Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Mewujudkan mimpi Aqila
"Dingin-dingin gini, emang paling nikmat ya minum kopi," gumam seorang pria sambil meletakkan gelas kopi kembali ke meja. Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
"Udah hampir jam sepuluh, si Arga ke mana sih? Lama banget," keluhnya dengan nada tak sabar.
Belum sempat ia melanjutkan keluhannya, sepasang tangan kekar tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang.
"Ka!" seru suara itu penuh semangat, membuatnya kaget setengah mati.
"Astaga, Arga! Lo ngagetin gue aja! Mau bikin jantung gue copot, ya?" Raka mendelik kesal ke arah pelakunya.
"Yaelah, Ka. Gitu doang. Masa jantung lo sampe mau copot segala? Lebay lo," balas Arga sambil terkekeh.
Arga terkekeh sambil menarik kursi di samping Raka dan langsung duduk. Dengan santainya, ia meraih gelas kopi di meja dan menyesapnya tanpa izin.
"Eh, itu kopi gue, Ga!" protes Raka sambil buru-buru merebut kembali gelasnya.
"Pelit banget sih lo. Gue cuma nyobain doang, nggak bakal habis juga," Arga tertawa kecil, sama sekali tidak merasa bersalah.
"Sana pesan kopi sendiri. Jangan minum kopi gue!" Raka mendengus kesal.
Arga menghela napas panjang, lalu memanggil pelayan dan memesan kopi untuk dirinya sendiri. Setelah selesai memesan, ia kembali menatap Raka.
"Eh, Ka, kok lo sendiri? Vano mana? Lo nggak ngajak dia? Kangen gue sama dia," tanya Arga.
"Dia nggak bisa datang, Ga," jawab Raka santai.
"Loh, kenapa? Lo nggak bilang ada gue?" tanya Arga, sedikit kecewa. "Makasih, Mbak," ucapnya pada pelayan saat kopi pesanan nya sudah datang. Ia menyesap kopi itu dengan nikmatnya.
"Udah gue bilang, tapi dia nggak bisa keluar. Istrinya lagi sakit." ujar Raka.
Arga langsung tersedak. Kopi yang baru saja diminumnya nyaris keluar dari mulutnya, membuat Raka terkesiap.
"Ga! Lo apaan sih, nyembur-nyembur kopi? Nih baju gue kena semua, tahu nggak!" protes Raka sambil meraih tisu dan mengusap noda di bajunya.
"Tunggu-tunggu... Apa tadi lo bilang? Istri?!" Arga menatap Raka dengan mata membelalak.
"Iya, istrinya. Dia udah nikah."
"Sejak kapan? Kok gue nggak tahu?" Arga terlihat syok.
"Sejak lo di Amerika. Kan gue udah coba hubungi lo buat ngabarin, tapi lo susah banget dihubungi."
"Oh iya, Waktu itu HP gue rusak. Baru sekarang gue ganti,” jelas Arga sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Pantes aja. Makanya gue nggak bisa ngabarin lo. Dan sekarang lo udah tahu, ya lo harus terima kenyataan kalau Vano udah nggak bisa bebas kayak dulu."
"Tapi serius, Ka? Dia nikahnya sama siapa? Gue kira, dia bakal selamanya jomblo. Abisnya dingin banget sama cewek,"
"Dia dijodohin."
"Di jodohin? Jaman sekarang emang masih ada yang kayak gitu?" Arga terkekeh.
"Iya, lah itu si Vano di jodohin, dan sekarang dia malah bucin banget sama istrinya."
"Hahaha, Vano? Bucin? Gila, gue jadi makin pengen ketemu dia," ucap Arga sambil tertawa puas.
🌸🌸🌸🌸🌸
Pagi itu, sinar matahari menerobos lembut melalui celah jendela, menyinari wajah Aqila yang masih terlelap. Ia mulai menggeliat pelan, lalu meraba sisi tempat tidur di sebelahnya. Namun, tidak ada apa pun di sana. Tangannya hanya menyentuh kain dingin.
Setelah beberapa saat, kesadarannya mulai pulih sepenuhnya. Aqila segera duduk dan memanggil, "Mas Vano! Mas!" Tapi hanya keheningan yang menjawabnya.
Ia melirik ke arah jam dinding, lalu matanya membelalak. "Astaga, sudah jam sembilan! Aku telat bangun! Mas Vano pasti sudah pergi kerja," gumamnya panik. Cepat-cepat ia turun dari tempat tidur dan melangkah keluar kamar.
Namun, langkahnya terhenti ketika aroma harum masakan menyapa indra penciumannya. "Eh, ini wangi masakan? Tapi siapa yang masak?" tanyanya bingung. Dengan rasa penasaran, ia segera menuju dapur.
Di sana, pemandangan tak terduga menyambutnya. Alvano berdiri di depan kompor, tampak sibuk memasak dengan wajah serius. Tangannya terampil mengaduk sesuatu di dalam panci.
"Mas Vano?" panggil Aqila pelan.
Alvano menoleh dan tersenyum lembut. "Qila? Kamu sudah bangun?" tanyanya hangat.
"Mas masak apa?" tanya Aqila sambil mendekat.
"Mas lagi bikin bubur buat kamu. Gimana perut kamu, masih sakit?" tanyanya penuh perhatian.
Aqila menggeleng sambil tersenyum kecil. "Udah nggak sakit lagi, Mas."
Alvano mengangguk lega. "Syukurlah kalau begitu," ucapnya sambil memindahkan bubur yang sudah matang ke dalam mangkuk. "Sekarang kamu makan, ya. Buburnya sudah jadi."
Ia mengajak Aqila duduk di meja makan, Lalu duduk di sampingnya. Alvano menyodorkan sendok berisi bubur ke arah Aqila, berniat menyuapinya. Namun, Aqila buru-buru menolak.
"Mas Vano nggak ke kantor?" tanya Aqila ragu. "Kenapa tadi nggak bangunin aku? Sekarang pasti Mas telat ke kantor," lanjutnya dengan nada bersalah.
Alvano tersenyum kecil. "Mas nggak kerja hari ini, Qila. Lagi pula, tadi Mas lihat kamu tidur nyenyak banget, jadi Mas nggak tega bangunin," jawabnya sambil kembali menyodorkan sendok ke arah Aqila.
"Tapi, Mas.."
"Qila, makan dulu, ya. Nanti baru kita bicara lagi," potong Alvano lembut.
Aqila akhirnya menurut. Ia membuka mulut dan menerima suapan dari Alvano. Matanya berbinar begitu bubur itu menyentuh lidahnya. "Wah, Mas, enak banget!" pujinya tulus.
Alvano tersenyum, merasa senang. "Mas senang kamu suka," ucapnya hangat.
"Ternyata Mas jago juga masak. Aku salah deh, kemarin sempat remehin Mas," ucap Aqila sambil tersenyum malu.
Alvano terkekeh. "Ah, ini biasa aja kok, Qila. Lagi pula, Mas bisa bikin bubur ini juga karena Mama. Dulu waktu kecil, Aku sering sakit, dan Mama selalu bikinin bubur ini. Karena rasanya enak, jadi aku minta mama ajarin cara masaknya."
Aqila mengangguk sambil tersenyum, terkesan mendengar cerita itu. Alvano melanjutkan menyuapi Aqila dengan penuh kesabaran.
"Ini suapan terakhir, ya," ucap Alvano terkekeh kecil sambil menyodorkan sendok ke arah Aqila.
Aqila membuka mulutnya, menerima suapan terakhir dengan senyum manis. Setelah selesai, ia menatap Alvano dengan penuh rasa syukur. "Makasih, Mas Vano."
Alvano membalas dengan senyum lembut. "Sama-sama, Sayang," ucapnya penuh kasih.
🌸🌸🌸🌸🌸
Aqila baru saja selesai mandi. Rambut panjangnya yang masih basah ia sisir dengan lembut di depan cermin. Namun, matanya sesekali melirik Alvano yang tampak serius bekerja di meja kerjanya. Pria itu terlihat sibuk dengan laptop dan beberapa tumpukan kertas di hadapannya.
Setelah selesai menyisir, Aqila berjalan pelan ke arah Alvano dan duduk di sampingnya. Ia menghela napas sejenak sebelum membuka suara. "Maaf ya, Mas."
Alvano mengangkat wajahnya, menoleh dengan kening berkerut. "Kamu kenapa minta maaf, Sayang?" tanyanya lembut.
Aqila menunduk, memainkan ujung rambutnya. "Karena aku, Mas jadi nggak pergi kerja. Bahkan sekarang harus kerja di rumah kayak gini. Aku ngerasa bersalah..."
Alvano tersenyum, menutup laptopnya sejenak, lalu meraih tangan Aqila. "Qila, kamu jangan ngomong gitu. Aku nggak merasa terganggu kok. Kamu jauh lebih penting buatku. Aku pengen jagain kamu. Lagi pula, kerja di rumah juga nggak masalah. Aku udah kasih tugas ke mahasiswa, dan pekerjaan kantor bisa aku urus dari sini."
Aqila merasa sedikit lega. "Mas kerja apa sekarang? Aku bantuin, ya?" tawarnya, ingin ikut meringankan beban suaminya.
Alvano terkekeh kecil. "Aku lagi bikin soal ujian untuk mahasiswa. Kamu mau lihat?" tanyanya sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
Aqila menerimanya dengan senang hati. Ia mulai membaca salah satu soal dengan penuh perhatian. Ia bergumam pelan, mencoba memahami.
"Bagaimana strategi diversifikasi dapat membantu perusahaan mengurangi risiko dalam menghadapi pasar yang tidak stabil? Jelaskan dengan contoh konkret."
Tanpa sadar, Aqila mulai berpikir dan menggumamkan jawabannya, "Diversifikasi itu penting, terutama untuk memperluas pasar dan tidak hanya bergantung pada satu produk atau layanan. Misalnya, perusahaan teknologi yang awalnya hanya fokus pada perangkat keras mulai mengembangkan perangkat lunak untuk menambah pendapatan. Dengan begitu, kalau satu sektor turun, sektor lainnya bisa menopang..."
Alvano menghentikan pekerjaannya, menatap Aqila dengan penuh kekaguman. "Qila... kamu jawab soal itu?" tanyanya terkejut.
Aqila menoleh bingung. "Iya, Mas. Kenapa?"
"Kamu sadar nggak? Jawaban kamu tadi benar banget. Kamu paham konsep diversifikasi bisnis!" Alvano berkata dengan mata berbinar.
"Hah? Yang bener, Mas? Aku cuma jawab asal aja, loh." Aqila tampak kebingungan.
Alvano tersenyum lebar. "Sayang, jawaban kamu itu nggak asal. Kamu ngerti inti dari strategi bisnis yang aku maksud. Kalau kamu jawab kayak gitu di ujian, pasti nilainya sempurna." Alvano tersenyum hangat.
"Ah mas Vano bisa aja.. " Aqila senyum malu- malu.
"Qila, kamu pintar. Kalau kamu punya pemahaman kayak gini, kenapa nggak lanjut kuliah aja?" Alvano berkata serius.
"Kuliah?" Aqila mengulang kata itu pelan, seolah asing di telinganya.
"Iya, Sayang. Sayang banget kemampuan kamu nggak dikembangkan lebih jauh," ujar Alvano penuh keyakinan.
Aqila menghela napas panjang. Wajahnya tampak murung. "Dulu aku juga pengen kuliah, Mas. Tapi waktu itu aku nggak ada biaya. Aku lebih milih kerja habis sekolah untuk bantu Kakak dan kebutuhan hidup keluarga kami."
Alvano mengangguk, mendengar kisah itu dengan penuh perhatian. "Kalau sekarang kamu mau kuliah, aku bisa bantu. Aku bakal kuliahin kamu."
"Maksud Mas gimana?" tanya Aqila bingung.
"Aku bakalan kuliahin kamu Qila, aku bakalan urus semuanya. Kamu bisa kuliah di Luminary Mahendra University," jawab Alvano antusias.
"Hah? Tapi, Mas, biaya masuk universitas itu kan mahal.." jawab Aqila ragu.
Alvano terkekeh, menggenggam tangan Aqila. "Sayang, kamu lupa? Aku ini anak pemilik kampus itu. Kamu kan menantu Papa. Masa kamu nggak bisa masuk? Lagi pula, aku yang akan tanggung semuanya. Kamu cukup fokus belajar."
"Tapi, Mas..."
"Qila, aku ingin kamu melanjutkan mimpi kamu. Kamu bisa lebih dari ini. Aku bakal dukung kamu sepenuh hati," ujar Alvano mantap.
Mata Aqila berkaca-kaca. Air mata jatuh perlahan di pipinya. "Makasih, Mas.. A-aku nggak tahu harus gimana balas semua kebaikan kamu." Suaranya Aqila bergetar.
Alvano segera menarik tubuh Aqila ke dalam pelukannya, memeluknya erat. "Aku nggak butuh balasan kamu, Sayang. Aku cuma ingin kamu bahagia." Ucapnya lembut.
Aqila membalas pelukan itu dengan erat. Ia merasa bersyukur memiliki suami seperti Alvano, yang selalu memperjuangkan kebahagiaannya.