Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh Dua - Kamu Harus Selingkuh!
Amara terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya sudah jauh lebih enakan, karena semalam Alvaro benar-benar tidak menyentuhnya. Amara melirik suaminya yang masih pulas tertidur. Mungkin semalam dirinya sudah membuat kecewa suaminya, karena dia menolak di sentuhnya. Ada perasaan bersalah pada suaminya, akan tetapi mengingat perhatian suaminya pada Cindi hati Amara kembali sakit. Ada benarnya Amara tegas seperti semalam, tidak lemah dan selalu bertekuk lutut di depan Alvaro saat diberi sentuhan lembut oleh Alvaro. Amara langsung pasrah dan menikmatinya begitu saja.
Betapa bodoh dirinya, selalu menganggap semua selesai setelah bercinta, namun pada kenyataannya Alvaro terus mengulang-ulang hal yang sama, dia tidak bisa tegas pada Cindi dan Alea. Seakan mereka adalah prioritas utamanya.
“Jangan mau kalah dengan hawa nafsumu, Amara. Tetap begini, kamu tidak boleh merendahkan harga dirimu lagi. Meski kamu istrinya, tapi kamu salah jika menikmatinya, Alvaro hanya menganggap kamu pemuas hasratnya saja, karena hati dan pikirannya masih untuk Cindi, dan juga Alea!” rutuk Amara dalam hatinya.
Amara masih menatap wajah tampan suaminya. Amara akui dia sudah jatuh cinta pada suaminya, tapi entah suaminya bagaimana. Kalau sudah cinta tapi dia masih terus berhubungan dengan Cindi, tidak menghargai perasaannya sama sekali, seperti semalam, apa susahnya Alvaro menolak perintah Cindi semalam? Toh mereka sedang berada di rumah sakit, ada telefon bisa gunakan untuk meminta suster membantunya? Kenapa harus Alvaro? Kalau Alvaro tidak mencintainya, kenapa masih mempertahankan dirinya, bahkan Alvaro marah saat Amara masih meminum obat penunda kehamilan saat itu. Amara terpaksa tidak meminumnya lagi, daripada dia harus ribut dengan Alvaro, padahal dia masih belum siap kalau hamil, karena Alvaro masih belum melepaskan Cindi sepenuhnya.
Amara beranjak dari tempat tidurnya, dia tidak mau menatap suaminya lama-lama, apalagi jam sudah menunjukkan pukul enam pagi. Amara bergegas mandi, setelah selesai ia terpaksa memakai baju semalam untuk pergi bekerja, untung saja kalau di kantor Amara tidak memakai baju itu, karena ada seragam khusus untuk karyawan kebersihan.
Amara mengambil gagang telefon, lalu ia memesan sarapan untuk diantarkan ke kamarnya. Hari ini dia mau libur memasak, dia tidak mau repot-repot lagi, mungkin seterusnya akan begitu, jika Alvaro masih sangat peduli terhadap Cindi dan Alea.
Alvaro mengeliatkan tubuhnya, dia meraba tempat tidur disebelahnya, sudah tidak ada Amara di sana. Alvaro langsung tersingkap, ia takut Amara pergi, dan ternyata Amara sedang menikmati sarapan yang tadi ia pesan. Ia sengaja tidak membangunkan Alvaro, kalau pun sampai jam Amara akan pergi ke kantor Alvaro belum bangun, Amara akan pergi tanpa pamit dengan Alvaro.
“Kamu sudah bangun, Ra? Aku kira kamu pergi?” tanya Alvaro.
“Sudah, aku sudah bangun dari tadi, sudah mandi, sudah sudah pesan sarapan juga, ini lagi sarapan? Memang kalau aku pergi kenapa, Mas? Bukannya mas jadi bebas mau melakukan apa saja?” jawab Amara.
“Kamu masih marah soal semalam? Aku sudah jelaskan semua lho ra?”
“Aku gak marah, lebih tepatnya kecewa sih, Mas. Sudah aku gak mau bahas itu. Aku sudah selesai sarapan, aku mau berangkat, takut kesiangan,” ucap Amara.
“Aku antar!”
“Tidak perlu, barangkali mas mau menemui anak mas dan calon istri mas,” ucap Amara.
“Tolong jangan bicara begitu, Ra!”
“Kenapa? Memang mereka prioritas kamu, kan? Sudah aku berangkat, aku sudah pesan ojek online, lagian dekat dari hotel ini ke kantor aku?” pamit Amara.
“Amara, aku bilang aku akan antar kamu! Lagian kamu pakai baju kerja kemarin, kamu gak mau ganti?”
“Gak usah, aku bisa berangkat sendiri, aku bukan seperti Cindi, yang apa-apa serba kamu! Masalah baju, nanti aku minta Dewi bawakan baju dia, aku pinjam!”
Amara langsung pergi, tanpa mencium tangan suaminya itu. Jujur saja di dalam hati Amara tidak tenang, dia langsung pergi begitu saja, tanpa mencium tangan suaminya, padahal suaminya sudah bangun. Biasanya Amara tidak mencium tangan suaminya saat berangkat kerja, karena suaminya masih tertidur, atau suaminya berangkat ke kantor lebih dulu.
Amara sudah berada di lobi hotel. Dewi sudah menjemputnya. Amara padahal minta dijemput oleh Dewi, bukan naik ojek online, karena dia ingin pinjam baju milik Dewi untuk ke kantor. Amara langsung masuk ke dalam mobil Dewi.
“Kamu ini kenapa sampai tersesat di hotel, Ra?”
“Suamiku ngajakin nginep di sini!” jawabnya kesal.
“Kau semalam melakukannya?”
“Tidak! Aku sebisa mungkin menahan untuk tidak terbuai bujuk rayunya lagi. Aku tidak mau terus-terusan dibodohi perasaanku yang tak pernah dirasakan oleh suamiku,” jawab Amara.
“Good girl!” puji Dewi. “Sudahlah cerai saja, atau kamu jalan deh sama laki-laki lain, biar kamu gak terpengaruh sama suamimu terus! Suami macam itu untuk apa dipertahankan sih, Ra?”
“Aku gak mau membalas api dengan api, Wi! Sama saja aku menjatuhkan martabatku sebagai perempuan kalau aku selingkuh?” ucap Amara.
“Daripada kamu jadi bodoh dan diinjak-injak harga dirimu oleh suamimu karena cinta? Lebih baik martabat kamu jatuh karena selingkuh, daripada kamu harus menjatuhkan harga dirimu di depan suamimu yang tidak cinta sama kamu! Cinta gak segoblok dan setolol itu, Ra! Sudahlah kalau sudah gak dihargai mending sudahi saja! Apalagi kakak ipar kamu modelan begitu! Kamu cerai saja sama suamimu, nanti cari kerja yang benar, atau aku rekomendasikan kamu sebagai chef atau koki di restoran kakakku! Masakan kamu enak lho?” ucap Dewi.
“Aku gak tahu harus gimana, Wi. Aku cinta sama suamiku,” ucapnya lirih.
“Itu, itu yang bikin repot. Cinta kok sama orang yang gak bisa balas cinta kita? Sudah aku dukung kamu selingkuh! Atau cerai saja cerai!” ucap Dewi dengan antusias.
“Kamu ini ih! Bikin aku tambah pusing tau!”
“Sudah sana ganti baju dulu, aku mau isi bensin, kamu ganti baju di toilet! Aku gak mau tahu, Ra! Lama-lama aku jodohin kamu sama kakakku yang jomlo dari lahir, sampai sekarang dia gak mau kawin-kawin! Sudah ini keputusnaku!”
“Enak saja kamu memutuskan sepihak gini? Aku istri orang, Wi!”
“Gak peduli ya gue, Ra! Mau lo istri orang kek, apa kek! Lo harus punya pandangan cowok lain, Ra! Tinggalkan suami dan keluarga suamimu yang toxic itu!”
“Aku capek ah dengar kamu!”
Amara keluar dari mobil Dewi, dia langsung ganti pakaian milik Dewi. Untung saja ukuran baju Dewi dan Amara sama. Jadi Amara mudah untuk pinjam sama Dewi. Amara masih memikirkan ucapan Dewi tadi. Ada benarnya juga, daripada dia terus menjadi wanita penghibur suaminya yang tak pernah menghargainya, lebih baik dirinya punya selingkuhan.
“Ah itu gak benar, Ra! Selingkuh tetap saja salah! Tapi kamu terlalu pasrah juga salah, Amara!” rutuk Amara dalam hatinya.