Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Yang Aneh
“Kalau begitu, sebaiknya Bapak berobat di Poli internis, Pak. Biar bagian dalam tubuh Bapak, terutama hati, bisa diperiksa dan diobati.” Ucap Mumu dengan tenang.
Ia berusaha menjaga agar percakapannya tetap berada dalam ranah profesional. Namun, pria di hadapannya menampilkan ekspresi yang berbeda.
“Tak ada gunanya, Dok.” Balas pria itu dengan nada yang datar, namun jelas ada emosi di baliknya.
“Sakit 'hati' ini hanya bisa sembuh dengan bantuan Dokter Mumu secara pribadi.”
Ada sedikit penekanan saat dia menyebut nama Mumu.
Kata-kata itu membuat Mumu waspada.
Ia tahu bahwa yang dimaksud oleh pria itu bukan sekadar sakit fisik di hati, melainkan ada makna lain di balik ucapannya.
Mumu dapat merasakan, dari nada suara dan sikap pria tersebut, bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
Entah bagaimana ceritanya, pria ini merasa marah atau tersinggung karena Mumu sehingga dia ingin melampiaskan emosinya kepada Mumu.
Mumu menarik napas pelan. Situasi seperti ini memerlukan kehati-hatian.
Ia tidak ingin memicu lebih banyak ketegangan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan perasaan negatif mengganggu suasana ruang praktiknya.
Dengan tenang, ia berkata,
“Kalau memang seperti itu, bisakah Bapak mengalah dulu terhadap pasien lain?"
"Biarkan mereka berobat dulu. Setelah semuanya selesai, tentu saja saya akan ‘mengobati sakit hati Bapak' dengan sungguh-sungguh.”
" Saya suka bicara dengan orang yang cerdas seperti Pak Dokter ini."
Pria itu menatap Mumu tanpa berkedip.
Tatapannya tajam namun, Mumu tetap tenang.
"Terima kasih atas pujiannya, Pak. Saya merasa sangat tersanjung."
“Oh ya, silahkan Bapak tentukan saja di mana tempat kita bertemu nanti..." Lanjut Mumu dengan suara yang lembut namun tegas.
“Nanti saya akan datang dan kita bisa menyelesaikan ini dengan cara yang baik.”
Pria itu terdiam sesaat, seolah sedang merenungkan apa yang baru saja diucapkan oleh Mumu.
“Saya sudah menunggu sangat lama, Dok.” Ujarnya akhirnya, dengan nada yang masih dingin. “Dan saya tidak suka menunggu lebih lama lagi.”
“Saya mengerti, Pak.” Kata Mumu, tetap menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Namun, ada pasien lain yang membutuhkan perawatan juga. Jika Bapak bersabar sedikit saja, saya akan memberikan perhatian penuh kepada Bapak."
"Kita bisa berbicara lebih lanjut, dan saya akan mendengarkan apa yang menjadi 'keluhan' Bapak.”
Pria itu menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit perubahan dalam sikapnya.
Ketegangan di wajahnya sedikit mereda, meski tatapan tajamnya belum sepenuhnya hilang.
Dia tampak ragu-ragu sejenak, seperti sedang mempertimbangkan apakah akan terus menekan Mumu atau memberikan sedikit ruang.
“Baiklah.” Akhirnya pria itu mengangguk pelan, meskipun nadanya masih penuh ketegangan.
“Tapi saya berharap, Dokter menepati janji. Karena saya tidak punya waktu untuk bermain-main.”
Mumu mengangguk dengan penuh kesabaran.
“Tentu saja, Pak. Saya akan menepati janji saya. Setelah semua pasien selesai, saya akan menemui Bapak, dan kita bisa berbicara dengan lebih tenang.”
Pria itu berdiri dari kursinya. Sekali lagi, dia menatap Mumu dengan intens, seakan ingin memastikan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh Mumu benar-benar tulus dan dapat dipercaya.
“Saya akan menunggu, Dok.” Ucapnya sebelum berjalan keluar dari ruangan.
Langkahnya tetap tenang, tetapi atmosfer di sekitarnya terasa lebih dingin.
Begitu pria itu meninggalkan ruangan, Mumu menghela napas panjang.
Ada sesuatu yang aneh tentang pria tersebut, dan ia yakin bahwa pertemuan berikutnya tidak akan berjalan dengan lancar
Ia dapat merasakan bahwa pria itu membawa beban emosional yang besar, dan entah bagaimana, Mumu terlibat di dalamnya, meskipun ia belum sepenuhnya memahami alasannya.
Mumu kembali fokus pada pasien berikutnya, tetapi dalam benaknya, ia terus memikirkan pria yang baru saja pergi.
Ada perasaan tidak nyaman yang menggelayuti pikirannya.
Masalah istrinya Erna belum selesai kini ditambah masalah baru.
...****************...
Aditya sedang sibuk di mejanya ketika Dara, seorang CS yang belum terlalu lama bekerja di sini datang mendekatinya.
"Pak Aditya, Buk Erna memanggil Bapak di ruangannya." Kata Dara dengan nada meyakinkan.
Aditya mengernyit heran.
"Buk Erna memanggil saya? Untuk apa ya?"
"Saya tidak tahu, Pak. Tapi beliau bilang sebaiknya Bapak segera ke ruangannya." Jawab Dara sambil tersenyum tipis.
Meskipun merasa aneh, Aditya memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"Baiklah kalau begitu, saya akan ke sana."
Setelah merapikan sedikit dokumen di mejanya, Aditya berjalan menuju ruang Buk Erna, pimpinan yang dihormati di kantor itu.
Sesampainya di depan pintu, dia mengetuk pelan,
"Tok, tok."
"Masuk." Jawab suara Erna dari dalam ruangan.
Aditya membuka pintu dan melangkah masuk.
"Eh, Pak Aditya, kenapa anda ke sini?"
"Katanya Ibuk memanggil saya."
Erna tampak bingung. Dia baru saja sibuk dengan pekerjaannya dan merasa tidak memanggil siapa pun.
"Memanggil Anda? Saya tidak merasa memanggil anda, Pak Aditya..."
Namun, sebelum Erna bisa melanjutkan perkataannya, tiba-tiba dia merasakan nyeri di perutnya.
"Aduh..." Desisnya, menahan rasa sakit yang datang tiba-tiba. Wajahnya berubah pucat, dan dia memegangi perutnya dengan kedua tangan.
"Eh, ada apa, Buk? Ibu baik-baik saja?" Aditya langsung mendekat dengan khawatir.
Melihat kesempatan yang dinantikannya, Purnama yang diam-diam mengintip dari celah pintu, dengan cepat mengambil ponselnya.
Dia merekam dan mengambil beberapa foto adegan tersebut.
Dengan licik, Purnama memastikan bahwa gambar-gambar itu terlihat seperti Aditya dan Buk Erna sedang dalam posisi yang mencurigakan, seakan-akan ada kedekatan fisik yang tak seharusnya.
Erna masih tampak kesakitan, sementara Aditya kebingungan.
Dia tidak tahu harus berbuat apa selain menunggu hingga Erna merasa lebih baik.
"Buk, saya panggil bantuan ya?" Kata Aditya, bersiap untuk keluar dan mencari pertolongan.
Namun, Erna segera menahannya dengan isyarat tangan.
"Tidak... tidak usah. Saya hanya perlu istirahat sebentar."
"Kalau memang begitu, saya keluar dulu, Buk."
Sementara itu, Purnama puas dengan hasil rekamannya. Dia tahu betul bagaimana memanipulasi gambar-gambar itu untuk membuatnya terlihat jauh lebih buruk daripada yang sebenarnya.
Ini adalah bagian dari rencananya yang jahat untuk menghancurkan rumah tangga Erna dan Mumu.
Dia yakin bahwa foto dan video tersebut akan menjadi senjata yang ampuh untuk menghancurkan rumah tangga Mumu.
Purnama tersenyum licik. Setelah mengedit dia langsung mengirimkan foto dan video tersebut ke nomor Mumu menggunakan nomornya yang satunya lagi.
Karena nomor kontak Purnama yang lama sudah diblokir oleh Mumu saat Purnama pernah mengirim berbagai pesan mesra kepada Mumu pada waktu itu.
Dalam pada itu, Mumu baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap pergi untuk menemui pria yang sepertinya punya masalah dengan dirinya.
Tiba-tiba handphonenya bergetar pertanda ada pesan masuk.
Mumu mengharapkan itu adalah pesan dari Erna. Tapi ternyata bukan.
Pesan itu lagi-lagi dari nomor yang tidak ia kenali yang sudah pernah mengirimkan beberapa foto sebelumnya.
"dug dug dug..."
Jantung Mumu berdebar kencang dan wajahnya sontak berubah saat melihat isi pesan tersebut.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...