Hampir separuh dari hidupnya Gisell habiskan hanya untuk mengejar cinta Rega. Namun, pria itu tak pernah membalas perasaan cintanya tersebut.
Gisell tak peduli dengan penolakan Rega, ia kekeh untuk terus dan terus mengejar pria itu.
Hingga sampai pada titik dimana Rega benar-benar membuatnya patah hati dan kecewa.
Sejak saat itu, Gisel menyerah pada cintanya dan memilih untuk membencinya.
Setelah rasa benci itu tercipta, takdir justru berkata lain, mereka di pertemukan kembali dalam sebuah ikatan suci.
"Jangan sok jadi pahlawan dengan menawarkan diri menjadi suamiku, karena aku nggak butuh!" ucap Gisel sengit
"Kalau kamu nggak suka, anggap aku melakukan ini untuk orang tua kita,"
Dugh! Gisel menendang tulang kering Rega hingga pria itu mengaduh, "Jangan harap dapat ucapan terima kasih dariku!" sentak Gisel.
"Sebegitu bencinya kamu sama abang?"
"Sangat!"
"Oke, sekarang giliran abang yang buat kamu cinta abang,"
"Dih, siang-siang mimpi!" Gisel mencebik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 25
Rega tertegun mendengar jawaban menohok dari sang istri.
"Kenapa diam? nyesel udah nawarin pernikahan sama aku karena kemungkinan besar aku udah nggak perawan lagi? Toh mau perawan atau enggak, nggak akan ngaruh sama pernikahan ini," ucap Gisel.
"Abang diam karena abang tahu kamu bohong. Jangan merendahkan harga dirimu hanya untuk membuat abang kesal. Karena itu nggak akan berpengaruh apa-apa. Sekalipun yang kamu katakan tadi benar," ucap Rega.
Gisel mendengus sebal. Ia ingin membuat Rega kesal, eh malah dia yang di bikin kesal dengan jawaban Rega.
"Ayo! Mama papa udah nunggu di bawah!" Karena Gisel hanya diam, Rega menarik tangannya.
"Ih lepasin! jangan pegang-pegang!" sentak Gisel memberontak. Namun, bukannya melepaskan, Rega justru semakin erat menggengamnmya," Lebih dari sekedar memegang tanganmu saja harusnya abang boleh melakukannya," ucapnya santai. Yang mana membuat Gisel mencebik.
"Itu hanya untuk pernikahan yang diinginkan," ucap Gisel kemudian.
Rega berhenti, otomatis Gisel juga ikut berhenti. Pria itu menoleh, "Bukannya ini juga pernikahan impian kamu?" tanyanya.
"Mungkin dulu iya, tapi sekarang tidak. Lepasin!" Gisel menghentakkan tangannya. Rega terpaksa melepasnya.
Gisel berjalan mendahului Rega, tak lupa ia menyenggol lengan Rega kasar. Rega hanya menggelengkan kepalanya, entah sudah berapa kali hari ini ia di tubruk atau di senggol seperti ini oleh wanita yang baru baru beberapa jam menjadi istrinya tersebut.
''Kita akan lihat sampai mana kamu akan menguji kesabaran abang. Abang akan buat kamu jatuh cinta lagi sama abang. Jatuh jatuh-jatuhnya, hingga kamu melupakan rasa sakit yang pernah abang berikan," gumam Rega sembari berjalan mengikuti sang istri.
''Coba saja kalau bisa, atau aku akan buat kamu menyerah sebelum berhasil melakukannya," batin Gisel yang ternyata mendengar gumaman Rega.
Di meja makan, mereka di sambut dengan senyuman hangat dari Amel dan David.
Dengan semangat, Amel menawarkan menu makanan ini dan itu demi menyambut Gisel di rumah tersebut.
" Nggak perlu, ma. Gisel bisa ambil sendiri, mama ambilin buat papa aja," sahut Gisel saat Amel ingin mengambilkan makanan untuknya.
Amel menoleh kepada suaminya, lalu meringis, saking senangnya akan keberadaan Gisel di rumah itu, ia malah lupa melayani suaminya.
"Lihat, pesona papa di kalahkan sama menantu papa, mamamu sampai lupa mana yang harus di dahulukan," ucap David bergurau tentunya.
"bukan begitu, sayang. Aku Hanya terlalu senang, kau tahu itu," Amel mengambil piring di depan David lalu mengmbilkannya nasi beserta lauk kesukaan suaminya.
''Saat senang, kau selalu mengabaikanku,'' keluh David.
"Jangan bilang begitu, nanti kuabaikan beneran baru tau rasa, cepetan makan!" omel Amel.
Rega masih diam ditempat tanpa pergerakan. Padahal Gisel sudah asyik mengunyah makanannya. Wanita itu lalu menatapnya, "Kenapa? mau di layani juga?" tanyanya.tak di sangka Rega menjawab, yang mana jawabannya membuatnya terpojok.
''bukannya seharusnya begitu?" sahut Rega. Ia melihat ke arah David, supaya Gisel paham maksudnya. Rega juga ingin dilayani seperti papanya.
Gisel melihat kepada David dan Amel yang menatapnya. Padahal ia ingin mengumpat, tapi tidak bisa.
"Siniin piring kam...'' Gisel kembali menoleh pada mertuanya,"Siniin piring abang!" ia segera merapat panggilannya.
Rega tersenyum, ia mengangkat piring di depannya dan memberikannya pada Gisel.
Tanpa bertanya apa yang ingin dimakan oleh sang suami, gisel asal mengambilkan makanan yang ada.
"Sel, Rega nggak makan ped..." Amel hendak mengingatkan, namun Rega segera memberi isyarat untuk tidak melakukannya. Apapun yang Gisel berikan akan ia makan. Mungkin gisel lupa kalau Rega tidak bisa makan pedas. Atau wanita itu sengaja melakukannya, Rega tak peduli
Rega melahap makanan yang Gisel berikan
Sampai habis tanpa sisa. David dan Amel hanya bisa saling pandang, mereka pikir Rega akan menghindari yang pedas dan menyisakannya di piring, tapi ternyata tidak.
"Are you okay, boy?" bisik David yang duduk lebih dekat dengan Rega. Rega hanya mengangguk. Yang mana membuat Gisel sedikit curiga, tapi kemudian masa bodoh.
.
.
.
Selesai makan malam, Rega dan Gisel langsunng kembali ke kamar mereka. Sesampainya di kamar, Rega langsung menuju ke toilet. Perutnya yang tidak bisa makan pedas, mulai menujukkan reaksinya.
Awalnya Gisel tak peduli, karena ia pikir itu hanya panggilan alam biasa. Tapi, semakin larut, Rega terus melakukannya sampai beberapa kali, barulah dia penasaran.
''Kenapa sih? sesayang itu sama toilet sampai bolak-balik ke sana? aku mau tidur, jadi keganggu," ucap Gisel. Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa, tapi terlalu gengsi nanti dikira peduli.
''Abang nggak bisa makan pedas, jadinya begini. Maaf kalau ganggu kamu," sahut Rega.
Mendengarnya, gisel yang sudah berbaring di ranjang, langsung bangun lagi,"kenapa nggak bilang tadi? kalau gini kan, papa mama past mikir aku sengaja,'' ujar Gisel. Pasti dikira dia mau meracun suaminya, pikir Gisel.
"Abang pikir kamu sengaja melakukannya, padahal kamu tahu abang tidak bisa makan pedas dari dulu," ucap Rega.
Gisel hendak protes, karena dia benar-benar tidak sengaja melakukannya. Tapi dia urungkan, biar saja Rega berpikirnya begitu,pikirnya.
"Aku panggilan dokter!"
" Nggak usah, udah enakan kok, nggak usah khawatir,"
"Siapa juga yang khawatir," cebik Gisel. Ia kembali merebahkan diri di ranjang.
Rega mendekati ranjang lalu merangkak naik.
Dugh! Refleks Gisel menendang suaminya hingga terjetuh ke lantai karena Rega tidak siap mendapat serangan mendadak tersebut.
"bar-bar banget, sih dek?" ucap Rega. Mana perutnya masih belum sembuh, di tambah di tendang.
"Lagian mau ngapain, sih?" tanya Gisel.
"Mau tidur, emangnya mau apalagi?" sahut Rega.
"di sini? seranjang?" tanya Gisel.
Rega mengangguk, "Apa salahnya? kita suami istri wajib tidur satu ranjang," ucap Rega.
Gisel langsung bangun, "kamu yang mewajibkannya! silakan tidur di sini, biar aku cari kamar lainnya aja!" di kamar itu memang ada sofa, tapi Gisel tentu tidak mau tidur di sana, badannya bisa sakit semua.
Gisel keluar kamar untuk meminta kunci kamar tamu pada bibi atau siapapun yang ia temui nanti. Dengan cepat Rega menyusulnya," tidur di dalam, dek, ini udah malam semuanya udah pada tidur," ucapnya.
"Nggak mau! Udah sana kalau mau tidur" tolak Gisel.
Tak ingin berdebat lagi dan menimbulkan keributan, Rega langsung menggendong tubh Gisel untuk di bawa kembali ke kamar. gisel terus memberontak minta di turunkan. Ia memukul-mukul punggung Rega dengan tangan kanannya. Namun, sama sekali tak berpengaruh.
Sesampainya di kamar, barulah Rega menurunkan Gisel di atas ranjang. Ia memaksa Gisel berbaring lalu menyelimuti nya,"Tidurlah di sini, biar abang tidur di sofa," ucapnya.
Rega langsung menjauh dari ranjang dan merebahkan diri di sofa dengan berantalkan tangan kanannya.
Bugh!
Gisel melempar bantal ke arah Rega tanpa kata. Rega tahu, masih ada rasa peduli dari wanita itu. Ia mengambil batal itu lalu ia gunakan.
"Jangan berpikir macam-macam. Aku cukup tahu diri karena ini kamarmu," ucap Gisel yang kesal melihat senyum di bibir Rega yang terpejam. Karena senyum itu yang selalu mampu meluluhkannya dulu.
"Iya, abang tahu," sahut Rega tanpa membuka matanya.
...****************...