Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Mira sudah bersiap dengan rapi sebelum turun dari kamarnya. Hari ini wanita itu akan menghadiri acara lelang lukisan untuk beramal.
"Mbak Ida kemana ya?" gumamnya saat tiba di lantai dasar. Biasanya asisten pribadinya itu sudah bersiap di sana.
"Hai, Tante sudah siap?"
Mira menoleh. Bukannya Ida, Mira malah melihat kemunculan Theo.
Apa yang cecunguk itu lakukan di sini?
Seolah dapat membaca pikiran Mira, Theo berkata lagi. "Hari ini aku yang akan mengantarmu."
"Gak perlu repot, ada Mbak Ida--"
"Asprimu itu sedang ijin hari ini, Tante."
"Biar sama supir saja."
Mira buru-buru melangkah untuk meninggalkan rumah, namun Theo sigap menangkap pergelangan tangannya.
"Bu Direktur sudah memberi ijin untuk kita pergi bersama. Lagipula ada sesuatu yang harus aku bicarakan, Tante."
Deg.
Seketika, pesan mesra yang tempo hari Mira baca itu, berkelebat dalam ingatan.
Mira hendak melepaskan diri. Namun sebelum itu terjadi, Theo terlebih dulu menarik tangan Mira. Memaksa wanita itu mengikutinya.
***
Kini keduanya sudah berada di dalam mobil.
Sesaat lagi, mobil sport berwarna putih itu akan melaju. Namun ia kemudian menoleh ke arah Mira. Pria itu lantas mencondongkan tubuhnya mendekati Mira.
Membuat jarak wajah keduanya hanya terpisah satu jengkal tangan. Namun sebelum menjadi semakin dekat...
"Jangan macam-macam atau aku akan teriak!" Mira menatap Theo tajam. Napasnya memburu berharap pria itu mengambil jarak dengannya.
Tetapi Theo hanya terdiam sambil menatapnya.
"Sudah kubilang, aku berbeda dengan Mira yang dulu! Bagaimana pun hubungan kita dulu, aku yang sekarang tidak mungkin menjalani hubungan seperti itu!"
Theo lantas mengangkat tangannya ke arah pipi Mira.
Wanita itu mengira Theo akan memegang pipinya. Ternyata tidak. Theo menarik sabuk pengaman dengan kencang, lalu memasangkannya pada Mira.
Astaga. Berarti tadi dia cuma mau memasangkan aku seatbelt? Ngomong dong.
"Memangnya di ingatanmu sekarang, hubungan kita seperti apa, Tante?"
Theo mulai mengemudikan mobilnya perlahan, keluar dari kawasan Graha Agung Paripurna.
"A-aku belum ingat."
"Lalu kenapa kamu selalu berusaha menghindariku? Kamu tahu, cuma kamu satu-satunya yang aku anggap teman di keluarga ini."
"Teman? Cuma teman?"
Theo menoleh sebentar, lalu mengangguk. "Tentu. Kita berteman sejak aku masih kecil. Kamu yang selalu menjagaku. Apalagi sebutannya kalau bukan teman?"
"Jadi kita bukan pasangan selingkuhan?"
Mobil berhenti mendadak. Rem berdecit nyaring. Mata Theo terbelalak.
Pria itu tampak kaget dengan pertanyaan Mira. Ia lantas berteriak hingga membuat Mira tersentak.
"Kamu GILA, Tante Mira?!"
***
Sedikit banyak Mira lega sudah meluruskan kesalahpahaman antara dirinya dan Theo. Hati kecilnya sedikit merasa bersalah pada Mira Mahalia. Bagaimanapun, ia sempat menuduh Mira Mahalia berselingkuh.
"Mari, saya perlihatkan lukisan yang nantinya akan kami lelang. Semua hasil lelang akan disalurkan untuk anak-anak korban genosida di negara P melalui Bratadikara Foundation."
Mira menoleh ke arah Nia, koordinator acara amal lelang lukisan hari ini. Wanita itu tengah menemani gerombolan sosialita, termasuk dirinya dan Theo, mengelilingi galeri untuk melihat lukisan yang terpajang di sana.
Mira sesekali tampak mengamati kaum konglomerat itu. Berusaha mempelajari gaya dan kata-katanya, supaya bisa ia terapkan sendiri. Mau bagaimana lagi, ia tidak mengerti tentang lukisan sedikit pun.
"Wah, yang ini lukisannya terasa sangat nyata. Sepertinya saya akan ikut lelang untuk lukisan ini," seru seorang wanita bersanggul besar.
Mira mengangguk-angguk. Tampaknya ia mulai tahu harus berkata seperti apa.
"Setuju, lukisan ini seperti berbicara pada kita, kesan bahagianya begitu terasa-"
"Itu lukisan tentang kehilangan," bisik Theo.
"M-maksud saya, kesan kesedihannya begitu terasa."
Mira menghela napas ketika melihat yang lain mengangguk setuju.
Supaya tidak berlama-lama di lukisan kehilangan tadi, Mira berusaha mengalihkan perhatian pada lukisan lain yang tak jauh dari situ.
"Nah, yang ini lukisannya sangat indah! Baru kali ini saya melihat ada karya sebagus ini. Luar biasa! "
Mira bertepuk tangan sambil mengamati lukisan itu. "Bagus ya?" katanya pada orang-orang di sekitar, yang mengangguk setuju.
"Tante baca dulu nama pelukisnya," bisik Theo lagi.
"Pelukisnya... " Mira mencoba membacanya dan tercekat. "Mira Mahalia..."
"... "
Tunggu! Ini lukisan Mira? Aku baru saja terlihat sebagai manusia narsis yang mengagumi karyanya sendiri?!
Mira mengamati orang-orang sekitarnya. Nia saja dibuat mati gaya tak bisa berkata apa-apa.
"Haha, bercanda! Supaya kalian tidak terlalu serius. Ya kan? Haha."
***
Theo tak berhenti tergelak berhadapan dengan Mira di salah satu meja kafe di dekat galeri lukisan.
Keduanya memutuskan untuk makan siang bersama usai acara lelang.
"Bisa berhenti menertawakan aku?" bisik Mira sambil melirik ke sekitar.
"Tante Mira yang dulu gak akan pernah bikin aku tertawa sampai menangis begini," Theo mengusap air matanya yang muncul karena tawa berlebihan. "Anyway thanks, sudah lama aku gak tertawa, Tante."
Makanan dan minuman yang dipesan datang.
Keduanya lantas mulai sibuk dengan makan siangnya masing-masing.
Sambil menyendok makanan, Theo menoleh ke arah Mira. Ia mendapati wanita itu tengah makan dengan lahap.
"Sekarang nafsu makanmu sangat meningkat dibanding dulu."
"Sengaja, supaya badanku sedikit berisi."
"Bawangnya dimakan juga?"
"Justru bawang-bawang ini yang membuat masakannya lebih sedap. Masak iya gak dimakan? Rugi dong," ucap Mira sambil melahap nasi goreng di hadapannya.
Theo memiringkan kepala.
Jelas masih teringat, Mira yang dulu selalu memisahkan bawang-bawangan ke pinggiran piring, sebelum dimakan. Katanya, Mira sangat tidak suka aroma bawang.
Ah, mungkin waktu yang berlalu bisa membuat orang mengubah selera makannya.
"Mira!"
"Hey, datang juga."
Theo menoleh kepada seorang pria yang baru saja muncul dari balik pintu kafe.
"Kenalin, ini temanku sekaligus penyanyi yang terkenal itu..."
Mira memperkenalkan Janu kepada Theo.
"Theo Maliq Bratadikara..."
"Januari."
"Nanti kamu pulang duluan saja, aku ada janji dengan dia," ucap Mira.
"Aku ikut," sahut Theo.
"Sayangnya gak ada yang mengajakmu."
"Saya gak keberatan kok," sergah Janu yang langsung dipelototi Mira.
"Mungkin tempat yang akan kami datangi, sama sekali tidak cocok denganmu, Theo." Mira terus berusaha membuat Theo menyerah.
"Maka itu akan jadi pengalaman baru untukku."
"Tapi kalian kan membawa mobil masing-masing? Masak mau barengan... "
"Mobilku tinggal di sini saja, nanti biar Rey yang ambil."
Haduh, salah besar bicara begini dengan cecunguk ini.
***