Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 20 Enzio Sakit
Malam itu, Hermawan baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang ketika suara gaduh dari ruang keluarga memaksanya bangkit lagi.
“Suara apalagi ini?”
Menghela napas panjang, pria paruh baya itu keluar kamar dengan langkah berat, sedikit berharap bahwa suara itu hanyalah televisi yang diputar terlalu keras.
Namun harapannya pupus saat ia mendapati dua cucunya–Adrian dan Reno, saling pukul hingga babak belur.
“Kalian berdua ini sebenarnya kenapa? Bukannya akur, malah saling pukul. Apa kalian tidak malu dengan umur?” seru Hermawan dengan nada kesal.
Adrian, yang pipinya memar, menunjuk Reno tanpa ragu. “Dia yang mulai, Kek.”
Reno langsung mendengus, darah di sudut bibirnya juga masih segar. “Aku? Mas masih berani menyalahkanku? Siapa yang tiba-tiba memukul begitu aku masuk rumah? Lihat sekarang, wajah tampanku jadi hancur! Padahal besok aku ada presentasi dengan klien bisnis!” Reno memelototi kakaknya. “Dan semua ini gara-gara kamu!”
“Itu karena kamu mencoba mendekati mantan istriku,” gumam Adrian tajam. Kalimat itu membuat Hermawan, yang baru saja hendak menyela, terdiam di tempat.
“Mantan istri?” Hermawan mengangkat alis, menatap Adrian dengan pandangan penuh tanya. “Untuk apa lagi kamu sibuk dengan mantan istri? Bukankah kamu sudah punya Laras? Bagaimana kalau dia salah paham?”
Adrian mendengus sambil melipat tangan. “Biar saja. Kalau dia mau salah paham, salahkan saja nasib. Tapi yang lebih menyakitkan adalah melihat si brengsek ini mendekati ibu dari anakku!”
Hermawan tertegun, tubuhnya menegang. Ia menatap Adrian dengan penuh kebingungan.
“Apa maksudmu, Adrian? Jangan bicara teka-teki. Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi.”
Setelah menarik napas panjang, Adrian akhirnya mengakui. “Kania... mantan istriku punya seorang putra, Kek. Namanya Enzio, dan dia anakku.”
Hermawan mengerutkan kening, emosinya bercampur aduk. “Jadi, kamu ingin mengatakan kalau selama ini aku punya cicit?” tanyanya.
“Iya, Kek.”
Mata pria paruh baya itu sedikit berbinar, namun amarah yang terpendam lebih menguasainya.
“Kamu menceraikan Kania hanya karena kesalahpahaman bodoh waktu itu, bukan?”
Adrian menunduk, tak berani menatap kakeknya.
Sementara itu, Hermawan berdiri dengan rahang mengeras.
“Aku ingat betul bagaimana keluarga Kania datang ke sini meminta penjelasan. Dan kamu, Adrian, hanya diam seperti pengecut. Lalu sekarang, kamu ingin mengambil anak itu dari ibunya?”
“Kek, aku ingin memperbaiki semuanya—”
Hermawan mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Adrian.
“Tidak. Aku tidak mau mendengar pembelaanmu. Biarkan Kania dan anak itu bahagia. Mereka tidak butuh dirimu lagi.”
“Kakek, dengarkan aku dulu!” seru Adrian.
“Besok, antar aku menemui Kania. Aku ingin bicara langsung dengannya,” tegas Hermawan sebelum menghilang di balik pintu.
Reno melirik Adrian, menahan tawa kecil. “Lihat, semua gara-gara kecerobohan mu, Mas. Kalau kamu diam saja, kakek tidak akan semarah ini.”
“Diam, bocah bau ingusan! Kamu tahu apa soal hidupku?” hardik Adrian.
“Aku tahu hampir semuanya, Mas,” balas Reno. “Kalau kamu terus bersikap begini, mungkin aku yang akan menikahi Kania. Dia lebih pantas bersama pria yang tidak plin-plan.”
Adrian mengepalkan tangan, menahan amarahnya. Reno hanya tersenyum tipis dan berlalu, meninggalkan kakaknya yang masih diam membeku di tempat.
***
Sementara itu, di apartemen, Kania sedang duduk di samping putranya yang terlihat tidak nyaman. Tubuh kecil bocah itu panas, membuat Kania semakin gelisah.
Kania merapikan rambut Enzio dengan lembut sambil berkata, “Sayang, kita ke dokter, ya?”
Enzio menggeleng kuat. “Zio nggak mau dokter, Ma. Zio mau om tampan!”
Kania menatap putranya sambil tersenyum kecil. “Om tampan pasti sudah tidur, sayang. Bagaimana kalau besok mama ajak Zio ketemu om tampan, tapi sekarang kita ke dokter dulu? Mau?”
Mata Enzio berbinar. “Mau, Ma! Tapi Zio nggak mau disuntik. Zio takut jarum suntik.”
Kania terkekeh sambil mengusap kepala putranya. “Iya, Sayang. Mama pastikan Zio nggak disuntik.”
Setelah menyiapkan barang-barang, Kania mengenakan jaket pada Enzio dan menggendongnya ke lantai bawah. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Adrian berdiri di depan pintu, wajahnya babak belur.
“Mas? Kamu kenapa?” tanya Kania, kaget sekaligus bingung.
Adrian menatap Kania dengan sorot mata penuh rasa bersalah. “Kalian mau ke mana?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Ke dokter. Badan Zio panas,” jawab Kania tanpa berniat berhenti. Ia berjalan melewati Adrian, namun pria itu segera menahan pergelangan tangannya dengan lembut.
“Biar aku antar,” ucap Adrian lirih. Tatapannya jatuh pada wajah Enzio, yang tampak lemah di pelukan ibunya.
Kania terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Hanya kali ini saja.”