Lulu, seorang yatim piatu yang rela menerima pernikahan kontrak yang diajukan Atthara, demi tanah panti asuhan yang selama ini ia tinggali.
Lulu yang memerlukan perlindungan serta finasial dan Atthara yang memerlukan tameng, merasa pernikahan kontrak mereka saling menguntungkan, sampai kejadian yang tidak terduga terjadi. “Kamu harus bertanggung jawab!”
Kebencian, penyesalan, suka, saling ketertarikan mewarnai kesepakatan mereka. Bagaimana hubungan keduanya selanjutnya? Apakah keduanya bisa keluar dari zona saling menguntungkan?
Note: Hallo semuanya.. ini adalah novel author yang kesenian kalinya. Semoga para pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Tolong Rahasiakan
“Ning, tolong kamu antarkan kue ini ke tempat Kak Lila, ya? Aku ada urusan.” Kata Lulu yang baru saja menyelesaikan kuenya.
“Iya, Mbak.”
“Kamu pakai saja motornya. Aku bisa menggunakan angkot dan jangan lupa uang kue kemarin!”
“Siap!”
Lulu segera masuk ke dalam kamarnya dan mengambil pakaian. Sudah pukul 7 pagi, ia harus bergegas membersihkan diri dan pergi ke taman kota. Ia sudah berusaha secepat mungkin, tetapi ia tepat terlambat dari waktu yang ditentukan karena angkot yang sering berhenti untuk mencari penumpang.
Di taman, Lulu menengok ke kanan dan kiri mencari keberadaan Atthara, tetapi tidak menemukannya. Tiba-tiba seseorang berhenti di hadapannya.
“Maaf, saya mau lewat.” Kata Lulu menunduk tanpa melihat lawannya.
“Kalau kamu berjalan menunduk, yang ada kamu akan menabrak seseorang!”
“Suara ini..” batin Lulu yang segera mendongak.
“Kenapa terlambat? Aku sampai jamuran menunggumu!”
“Maaf, saya kemari menggunakan angkot jadi tidak bisa cepat.”
“Kalau tahu akan terlambat, kenapa tidak berangkat lebih awal?”
“Maaf, saya harus menyelesaikan kue lebih dulu.”
“Apakah kata maaf sudah menjadi kebiasaanmu?”
“Maaf.” Atthara mengusap wajahnya.
Ia menggandeng Lulu dan mengajaknya duduk di sebuah kursi taman. Lulu bagaikan patung yang diseret dan didudukkan. Atthara yang merasa aneh dengan sikap Lulu, tidak tahan untuk bertanya.
“Ada apa denganmu?”
“Tangan.” Cicit Lulu.
“Kenapa dengan tangan?”
“Tolong lepaskan!” Atthara melepaskan genggaman tangannya dan segera Lulu menggeser tubuhnya.
Keduanya kini duduk di kedua ujung kursi. Lulu tidak berani bersuara, sedangkan Atthara hanya memperhatikannya yang sedari tadi menunduk.
Atthara tumbuh di keluarga beragama Islam, tetapi hanya almarhum ibunya dan sang nenek yang taat beribadah. Ia bahkan sudah lupa bagaimana wudhu dan sholat karena ia sudah meninggalkannya sejak sang ibu meninggal dunia.
“Apakah aku menakutkan?” tanya Atthara.
“Tidak.”
“Lalu kenapa kamu menunduk?”
“Saya hanya menjaga pandangan saya.”
“Angkat kepalamu! Aku tidak bisa berbicara dengan orang yang tidak menghargaiku. Kalau kamu sedang berbicara dengan seseorang, kamu harus menatapnya! Jika tidak, kamu saja menghinanya karena kamu dianggap mengabaikannya.”
Lulu menegakkan kepalanya, pandangannya bertemu dengan Atthara yang ternyata sedari tadi menatapnya.
“Aku diajarkan untuk menundukkan pandanganku karena itu adalah tuntutan dalam agamaku untuk menjaga jiwa dan akal dari hawa nafsu. Apa yang Anda katakana hanya berlaku jika berbicara dengan sesama muhrim atau mahramku.” Kata Lulu.
“Entah itu tuntutan atau apa, aku merasa lebih baik saat kamu berbicara sambil memandangku seperti ini. Jangan mengajakku berdebat! Aku mengajakmu bertemu untuk membahas pernikahan.”
Atthara menjelaskan jika dirinya sudah mengatakan kepada sang nenek jika ia menyukai Perempuan berhijab lebar. Dengan skenario ini, Atthara akan memproses pernikahan mereka secara sederhana yang hanya dihadiri keluarga. Lulu tidak perlu memikirkan apapun karena Atthara yang akan mengurusnya. Setelah menikah, Lulu tidak diperbolehkan tinggal di panti melainkan tinggal di rumah yang sudah Atthara siapkan.
“Tunggu, Kak!” Lulu menyela penjelasan Atthara.
“Apa?”
“Aku punya permintaan.”
“Katakan!”
“Tolong sembunyikan pernikahan ini dari Ibu dan penghuni panti lainnya. Aku mengatakan kepada mereka kalau aku akan melamar pekerjaan di kota.”
“Kamu malu menikahiku?” tanya Atthara dengan penuh penekanan.
Ia merasa marah, Lulu ingin merahasiakan pernikahannya.
“Bukan. Aku hanya tidak ingin Ibu mengetahui kesepakatan kita. Aku takut beliau akan jatuh sakit jika terlalu memikirkanku.”
“Sesayang itu kamu dengan ibu angkatmu?”
“Tentu saja. Beliau adalah orang yang membesarkanku.”
“Apa kamu tidak ingin mencari orang tua kandungmu?”
“Tidak. Jikalau mereka masih hidup, mereka bisa saja mencariku dan menemuiku di panti karena panti itu tidak ke mana-mana. Kenyataan selama 20 tahun ini tidak ada satupun yang mencariku.”
“Kamu yang mencari mereka?”
“Bagaimana caranya? Polisi saja tidak bisa menemukan mereka, apalagi aku yang tidak memiliki apa-apa ini. Ibu Asih bahkan tidak memiliki petunjuk apa-apa. Hanya..”
“tanda lahir yang ada di lengan dan pinggangku.” Batin Lulu.
Tidak mungkin ia mengatakannya kepada Atthara masalah ini. Karena tanda lahir itu juga tidak akan terlihat olehnya nanti.
“Lupakan! Kamu bisa menggunakan wali nikah hakim. Biarkan asistenku yang mengurusnya. Kalau kamu sudah mengatakan akan bekerja di kota, maka mulai besok kamu tinggalkan panti dan tinggal sementara di apartemen milikku.” Lulu hanya mengangguk lemah.
Sudah nasibnya, maka ia tidak akan mengeluh. Ia sudah membulatkan tekad sejak menandatangani perjanjian dengan Atthara. Sebisa mungkin ia akan menyembunyikannya dari Ibu Asih. Jikalau suatu hari ia ketahuan, semoga kontrak dengan Atthara telah selesai sehingga ia bisa kembali ke panti asuhan dan hidup dengan Ibu Asih dan yang lainnya.
Setelah sepakat, Atthara membawa Lulu makan di sebuah restoran. Ia melewatkan sarapannya pagi ini karena malas melihat wajah sang papa. Lulu yang juga melewatkan sarapan, tidak menolak ajakan Atthara. Tetapi ia tidak terbiasa dengan makanan yang Atthara pesankan untuknya.
Roti, kentang goreng, sosis goreng, telur orak-arik dengan keju dan acar, sungguh terasa aneh di mulutnya. Tetapi Lulu tetap memakannya karena tidak ingin mubadzir makanan. Setelah selesai makan, pelayan datang dan menyajikan pancake. Untuk pancake Lulu tidak ada masalah, hanya saja ia tidak yakin bisa menghabiskannya.
“Bisakah aku membungkusnya?” bisik Lulu.
“Makan saja!”
“Aku takut tidak bisa menghabiskannya.” Jujur Lulu.
“Berapa yang bisa kamu habiskan?”
“Dua.” Atthara mengambil 2 pancake dari piring Lulu dan memakannya.
Melihat perlakuan Atthara, hati Lulu seperti berdesir karena terharu. Ia akhirnya menghabiskan pancake yang tersisa dan minum secukupnya. Ketika mereka keluar dari restoran, seseorang yang mengenal Atthara menghampiri mereka.
“Apakah perempuan ini yang bisa menaklukkan mu?” tanya teman Atthara.
“Bukan urusanmu!”
“Wajahnya boleh juga. Tetapi kenapa penampilannya seperti ini?”
“Urus saja urusanmu sendiri!” Atthara menarik tangan Lulu dan membawanya masuk ke dalam mobilnya meninggalkan temannya yang merasa kesal karena diabaikan.
Mobil kini berhenti di salah satu butik. Atthara membawa Lulu masuk dan meminta pelayan toko untuk mencarikan pakaian yang cocok. Pelayan toko membawakan beberapa pakaian gamis mulai dari yang kasual sampai yang formal. Atthara mengambil beberapa dan meminta Lulu unutk mencobanya. Lulu menuruti Atthara dengan setengah hati.
“Aku ambil semua yang dicobanya!” kata Atthara seraya menyerahkan sebuah kartu kepada pelayan toko.
Segera pelayan toko itu memprosesnya dan membungkus rapi pakaian yang dibeli. Saat keluar dari butik, Atthara menyerahkan paperbag berisi pakaian kepada Lulu.
“Pakailah pakaian seperti ini mulai besok.”
“Memangnya kenapa dengan pakaianku saat ini?”
“Tidak cocok dengan statusku!” jawab Atthara singkat.
Walapun singkat sangat berimbas kepada Lulu. Kembali ia diingatkan jika dirinya adalah istri kontrak yang harus mendengarkan Atthara.