Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. PERHATIAN
..."Caramu memandangku melemahkanku...
...Caramu menyentuhku menggetarkanku...
...Layaknya kelopak yang tertiup angin...
...Akankah terjatuh di tanah...
...Atau mengikuti angin ke ladang singgah...
...Sungguh cinta, hatiku telah kalah."...
Mataku kembali terbuka, entah sejak kapan aku tertidur. Keadaan di luar dari jendela sudah mulai gelap, dan bisa kulihat hujan mengguyur bumi dalam damainya. Pantas kurasakan hawa dingin merembes ke tulang, padahal sebelumnya tubuhku terasa sangat panas. Entah karena adrenalin akibat kaget tadi atau karena suhu, aku tak tahu.
Lagi-lagi kurasakan sebuah handuk kecil di dahiku, namun kali ini masih basah seolah baru saja ditaruh. Mungkinkah Rini atau Dini sudah pulang ke rumah?
“Sudah bangun?” suara lembut tertangkap telingaku.
Spontan aku melihat ke arah pintu, ke sosok yang berdiri di sana dengan senyumnya yang sudah amat kuingat. Ia berjalan mendekat ke arahku dengan tangan berisi nampan. Terlihat lucu melihat atasanku seperti itu, jika aku tidak dalam kondisi buruk mungkin aku sudah tertawa. Tubuhnya terlihat sempurna dan tinggi dalam balutan kemeja hijau gelap dengan lengan baju yang ia gulung hingga siku. Melihatnya seperti itu membuatku merasa masih bermimpi.
“Mas bawain bubur sama obat. Kamu belum makan seharian bahkan belum makan obat. Jadi berhubung kamu udah bangun sebaiknya kamu abisin buburnya dan minum obatnya supaya kamu bisa cepat sembuh dan kerja lagi,” katanya yang duduk di kursi di samping tempat tidurku. Bahkan gerakannya begitu tenang sama seperti nada suara yang ia lontarkan.
Aku bergegas bangkit dari tidurku. Dibantu oleh Bos Juna aku duduk menyandarkan diri ke punggung tempat tidur. Sungguh badanku terasa sakit semua seperti orang yang lari dan angkat beban untuk pertama kali, khususnya lenganku. Kurasa karena aku mencengkeram kuat daun pintu ketika penguntit itu berusaha menarikku keluar dari rumah.
Bos Juna menaruh nampan yang dibawanya tadi ke atas pangkuanku, menyuruhku makan. Ia bertanya dimana ia bisa menemukan jaketku—mengingat cuaca di luar memang dingin karena hujan—untuk menjaga suhu tubuhku tetap hangat. Setelah kuberitahu, ia langsung mengambilnya, mencari sesaat dan langsung kembali ke tempatku berada ketika ia menemukan yang ia cari. Memakaikan cardigan cokelat ke tubuhku dengan gerakan luwes.
“Besok kamu jangan masuk dulu, kamu pulihin dulu kesehatan kamu baru kamu kerja lagi. Kalau kamu butuh sesuatu besok kamu bisa telepon Mas, jangan sungkan. Soal kerjaan kamu jangan kahwatir, ada Andre sama Bobby yang bantu kerjaan kamu. Jadi, kamu cuma harus fokus untuk sehat dan pulih lagi seperti semula untuk saat ini, oke,” kata Mas Juna saat aku melahap bubur yang ia bawakan.
Kuanggukan kepalaku, mengerti dengan yang ia katakan. Aku tidak bisa membantahnya, karena memang itu yang aku butuhkan setelah yang terjadi. Aku tidak tahu sejak kapan Bos Juna sedekat ini denganku, padahal hingga sekarang status kami hanyalah atasan dan karyawan. Apakah ia menganggapku temannya saat ini? Bagus jika itu benar. Namun entah kenapa hati dan otakku selalu berkata lain. Seakan apa yang ia lakukan kepadaku ini sejak awal merupakan perhatian lebih dari sekedar teman. Mungkin diriku terlalu denial untuk mengakuinya. Atau lebih tepatnya takut.
“Mas mau tanya, apa kamu nggak kenal sama penjahat itu?” tanya Mas Juna tiba-tiba.
Kugelengkan kepalaku, sedikit tidak nyaman karena membicarakan pria itu.
“Mas cuma heran aja kenapa dia kayaknya ngincer kamu sampai mau culik kamu, ini udah kedua kalinya loh. Apa kamu pernah punya masalah sama seseorang sebelum ini? Atau mantan misalnya yang masih ingin berhubungan sama kamu?” tanyanya lagi, ia melihatku dengan pandangan penasaran. Dan ada kilat tidak suka terpancar jelas di netranya ketika mengatakan kalimat terakhir.
“Nggak. Saya nggak pernah punya masalah sama siapapun, saya juga nggak tahu kenapa orang itu mau nyulik saya dan ngawasin saya terus. Dan soal mantan, saya nggak punya,” jawabku jujur.
“Syukurlah. Tapi yang jadi masalah, penjahat itu nggak mau ngomong apa-apa pas diinterogasi polisi dari semalam. Dia diem aja dan cuma bilang kalau dia disuruh dan nggak tahu siapa yang nyuruhnya. Dia dibayar buat bawa kamu ke suatu tempat tanpa tahu atas perintah siapa,” jelasnya. Tak menduga kalau Bos Juna bahkan ke kantor polisi untuk mendapatkan informasi tentang pria itu.
Aku menghentikan makan, mencoba berpikir apa yang terjadi. Ini pertama kalinya terjadi padaku, dan aku tidak tahu pernah berurusan dengan siapa sampai ada yang mau menculikku seperti itu. Kak Indra pernah mengatakan padaku saat kejadian sebelumnya kalau ia juga tidak tahu siapa yang ada di balik kejahatan itu. Dan ia terlihat pernah mencurigai seseorang, tapi ia tidak mengatakannya padaku siapa yang ia curigai.
“Udah makannya? Kalau udah, minum obatnya abis itu isthirahat lagi, jangan kemana-mana obatnya buat ngantuk jadi tiduran aja.” Bos Juna membukakan obat, mengalihkan pikiranku yang mulai berpikir kembali tentang yang seharusnya tidak kupikirkan untuk saat ini.
Kuberikan nampan tadi ke Bos Juna, mengabaikan protes atasanku itu ketika ia melihat kalau makananku tidak habis. Buru-buru kuambil obat dari tangannya dan meminumnya, menghindari kalau-kalau ia menyuruhku makan lagi padahal mulutku tidak ada rasa sekarang.
Ia membaringkanku, mengerutkan keningnya tidak senang ketika aku memaksa untuk duduk saja.
“Bentar lagi temen-teman kamu bakal pulang, jadi Mas temenin sampai mereka pulang,” kata Mas Juna yang menyantaikan tubuhnya pada punggung kursi.
“Mas Juna hari ini nggak kerja?” tanyaku, penasaran apakah ia tidak kembali ke kantor saat aku tertidur tadi.
“Nggak. Bolos sehari nggak masalah,” jawabnya santai.
“Seharusnya Mas Juna nggak perlu sampai nggak kerja cuma karena ngurusin saya.” Mendengar jawaban Bos Juna tentu saja membuat aku yang merasa ada masalah.
“Nggak usah mikirin itu. Lagian saya masih khawatir sama kamu karena semalem. Tahu kamu sampai sakit kayak gini, udah pasti kejadian semalem buat kamu terguncang," katanya.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa pada pria ini selain, “Terima kasih, Mas Juna. Saya nggak tahu kalau nggak ada Mas Juna semalem. Makasih selalu ada buat saya.”
Entah kenapa raut wajahnya berubah, seolah aku baru saja mengatakan hal yang seharusnya tidak kukatakan. Ada ekspresi tidak senang ketika aku mengatakan ucapan tulus itu, tapi ia menyembunyikannya dengan baik.
“Mas mau sekalian minta maaf, karena nggak bisa nepatin janji buat nonton sama kamu minggu kemarin. Mas nggak nyangka kalau kamu nunggu selama itu, padahal kamu bisa pergi kalau tahu mas nggak datang. Kenapa kamu nggak pergi aja daripada nunggu?” Kini air mukanya terlihat jelas memasang raut menyesal. Mengingatkanku lagi akan kebodohanku kemarin yang menunggunya seharian di depan bioskop.
Mas Juna melihatku dengan pandangan sesal, lekat seakan ia melihat langsung ke dalam mataku. Tak ada kebohongan dari ucapannya, rasa bersalah berselimut pada dirinya dengan teramat jelas.
“Saya udah nggak mikirin itu lagi. Saya yakin kalau Mas pasti punya urusan minggu kemarin. Saya nggak bisa pergi karena saya takut Mas Juna bisa datang kapan aja, lagi pula seenggaknya salah satu dari kita harus ada yang nepetin janji itu, kan," ucapku jujur.
“Kamu nggak marah sama Mas?” Pandangan matanya berubah lagi, kali ada rasa tidak percaya atas apa yang kukatakan. Aku bertanya-tanya ada apa dengan Mas Juna hari ini, ia terlihat berbeda—tidak tenang. Entah kenapa tampak risau akan sesuatu.
“Jujur awalnya saya marah karena Mas nggak bisa dihubungin. Saya hanya mikir saat itu kalau Mas Juna lupa janjinya, yang artinya janji itu nggak terlalu berharga. Tapi, tenang aja saya bukan tipe orang pendendam atau orang yang bisa marah terlalu lama,” jawabku jujur, karena memang itu yang sebenarnya kurasakan.
Kulihat Mas Juna mengusap wajah dengan tangan kanannya, entah apa yang ia pikirkan. Tapi aku bisa mendengar ia bergumam, “Seharusnya kamu marah, seharusnya kamu bentak saya karena sengaja nggak nepatin janji.”
Namun, aku tidak yakin dengan apa yang kudengar, khususnya bagian akhir. “Mas Juna bilang apa?”
Ia terkejut ketika mendengar suaraku, dan melihatku takut-takut. “Nggak, Mas cuma bilang seharusnya kamu marah aja ke Mas, itu nggak masalah.”
“Tenang, saya bukan perempuan yang kalau marah teriak-teriak atau jambak rambut,” candaku. “Jadi, Mas nggak perlu takut saya berubah jadi Hulk,” sambungku.
Seketika aku mendengar suara tawa memenuhi kamarku, tawa yang begitu ringan dan membuatku ingin mendengarnya lagi dan lagi. Oh, ada apa denganmu Ayuni? Sejak kapan mendengar tawa seorang pria membuatmu gugup.
Aku menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama Mas Juna. Aku lupa kapan terakhir aku menceritakan apa yang kukerjakan selama ini, hal-hal menarik apa yang keluar dari mulutku untuk kuceritakan. Situasi ini mengingatkanku akan diriku yang masih polos ketika SMP, masa dimana aku tidak tahu kalau aku akan kehilangan banyak hal. Dan sama seperti dulu, aku juga merasa takut.
“Saya penasaran sejak lama, kenapa Mas Juna perhatian banget sama saya padahal awalnya saya sering liat kalau Mas Juna keliatan nggak suka sama saya,” tanyaku sembarangan.
Rahangnya mengeras ketika mendengar pertanyaanku. Ia langsung diam, seperti memilih akan menjawab apa atau bahkan tidak ingin menjawab. Kulihat alisnya bertaut, dahinya berkerut tipis. Aku tahu jelas apa arti ekspresi yang ia keluarkan itu, ia sedih. Apakah pertanyaanku menyinggung sesuatu akan dirinya hingga ia terlihat begitu tersiksa?
Rasa kantuk kembali menyerangku saat menunggu jawaban dari Mas Juna, padahal seharian ini aku sudah tidur. Mungkinkah karena obat yang kuminum? Kelopak mataku terasa berat, ingin menutup dan masuk ke alam mimpi dengan segera. Lalu bagaimana dengan Bos Juna, ia masih di sini dan tidak sopan jika aku meninggalkannya tidur.
“Tidur aja, jangan paksain bangun kalau kamu ngantuk. Isthirahat, kita bisa lanjut mengobrol lain kali,” kata Bos Juna yang sepertinya sadar kalau aku memang ingin tidur.
Kuturuti ucapan Bos Juna, membiarkan rasa kantuk mengalahkanku. Layaknya seperti dibius tidak perlu waktu lama untukku masuk ke permukaan gelap nan nyaman.
“Saya senang ternyata Mas Juna orang yang baik. Mas Juna selalu ngingetin saya sama Kak Indra, dia selalu perhatian dan jaga saya kayak yang Mas Juna lakuin ini. Saya jadi ngerasa punya dua kakak. Saya jadi nggak ngerasa kesepian sejak Mas Juna ada, karena saya jarang bisa ketemu kakak saya,” cerocosku setengah sadar.
Sesuatu yang hangat kurasakan di kepalaku saat aku nyaris tertidur, seperti sebuah belaian yang mengingatkanku akan perilaku kakakku setiap kali aku sakit. Apakah kakakku datang? Itu tidak mungkin, karena hanya ada aku dan atasanku saja di rumah ini.
Mungkinkah Mas Juna membelai kepalaku? Rasanya benar-benar nyaman, sekaligus membuatku takut kalau-kalau hal itu tidak bertahan lama.
“Kenapa kamu harus menjadi adiknya Indra, Ayuni? Kenapa kamu sangat percaya kalau aku orang baik? Aku takut kalau kamu akan sangat terluka saat tahu yang sebenarnya, tapi aku nggak bisa mundur sekarang.” Nadanya begitu lirih, menyayat dan membuatku ketakutan. Seolah-olah ia akan menghilang di balik kabut saat aku mulai menggapainya, mungkinkah aku sudah masuk ke alam mimpi?
Belaian lembut kurasakan di wajahku, tangan itu terasa hangat dan lembut layaknya beledu. Kurasakan sesuatu yang hangat di keningku, sebuah kecupan.
“Kumohon, jangan menangis seperti semalam saat aku nggak ada nanti.”
Dan itu adalah hal terakhir yang kudengar sebelum akhirnya aku jatuh sepenuhnya dalam dunia mimpi.