"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Akrab
Liana bangun dengan suasana hati yang berbeda. Tidak ada lagi rasa kesal pada Haris. Dia juga tidak mengeluh lagi dengan statusnya sebagai istri kedua Haris yang selalu dicuekin. Yang suasana liburannya, atau katakanlah acara honeymoonnya rusak gara-gara kehadiran kakak madunya, dan orang asing yang terus memata-matai mereka.
Bukan berarti Liana mengharapkan sesuatu yang lebih dari pernikahannya dengan Haris. Dia juga tahu kalau Haris tidak akan pernah jatuh cinta padanya, begitupun sebaliknya. Dia hanya terlalu tinggi berekspektasi tentang kedatangannya ke Labuan Bajo. Jalan-jalan santai, menikmati kuliner, dan menikmati pemandangan yang indah. Meski belum tentu Haris menemaninya, setidaknya dia bisa menghibur hatinya sendiri yang sedang semerawut.
Tapi saat ini hal itu bukan lagi masalah. Karena dia mulai bisa berdamai dengan keadaan. Dan Haris pun mulai bisa diajak ngobrol layaknya manusia normal pada umumnya. Dan mereka sepakat menjadikan hubungan mereka seperti halnya jalinan pertemanan. Jadi keduanya tidak akan merasa canggung saat bersama, apalagi ketika kumpul dengan keluarga.
"Yaaa, meski semuanya butuh waktu untuk berproses. Seenggaknya hubungan kami menjadi lebih baik saat ini. Tidak seperti orang asing." begitu batin Liana bergumam.
Liana kemudian mengambil baju gantinya, lalu pergi ke kamar mandi. Dia memutuskan untuk mulai jalan-jalan, menikmati suguhan alam yang indah. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatannya. Malam hari saja terlihat sangat indah. Apalagi ketika pagi hari, dimana langit membentangkan birunya yang cerah. Tidak peduli lagi dengan orang yang sedang sibuk jadi mata-mata di sekitarnya. Dia akan mengikuti ucapan suaminya. Menunggu maha karya apa yang akan mereka buat, barulah Haris bergerak.
"Mau kemana, sudah rapi begitu?" tanya Haris yang baru saja bangun.
"Mas sudah bangun rupanya." balas Liana yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Aku mau jalan-jalan, mas. Masa sudah sampai di sini, tapi diam-diam saja di hotel." katanya kemudian.
"Kalau begitu aku akan siap-siap juga. Kita pergi bersama." balas Haris.
"Mbak Vanya gimana?" tanya Liana sambil melihat Haris dari pantulan cermin.
"Aku akan menghubunginya." jawab Haris.
"Oke..."
Haris kemudian mengambil ponselnya bermaksud menghubungi Vanya. Namun dia urungkan niatan itu, lantaran ada pesan masuk dari Vanya.
Vanya : mas aku pulang
"Ya ampun, Vanya...!!" gumam Haris.
Semakin kesini Haris makin merasa frustasi dengan kebiasaan Vanya yang selalu mengambil keputusan dengan gegabah. Haris mondar-mandir sambil berusaha menghubungi istri sirinya itu. Namun nomornya tidak aktif.
"Ada apa, mas?" tanya Liana saat melihat mimik wajah Haris penuh kepanikan.
Tak ada jawaban, dan Haris langsung lari menuju pintu keluar.
"Maaasss...!!" seru Liana sedikit lebih keras.
Haris pun menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh pada Liana.
"Apa yang terjadi?" tanya Liana sekali lagi sedikit memaksa Haris untuk menjawab.
"Vanya pulang, Lian. Dan nomornya tidak bisa dihubungi." Haris menunjukkan isi pesan Vanya.
Liana menghembuskan nafas panjang sambil menggeleng pelan.
"Terus mas keluar pakai piyama kayak gitu mau ngapain?" ujar Liana. "Mau ngejar mbak Vanya juga nggak ada gunanya. Dia pasti sudah terbang balik ke rumah. Pesannya saja sudah dari subuh...!!" imbuhnya.
Haris mengambil ponselnya yang tadi dia tunjukkan pada Liana. Lalu kembali memeriksa pesan itu. Haris mendaratkan tubuhnya di sofa dengan kasar.
"Apa kita mau nyusul mbak Vanya pulang sekarang?" tanya Liana dengan nada yang lebih lembut.
"Biarkan saja, kalau pulang sekarang juga nanti kakek malah curiga." Haris beranjak dari sofa, lalu menuju kamar mandi dengan langkah malas.
Liana sangat tahu, kepergian Vanya yang tiba-tiba itu membuat Haris terpukul. Padahal Haris membawa serta Vanya, agar mereka bisa menikmati waktu bersama. Tapi Vanya justru pergi ketika Haris bersamanya. Dalam pikiran Liana, mungkin saja Vanya kecewa dan cemburu.
"Kalau saja orang-orang itu tidak muncul, mas Haris tidak akan berada di sini bersamaku. Dia akan tetap bersama mbak Vanya. Dan mbak Vanya masih akan tetap di sini. " begitulah suara hati Liana bergumam.
Entahlah, Liana bingung harus senang atau ikutan sedih dengan kepulangan Vanya.
___
Haris dan Liana melakukan perjalanan yang benar-benar berdua saja. Meski Liana tahu dalam hati dan pikiran Haris masih memikirkan Vanya. Tapi Liana salut pada Haris, karena Haris masih mau pergi bersamanya. Meskipun semua itu hanya untuk menunjukkan kepada kakek Sudibyo kalau dia benar-benar melakukan perjalanan bulan madu dengan Liana.
"Katanya kalau ke Pulau Komodo nggak boleh pakai baju merah. Memang benar begitu?" tanya Liana untuk menghidupkan suasana selama dalam perjalanan.
"Entahlah, katanya mitos. Tapi peraturan itu benar-benar diterapkan. Katanya warna merah itu bisa membangkitkan sisi liar para komodo." jawab Haris.
"Tidak ada jalur lain selain laut ya, mas?" Liana tampak sedikit ragu.
"Kenapa memangnya? Mabuk laut?" terka Haris.
"Nggak tahu sih. Cuma aku belum pernah naik kapal dan sejenisnya." balas Liana yang apa adanya.
"Ya ampun..., hari gini belum pernah naik kapal. Dia hidupnya model apa coba?" pikir Haris.
"Tenang saja, aman kok." kata Haris.
"Mas Haris tahu?" Liana menghadap Haris. Dan Haris meliriknya sekilas.
"Sejujurnya aku tidak pernah sepenuhnya percaya sama omongan mas Haris." begitu katanya.
Haris sedikit terkejut dengan ucapan Liana, entah itu kejujuran, keceplosan, atau hanya sekedar gurauan.
"Bagaimana kalau pas di kapal nanti, ternyata mas Haris menenggelamkan aku ke laut." celetuk Liana.
"Daripada menenggelamkan kamu di laut, mending juga aku jual. Jelas untungnya." balas Haris sekenanya.
"Apa?!!" sahut Liana. "Enak saja jual-jual, cewek langka nih, mas. Nggak ada lagi modelan kayak aku gini sekarang." celoteh Liana.
"Percaya." Haris tampak menyunggingkan senyuman sekilas.
Sepanjang perjalanan ada saja hal yang dibicarakan Liana, semua itu semata untuk mencairkan suasana agar tidak terlalu canggung.
Haris dan Liana menikmati waktu berdua. Mereka pergi ke beberapa objek wisata yang ada di sana. Tak ada hal yang tidak berkesan. Karena ini adalah pengalaman pertama Liana.
"Mas Haris..."
Liana memanggil Haris sambil mendekatkan es krimnya ke wajah Haris. Sontak saja hidung Haris langsung menyetuh ujung es krim milik Liana.
"Lian, kauuuu...!!" geram Haris.
"Hahahaaaa..." Liana justru tertawa renyah. "Lagian mas Haris dari tadi melamun. Mikirin mbak Vanya, ya?" ujar Liana, sambil kembali menjilat es krimnya.
"Ah, tidak." balas Haris.
"Bilang saja iya, mas. Nggak perlu ditutupi." sahut Liana. "Bukankah kita sudah sepakat menjadi teman. Sebagai seorang teman yang baik hati, ramah tamah, tidak sombong, dan rajin menabung. Aku bersedia kok mendengar keluh kesah mas Haris." celoteh Liana.
Haris tersenyum hambar, sebelum dia mengatakan sesuatu pada Liana.
"Maaf, Lian. Harusnya kamu tidak berada di posisi ini. Kalau saja pernikahan ini tidak terjadi." ujar Haris pelan.
"Heeemmm..." Haris mendesah panjang. "Andai hidup Vanya tak serumit ini..." gumamnya.
"Mas Haris harus kembali membujuk mbak Vanya. Siapa tahu setelah ini dia bersedia menikah secara resmi dengan mas Haris." begitu gampangnya respon Liana.
"Sulit, Lian." sahut Haris. "Orang tuanya menentang hubungan kami." ucap Haris nelangsa.
"Sudah tahu menentang kenapa nekat nikah siri?" batin Liana.
Liana tak habis pikir, kenapa mereka memutuskan nikah siri dan menjalani hidup seperti buronan.
"Kenapa tidak coba datangi mereka lagi? Bilang kalau kalian sudah nikah. Saranku juga, kalian harus cepat punya anak. Pasti nanti langsung di ACC." celetuk Liana sambil tersenyum.
"Sepertinya Tuhan tidak menghendaki kami punya momongan. Kami sudah melakukan banyak cara sesuai saran dokter, tapi hasilnya nihil." aku Haris yang tampak putus asa.
"Jangan menyerah, mas. Aku saja hadir setelah orang tuaku menanti selama enam tahun." Liana mencoba memberi support pada suaminya.
Haris hanya tersenyum menanggapinya.
"Aku jadi rindu sama mereka..." gumam Liana lirih. "Setelah dari sini, aku akan ke makam mereka." kata Liana lagi.
"Aku akan mengantarmu." balas Haris.
"Nggak perlu, mas. Lagian setelah dari sini kan giliran mas sama mbak Vanya." Liana menolak ajakan Haris, sekaligus mengingatkan suaminya itu agar berlaku adil dengan kedua istrinya.
Mereka menghabiskan waktu hingga larut malam. Hampir pukul sepuluh malam, mereka baru kembali ke hotel.
___
Di sebuah apartemen...
Vanya berulang kali menatap handphonenya. Berharap ada panggilan atau sekedar pesan dari Haris. Tapi uniknya, Vanya sama sekali tidak ingin menghubungi Haris lebih dulu. Dia ingin mengetes saja, apa yang akan dilakukan Haris kalau Vanya tidak memberi kabar.
"Tidak biasanya. Mas Haris tidak pernah mengabaikanku, apalagi sampai seharian. Apa dia marah karena aku pulang? Atau dia sedang asyik berduaan dengan Ana?"
Vanya sedikit menyesali keputusannya. Tapi baginya itu adalah solusi terbaik. Karena dia tidak ingin terciduk oleh orang yang sedang mengintai Haris. Entah itu orang suruhan kakek Sudibyo, atau orang lain.
"Setelah mas Haris menikah, semua jadi serba repot. Kemana-mana juga jadi was-was." gerutu Vanya kemudian.
Vanya terus menunggu kabar dari Haris. Bahkan dia sampai tertidur di atas sofa, dan ponselnya dibiarkan tergeletak di atas dadanya.
......................