya, meninggalkan sebuah kekosongan yang tak akan pernah terisi.

.

.

.

Lanjut yah

See you 😍

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!