NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 | Ryan Menggendongku

Ada keheningan sesaat di luar pintu sebelum suara Ryan terdengar lagi, kali ini lebih tegas, dengan nada yang menyiratkan kekhawatiran mendalam.

"Darah di hidungmu nggak bisa berhenti?!" tanyanya, aku bisa mendengarnya panik dari nada bicaranya.

Aku hanya mengangguk pelan, meskipun dia jelas tidak bisa melihatku dari balik pintu. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku, menambah rasa panik yang pelan-pelan merayap. Aku kembali menatap cermin, mencoba menghentikan aliran darah dengan tisu yang kutekan kuat ke hidungku. Tapi tubuhku terasa makin lemas, dan pandanganku mulai kabur.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana, tetapi suara pintu yang terbuka pelan membuatku tersentak.

Krek...

Ryan muncul dengan wajah serius, matanya langsung tertuju ke arahku.

"Maaf, aku masuk." Dia bicara singkat, seolah takut aku akan keberatan. Tapi, jujur saja, aku bahkan tidak punya tenaga buat protes.

Ryan berjalan mendekat dengan langkah cepat. Aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, entah apa, tapi sebelum sempat keluar, dunia terasa berputar. Tubuhku seperti kehilangan kendali, ringan dan rapuh.

"Hey, hey!" seru Ryan panik. Dia langsung menangkapku sebelum aku benar-benar jatuh ke lantai.

Sebelum aku sadar sepenuhnya, dia sudah mengangkatku, menggendongku dengan hati-hati. Tangannya yang kokoh menopang tubuhku seperti itu hal paling wajar di dunia, sementara aku hanya bisa tertegun.

"Aku bisa jalan sendiri..." protesku lemah, hampir seperti bisikan.

Aku mencoba bergerak, tapi otot-ototku seperti tak merespons sama sekali. Ryan menggeleng tegas, menatapku dengan ekspresi penuh tekad.

"Udah, jangan keras kepala. Aku nggak yakin kamu bisa jalan sampai ke UKS dalam keadaan begini."

Nada suaranya terdengar tenang, tapi aku bisa menangkap ketegangan yang dia coba sembunyikan. Seolah dia takut sesuatu yang lebih buruk akan terjadi kalau dia tidak segera membawaku ke UKS.

Aku menyerah. Tidak ada gunanya membantah ketika tubuhku bahkan nggak mau diajak kerja sama. Tisu yang kutekan di hidung mulai basah oleh darah, tapi aku berusaha keras agar tidak mengotori seragamnya.

Perasaan aneh menyelimutiku, campuran antara malu, canggung, dan sedikit... lega? Mungkin karena untuk pertama kalinya dalam situasi yang tidak pernah kusangka, aku tidak merasa sendirian.

Lorong sekolah yang biasanya terasa biasa saja kini terasa seperti panggung besar. Perjalanan ke UKS itu mungkin hanya beberapa menit, tetapi rasanya seperti selamanya. Setiap langkah Ryan menggema di pikiranku, menambah kesadaran bahwa aku sedang digendong.

Tatapan murid-murid yang berseliweran di lorong semakin memperparah kecanggunganku. Beberapa dari mereka berhenti melangkah, memandangi kami dengan penuh rasa ingin tahu. Bisik-bisik terdengar samar di sekitarku, tetapi aku terlalu lelah untuk peduli.

Ryan tetap berjalan dengan langkah mantap, tak memedulikan perhatian yang kami tarik. Aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya fokus membawaku ke tujuannya, ke tempat di mana aku bisa beristirahat dengan aman.

...»»——⍟——««...

Sesampainya di UKS, pintu yang biasanya terasa biasa saja kini seperti gerbang penyelamat. Ryan membuka pintu dengan bahunya, lalu perlahan menurunkanku ke ranjang di sudut ruangan. Tangannya tetap menopangku sampai aku benar-benar duduk dengan stabil.

"Kamu berbaring saja," perintahnya lembut, tetapi tegas. Dia mengambil tisu baru dari meja kecil di samping ranjang dan menyerahkannya padaku. "Ini, ganti tisunya. Biar aku cari petugas UKS yang sedang berjaga."

Aku mengangguk pelan, merasa terlalu lemah untuk mengatakan apa pun. Saat itu juga, seorang petugas medis memasuki ruangan dengan langkah cepat, membawa kotak pertolongan pertama di tangannya.

"Ya ampun, kenapa darah dari hidungmu deras sekali?" ucap petugas itu, suaranya terdengar cemas namun tetap profesional.

Aku mencoba tersenyum, tetapi hanya bisa mengerutkan dahi sedikit. Petugas itu segera memintaku duduk tegak di ranjang, menundukkan kepala, lalu memberikan kain bersih untuk menggantikan tisu yang sudah basah. Tangannya terampil saat membantuku menekan hidung dengan kain tersebut.

Ryan tetap di sisiku, tidak bergeming sedikit pun. Sorot matanya tajam, memantau setiap gerakan petugas medis itu, seolah memastikan aku benar-benar mendapat perawatan terbaik.

“Sepertinya kamu terlalu stres,” kata petugas itu setelah beberapa saat, suaranya lebih tenang. “Ingat, kamu harus banyak istirahat sekarang ini. Darahnya sudah mulai berhenti, tapi untuk berjaga-jaga, sebaiknya kamu periksa ke rumah sakit sepulang sekolah nanti, ya?”

Aku hanya mengangguk lagi, merasa sedikit lega meskipun tubuhku masih lemah. Napasku mulai stabil, dan perasaan pusing yang tadi mengganggu perlahan memudar. Petugas medis itu memberiku senyuman kecil sebelum meninggalkan ruangan, menyisakan aku dan Ryan sendirian di sana. Hening.

Ryan menatapku dengan ekspresi serius, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana seragamnya. “Aura, apa yang terjadi di kelas tadi?” tanyanya lembut, tetapi nadanya mengandung keingintahuan yang mendalam.

Pertanyaan itu menusuk langsung ke pikiranku. Aku menunduk, menatap kain yang kugenggam erat di tanganku.

“A-aku…” jawabku ragu, berusaha menyusun kata-kata.

Dalam hati, aku bertanya-tanya apakah Ryan melihat apa yang dilakukan Isabella kepadaku tadi, saat dia dengan santainya menyudutkanku hingga menjulurkan kakinya untuk menyandungku, kepalaku pusing memikirkan semua ucapannya.

“Kalau nggak mau cerita sekarang, nggak apa-apa,” potong Ryan tiba-tiba, seolah memahami keraguanku. “Tapi kalau ada yang bikin kamu sampai kayak gini, aku mau tau. Supaya aku bisa membantumu. Aku nggak mau diam, sementara ada orang yang menyakitimu.”

Kata-katanya membuatku tertegun. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang terasa tulus. Perlahan, aku mengangkat wajahku, menatap matanya yang penuh perhatian.

“Aku cuma… tersandung kaki meja,” jawabku setengah berbisik, meskipun tahu alasan itu terdengar seperti kebohongan. Aku mencoba tersenyum kecil, berharap dia tidak menekanku lebih jauh.

Ryan mengangguk pelan, tetapi aku bisa melihat dia tidak sepenuhnya percaya. Dia tidak memaksaku bicara lebih banyak, namun keheningan di antara kami berbicara banyak.

Setelah beberapa detik, Ryan menggeser kursi ke dekat ranjangku dan duduk. Dia bersandar ke belakang, tangannya terlipat di dada, tetapi ekspresinya tetap serius.

“Aura,” panggilnya pelan, membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Sepulang sekolah, mau aku antar ke dokter?”

Aku menatapnya lama, mencoba menangkap maksud dari tawarannya. Bukan hanya sekadar tatapan biasa, aku bisa melihat ketulusan di sana. Perasaan hangat yang aneh memenuhi dadaku, membuat rasa lemahku sedikit berkurang. Mungkin, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sendirian.

“Iya…” jawabku akhirnya, dengan suara pelan yang nyaris seperti bisikan.

Ryan tersenyum kecil, tetapi itu cukup untuk membuatku merasa lebih baik. Dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya mengangguk seolah menegaskan bahwa aku tidak perlu khawatir. Dalam hati, aku merasa lebih kuat dari sebelumnya, dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku mulai percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

...»»——⍟——««...

1
Bianca Angelie
🤷🏻‍♀️Demi apa sii tor ? baca dari senyum² sendiri berakhir dengan taburan bawang.. baru mo sedikit seneng ehh.. 😭 meng'sad amat sii nasibmu Ra
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)
yanah~
Mampir kak 🤗
Kalimat Fiktif
pokoknya ini novel anak muda bangettt sukaaaa sekali akuu
Kalimat Fiktif
serasa inget pas jaman sekolahan dulu hehe karakter Ryan mewakili banget
miilieaa
nyicil beberapa bab dulu yaa kak/Drool/
Binay Aja
semangat nulisnya maaf bacanya maraton soalnya lagi ada kesibukan. insyaallah lain kali tak baca secara seksama
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!