Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20-Sebuah Misi
Mama termenung, ekspresi wajahnya benar-benar tak bisa kubaca. Entah apa yang saat ini tengah beliau rasakan dan pikirkan. Aku jadi merasa bersalah karena sudah membeberkan kebenaran yang beberapa hari lalu kudapat dari Mbak Rumi.
Aku tak memiliki sedikit pun niat buruk, hanya ingin sekadar meluruskan. Terlebih, aku pun membutuhkan bantuan beliau agar bisa membawa Bang Fariz ke rumah sakit. Kondisi Papa kian memburuk, dan aku sudah menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Sangat memperihatinkan.
"Antar Mama untuk menemui Mas Asnawi," katanya membuat mataku membulat sempurna.
"Mama serius?" Aku membeo penuh ketidakpercayaan.
Mama mengangguk mantap. "Kesalahan di masa lalu sudah Mama kubur dalam-dalam, gak ada sedikit pun dendam. Mama hanya ingin memastikan kondisinya, mau bagaimana pun Mas Asnawi merupakan ayah kandung Fariz."
Aku tersenyum lega melihat respons yang Mama berikan, sangat bertolak belakang dengan reaksi Bang Fariz. "Dengan senang hati aku akan mengantar Mama."
Mama mengangguk dan tersenyum lebar. "Kenapa kamu baru cerita soal ini sekarang?" tanya beliau.
"Aku takut salah mengambil langkah, aku juga gak mau dianggap terlalu ikut campur dengan masa lalu Mama dan Bang Fariz. Posisiku hanya sekadar orang baru yang kebetulan berstatus sebagai menantu. Ada hal-hal yang memang seharusnya tidak aku ketahui dan campuri," terangku diakhiri dengan sebuah sunggingan.
"Fariz sudah tahu?"
"Aku hanya memberitahu Bang Fariz soal keberadaan dan kondisi Papa yang saat ini berada di rumah sakit. Selebihnya gak, sesuai permintaan Mbak Rumi. Aku rasa, bukan ranah aku juga untuk menjelaskannya, biarkan Bang Fariz tahu dari orangnya langsung. Aku rasa itu lebih baik," sahutku.
Mama mengangguk paham. "Fariz memang tidak pernah Mama beritahu ihwal poligami yang Papanya lakukan. Sebisa mungkin Mama menutup rapat-rapat kebenaran itu, karena pada saat dia tahu Papanya berselingkuh dan memilih wanita lain dibandingkan Mama saja dia sudah sangat membenci Mas Asnawi."
"Kenapa Mama sekuat itu menanggung beban ini sendirian?"
Mama tersenyum tipis, tapi matanya terlihat berkaca-kaca. Mungkin beliau belum siap untuk menceritakan masa lalunya, atau mungkin tidak akan pernah siap. Luka itu masih ada, tapi beliau seolah menutupinya agar terlihat baik-baik saja.
"Kalau Mama gak kuat, gak usah cerita. Maaf pertanyaan aku membuat Mama kurang nyaman," imbuhku saat beliau tak kunjung buka suara.
Mama menggeleng dan mengelus lembut tanganku. "Pernikahan Mama dan Mas Asnawi berjalan sebagaimana mestinya. Rukun dan hampir tidak pernah ada masalah yang berarti, kehadiran Fariz di tengah-tengah kami semakin memperlengkap kebahagiaan. Namun, entah apa alasannya, Mama menangkap basah Mas Asnawi sedang berduaan dengan wanita yang tengah hamil."
"Wanita itu bernama Nadia, dia merupakan istri kedua Mas Asnawi dan ternyata Ibunya Arum. Pada saat itu Mama gak mau gegabah dalam mengambil keputusan, terlebih Fariz pun belum genap dua tahun. Masih perlu figur seorang ayah, Mama pun hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan. Apa jadinya kalau sampai Mama menggugat cerai Mas Asnawi sedangkan ada Fariz yang harus Mama biayai dan cukupi kebutuhannya."
Mama menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. Matanya yang semula memerah, kini mulai menjatuhkan cairan bening. Aku sangat mengerti dengan apa yang tengah beliau rasakan.
"Dimadu ternyata semenyakitkan itu, terlebih saat Nadia melahirkan seorang anak perempuan yang memang sangat Mas Asnawi inginkan. Semakin hari waktu dan kasih sayang Mas Asnawi kian berkurang, hanya uang yang mampu dia berikan. Sampai akhirnya Mama memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai, meskipun pada saat itu Mama gak tahu harus ke mana dan tidak punya sedikit pun modal untuk bertahan hidup."
"Memangnya Mama gak minta harta gono-gini, atau setidaknya meminta nafkah untuk membiayai Bang Fariz?"
Mama menggeleng lalu menghapus linangan air matanya. "Harta yang paling berharga yang Mama miliki hanya Fariz, hak asuh jatuh di tangan Mama pun sudah sangat alhamdulilah. Mama gak bisa bayangkan kalau harus kehilangan Fariz, uang dan tempat tinggal bisa Mama usahakan."
"Mama sudah tidak punya orang tua, keluarga pun gak ada yang mau bantu. Mama harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Kerja apa pun Mama lakoni, yang penting bisa makan, bayar sekolah Fariz, dan juga bayar kontrakan. Tahun terberat bagi Mama, sekaligus menjadi titik balik untuk bangkit," tukasnya diakhiri dengan senyuman tipis.
"Menjadi perempuan yang independen itu tidaklah buruk, Sayang. Justru kita harus bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Sebab, tidak semua suami bisa memperlakukan istrinya dengan baik."
"Mama wanita yang kuat dan juga ibu yang hebat. Aku sangat beruntung bisa menjadi menantu Mama," kataku memberi beliau pelukan hangat.
Mama menyambut tak kalah hangat pelukanku. "Mama juga sangat bersyukur karena memiliki menantu seperti kamu."
Kami saling melempar senyuman dan juga melerai pelukan. Saling memberi kekuatan satu sama lain.
"Oh, iya kapan Mama mau menjenguk Papa?" tanyaku setelah meneguk minuman yang terhidang.
Saat ini aku sedang berada di kediaman Mama. Sengaja menemui beliau.
"Kamu ada waktunya kapan? Mama ikut jadwal kamu aja," sahutnya.
Aku tertawa kecil. "Kapan pun untuk Mama, aku pasti akan meluangkan waktu. Lagi pula, aku juga gak sibuk-sibuk banget."
Mama manggut-manggut. "Brand fashion kamu gimana? Lancar-lancar aja, kan?"
"Alhamdulillah lancar, cuma lagi agak seret aja. Maklum makin ke sini makin banyak brand baru yang bertebaran. Tapi masih bisa dikembangkan, gak stuck banget kok."
"Naik turun, untung rugi dalam bisnis itu biasa yang penting kitanya mau terus berusaha. Berinovasi supaya gak ketinggalan zaman, dan ikuti trend yang lagi in. Kalau mau usahanya maju, kita harus lebih gigih," tutur Mama memberikan petuah.
"Iya, Ma, makasih sarannya."
"Penyakit pelit Fariz masih suka kambuh?"
Aku tertawa mendengar pertanyaan konyol tersebut. "Kalau soal itu jangan ditanya, Ma. Alhamdulillah masih sama kayak dulu."
Mama terkekeh pelan. "Dia itu masih trauma, takut ditinggalin kayak yang dulu-dulu. Harta benda habis tak tersisa, ujungnya pisah juga. Tapi Mama harap lambat laun sifat pelit dan perhitungan Fariz bisa hilang. Mama kasihan sama kamu."
"Maunya aku juga gitu, tapi kayaknya susah dan perlu waktu. Bang Fariz suka mendadak pusing kepala kalau pengeluaran di atas batas kewajarannya. Uang logam juga masih jadi koleksi Bang Fariz," kataku diakhiri dengan tawa kecil.
"Suka mendadak stres yah," tutur Mama yang kubalas anggukan.
Jika dulu sebelum aku tahu tentang trauma yang dimiliki Bang Fariz, aku tak terlalu memperhatikan bagaimana stres dan pusingnya Bang Fariz saat terpaksa harus mengeluarkan lembaran, meskipun itu hanya sebatas untuk bayar makan. Namun, sekarang aku lebih peka dan memahami kecemasan yang dia rasakan.
Bang Fariz itu bukan takut uangnya habis karena aku poroti, tapi dia lebih takut aku meninggalkannya disaat dia sudah memberikan segalanya untukku yang berstatus sebagai istri. Pengalaman di masa lalu memang cukup mempengaruhi.
"Coba kamu biasakan untuk sering makan di luar, bayarnya pakai uang kertas. Supaya Fariz terbiasa, gak papa dia pusing kepala, toh efeknya cuma beberapa menit aja."
Aku menggeleng kuat. "Gak mau, Ma. Kasihan Bang Fariz."
Mama menghela napas singkat. "Mama lebih kasihan sama kamu. Lagi pula ini demi kebaikan Fariz juga. Mama akan sembunyikan uang logamnya, kamu juga harus bisa bekerjasama untuk memaksa Fariz menggunakan uang kertas saat kalian bersama."
"Gak papa emangnya?"