Cerita ini menggabungkan komedi, horor dan bahkan intense romance di dalam penceritaannya. Mengenai seorang laki-laki bernama Dihyan Danumaya yang selalu merasa bahwa dirinya tidak beruntung, bahkan pecundang. Keadaan keluarganya yang sebenarnya biasa saja dirasa harusnya lebih baik dari seharusnya. Tampang ayahnya yang bule, dan ibunya yang campuran Jawa klasik serta Timur Tengah, seharusnya membuat dia menjadi sosok tampan yang populer dan banyak digemari wanita, bukannya terpuruk di dalam kejombloan yang ngenes. Sampai suatu saat, ia menemukan sebuah jimat di rumah tua peninggalan kakeknya yang berbentuk keris Semar Mesem tetapi beraksara Cina bukannya Arab atau Jawa. Tanpa disangka, dengan pusaka ini, Dihyan memiliki kemampuan masuk ke dalam mimpi perempuan manapun yang ia inginkan secara gaib serta mengatur jalan cerita sekehendak hati. Ia menjadi seorang penguasa mimpi yang menggunakan kekuatannya demi segala hasrat yang terpendam selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Septiani
Di dalam perjalanan mereka ke makam orang tua Centhini, pandangan mata Dihyan berserobok dengan seorang gadis Tionghoa yang sedang menyapu pekarangan. Kalau tidak ada sesuatu yang istimewa pada gadis itu, tentu tak membuat Dihyan memperhatikannya.
Ajun berteriak ke arah sang gadis yang mendadak tersentak. Gadis itu memang sedang saling bertatapan dengan Dihyan.
Ajun menggunakan bahasa Khek untuk mengajak gadis itu untuk pergi berangkat bersama mereka ke makam.
“Ayan, xiao Bong, itu keponakan kalian, bulan depan lulus sekolah dia. Septiani namanya. Anak cece itu,” seru Ajun.
Gila, jadi semua keluarga Centhini cantik-cantik? Ujar Dihyan di dalam hati.
“Ce, aku dipanggil Ayan, Cece Juninda dipanggil Ajun. Kalau Septiani Asep dong?” ujar Dihyan.
Centhini, Martha dan Ajun tertawa.
“Harusnya begitu sih ho. Tapi dia dipanggil Ani,” ujar Ajun sembari terkekeh.
“Wah, curang,” protes Dihyan.
“Lah, cantik-cantik gitu masak namanya Asep,” ujar Centhini kemudian.
Septiani, Ani, meletakkan sapu lidinya, kemudian berjalan cepat ke arah rombongan.
“Ani a, ini Ayan, xiao Bong, asuk dan jijinya nyi,” ujar Ajun memperkenalkan Dihyan dan Centhini sebagai paman dan bibi dari Septiani.
Ani tersenyum malu-malu, menunduk-nunduk, kemudian menjabat tangan Centhini dan Dihyan. Terlihat sekali ia begitu malu ketika telapak tangannya digenggam oleh Dihyan. Wajahnya memerah, rambut panjangnya yang dikuncir begitu saja jatuh di bagian depannya dengan alami.
“Nah, kalau ini, Kung Kung Ben dan Pho Pho Maryam. Itu, yang ngai cerita, yang keluarga ceritakan juga dari dulu.” Ajun memperkenalkan Ani dengan kakek Ben dan nenek Maryam, karena memang hitungannya keduanya sudah merupakan kakek dan nenek.
Dihyan tak lepas-lepasnya memperhatikan Ani yang terlihat sopan, malu-malu menyalami Benjamin dan Maryam. Ini malah membuatnya gemas. Ada apa dengan udara dan atmosfir Kalimantan? Pikir Dihyan. Mengapa ia bisa begitu sepercaya diri ini. Selain itu, jiwa kelelakiannya meledak-ledak. Bahkan ia tak sungkan-sungkan melirik dan mencuri-curi pandang pada sepasang paha putih mulus dan ramping – Ani mengenakan celana pendek, pinggul Ani yang langsing, serta sepasang dadanya yang terlihat penuh dan ranum itu. Keringat menempel di pelipis dan dagu Ani, mengingatkannya kepada Stefani Indri.
Ah, mendadak udara menjadi gerah. Ada yang mendesak di pangkal paha Dihyan demi membayangkan hal ini.
Dihyan tak tahu apa-apa. Ia tak sadar dengan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Hal apa yang sudah ia langgar. Kejadian apa yang sudah ia tantang.
“Maaf, semua. Saya ganti baju dulu ya, kurang sopan kalau mau ke makam Akung dan Apho.” Ani kembali melirik ke arah Dihyan. Walau hanya sepersekian detik, Dihyan tahu bahwa ada rasa yang bertebaran di angkasa.
Sepanjang jalan ke bukit, rombongan ini dapat melihat hamparan ladang berumput yang luas. Sudah terlihat kompleks pemakaman di atas sana, tetapi sudah ada satu dua kuburan Cina yang lebih sederhana. Di kiri jalan setapak yang mereka lalui, Ajun menunjukkan dan menjelaskan tentang ladang pisang dan pepaya milik suaminya.
Lagi-lagi, pandangan Dihyan dan Ani berserobok. Gadis itu langsung menunduk malu. Ia kini sudah mengenakan pakaian yang lebih ‘sopan’, dengan hanya mengganti celana pendeknya dengan celana panjang.
Dihyan mencoba memutuskan sesuatu yang penting. Terlebih dahulu ia mencubit keras-keras tangannya. Terasa sakit. Mungkin terlalu sakit karena ia mencubitnya terlalu keras.
Namun, ia sekarang yakin bahwa ia sedang tidak bermimpi.
Ajun dan Martha sedang sibuk menjelaskan hal ini dan itu kepada Centhini dan Bapak Ibunya. Awalnya, Dihyan juga berada di baris depan, tetapi lama-kelamaan pembicaraan mereka dianggap terlalu membosankan. Ia pusing mendengar runutan hubungan keluarga, silsilah, dan segala tetekbengek yang berkaitan dengan keluarga. Bagi Centhini ini sudah pasti penting. Tapi, tidak baginya.
Maka, Dihyan memperlambat jalannya, kemudian berjalan di belakang. Ani ada di depannya.
“Ehm … Ani, rencana mau kuliah dimana?” tanya Dihyan dari balik punggung Ani.
Gadis itu sedikit tersentak. Tetapi ia memandang ke belakang, kemudian ikut memperlambat laju jalannya.
“Eh, belum tahu, Suk,” jawab Ani. Suaranya merdu di telinga Dihyan.
“Sebenarnya agak aneh sih aku dipanggil Asuk. Om atau paman gitu kan artinya? Kayak tua banget gitu. padahal kita nggak jauh umurnya. Aku masih kuliah, kok,” ujar Dihyan.
Ani tersenyum. Sepasang matanya sipit, setipe dengan Centhini. Sepasang pipinya memerah. Ani menunduk. “Habisnya mau gimana wa, Suk. Asuk Ayan kan memang hitungannya om aku.”
“Aduh, Asuk Ayan lagi. Namaku kan Dihyan. Tapi, kalau Adih juga aneh, iya nggak sih?” ujar Dihyan seperti berbicara sendiri.
Ani tertawa melihat tingkah Dihyan. Sepasang matanya bersinar ceria.
“Memangnya penginnya kamu mau kuliah di jurusan apa?” lanjut Dihyan, mengulangi topik yang sama.
“Ehm … apa ya, Suk. Aku sukanya sih seni gitu. Suka desain dan gambar-gambar. Tapi kayaknya nggak mungkin deh.”
Dihyan mengernyit dan memandang Ani dengan intens. “Lah, kenapa memangnya?”
“Takut nggak jelas masa depannya. Aku kan harus kerja, Suk. Yang jelas-jelas aja deh. Ekonomi gitu, biar bisa bisnis, jualan, atau kerja di perusahaan.”
Dihyan hendak protes. Namun, ia malah menghela nafas. “Tahu nggak, sebenarnya aku pengin protes tadi. Kenapa berpikir seperti itu? Kalau kamu bagus dan berbakat, apapun kemampuan kamu pasti menghasilkan. Tapi ya itu, aku juga masih kuliah. Sok-sokan mau ngajari yang baru mau kuliah.”
Keduanya tertawa.
Ani menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinganya.
“Suk, ehm … hari ini langsung pulang atau gimana?” tanya Ani setelah tawa mereka mereda.
“Ehm … kami sebenarnya menginap di hotel di Singkawang kata Bapak. Tapi, Mbak Centhini kan baru saja ketemu kalian, keluarganya. Jadi, rasanya nggak adil aja kalau hari ini langsung balik ke hotel.”
Ani tersenyum lebar. “Rumah Aji xiao Bong gede kok. Dulu aja kata Mama bisa buat tinggal belasan orang.”
Kenapa Dihyan merasa bahwa Ani ingin supaya ia masih bisa bertemu dengan Dihyan lebih lama?
“Bisa diatur deh nanti. Eh, cece-cece dan koko-koko semua kan bermarga Ng ya. Mendiang akung aja namanya Ng Sjak Tshin. Tapi, kok Centhini bermarga Bong?”
“Ooo … sebenarnya itu perbedaan dialek aja, Suk. Bong, Ong, Ng, bahkan Huang dan Wang itu sebenarnya sama. Meskipun kadang ada perbedaan sedikit, entah dari cara pelafalan atau nada yang digunakan. Cuma setahuku, marga-marga itu tadi berhubungan. Ya pokoknya kurang lebih sama, deh, Suk.”
Dihyan membuat huruf O dengan mulutnya sembari mengangguk-angguk. Ani tertawa melihat pemandangan ini.
“Wah, sangat informatif. Berarti boleh dong aku tanya-tanya sama kamu soal budaya orang sini, terutama ya orang-orang Tionghoa Khek?”
“Ya, boleh-boleh aja, Suk. Tapi aku nggak selalu ngerti, ya. Tapi, selama bisa membantu, aku senang, pasti aku jawab sebisanya.”
Keduanya tersenyum.
Angin yang bertiup semilir di perbukitan dengan ladang rerumputan ilalang itu ikut membelai hati Dihyan dan mungkin sekali keponakan tirinya itu.
klo yg ketemu di mimpi Dihyan Stefanie Indri, mungkinn wae sih, terakhir ketemu juga Dihyan mimpi yg di ksh nomer hp itu
klo dibandingkan sama Dihyan, Ashin banyak beruntungnya. Ashin mah langsung praktek lahh Asuk Dihyan mah kan cuma di mimpi 😂
next