Queenzy Aurora Wolker gadis yang memiliki wajah yang cantik itu sangat menggilai seorang Damian Putra Throdhor Putra.Pewaris utama Keluarga Throdhor yang memiki kekayaan.nomer satu di dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Karena masih di rumah sakit akhirnya damian menyempatkan untuk pergi mencari ruang rawat pasien yang tadi adiknya tabrak.Seharusnya bisa saja damian meminta anak buah mereka tapi karena ini permintaan dari ibu ratu Theodore, jadilah ia yang harus meluangkan waktu sendiri.
Kembali ke lantai dua dan berbelok ke arah bangsal di block atas. damian pergi ke arah meja Kepala Perawat yang ada di depan pintu masuk bangsal.Saat melihat kedatangan damian, jelas wanita berpakaian
suster itu sigap berdiri. Dia kenal siapa sosok anak muda tampan bertubuh ideal nan kekar itu. Satu rumah sakit ini
sudah terkantongi atas nama keluarganya.
"Ada yang bisa saya bantu? Tuan muda!"
"Aku ingin bertemu Pasien yang baru di bawa ke sini dua jam lalu," jawab damian membuat
Kepala Perawat rumah sakit tersebut terdiam.
"Pasien yang masuk bangsal 2 jam lalu ada banyak, Tuan! Apa bisa disebutkan secara spesifik?"
"Aku tidak terlalu tahu tapi
yang jelas dia wanita. Adikku tidak sengaja
menabrak bangkar rawatnya di koridor lantai ini."
Kepala Perawat itu mengangguk segera meminta seseorang mengirim file cctv
dua jam lalu di koridor lantai.Saat rekaman telah diputar, ia segera melihatnya. Pada
menit ke 30 ada anak kecil yang diduga leana menabrak bangkar rawat seseorang. Bisa
dilihat terjadi sedikit keributan sampai akhirnya damian datang
"Baik. Tuan! Saya akan mencari nama Pasien ini dulu. Mohon tunggu sebentar!" ucapnya dengan sopan.
DAMIAN mengangguk menunggu di depan meja tersebut sembari bermain ponsel membiarkan Kepala perawat rumah sakit memasuki kamar tempat para Pasien dirawat.
Drett!
Ponselnya menyala. Ada panggilan dari dimas salah satu orang kepercayaan damian di Markas mereka.
"Tuan Damian!"
"Katakan!"
"Misi selesai. Mereka mengaku dibayar oleh Paman Nona Aurora sendiri untuk melukai Nona kemaren malam.Apa orang suruhan ini
langsung dilenyapkan? Tuan!"
Damian masih diam. Tidak sangka yang menyewa anak-anak motor jalanan itu untuk melukai Aurora adalah pamannya sendiri. Padahal damian merasa mereka dulu saat
usianya masih 7 tahun masih baik-baik saja.
"Tuan!"
"Kembalikan motor itu ke apartemennya! Selebihnya jangan sisa-kan apapun!" titah Damian tegas kemudian mematikan sambungan.Dia berusaha untuk tidak peduli dan acuh tetapi Damian tidak bisa. Mungkin dia memang benci dan risih dengan
Aurora namun, Damian tetap tidak bisa membiarkannya mati begitu saja. Padahal ia bukanlah orang yang punya empati tinggi.
Sibuk dengan pikirannya,Damian sampai tidak sadar Kepala perawat rumah sakit tadi sudah
keluar ruangan dua kali memanggilnya.
"Tuan! Tuan muda!"
Lamunan Damian buyar hingga
segera menoleh.
"Ada? Jika tidakaku akan
datang lain kali."
"Pasiennya baru saja sadar,Tuan! Gadis itu baru saja selesai melakukan operasi kecil dua
jam lalu. Sekarang Tuan bisa menemuinya."
Damian mengangguk mengerti sembari menyimpan ponselnya kemudian mengikuti langkah wanita itu yang membukakan
menyuruhnya masuk.Hal pertama yang damian lihat adalah deretan ranjang rawat
para Pasien berjejer secara horizontal dengan tirai-tirai pembatas masing-masing.
Wajahnya terlihat risih karena ada yang beberapa kali batuk dan ruangan ini tidak
steril karena bercampur dengan orang-orang yang punya penyakit berbeda-beda.
Merasa Damian tidak nyaman dan wanita itu memaklumi, akhirnya dia angkat bicara.
"Jika Tuan Damian merasa tidak
nyaman sebaiknya menunggu
di ruangan lain. saya akan
membawa Pasien itu keluar."
"Tidak perlu. Cepat tunjukan ranjang rawatnya!"
Kepala Perawat rumah sakit itu mengangguk dan mengiring damian dengan hati-hati menegur para Suster yang berkumpul lelaki muda nan tampan memasuki bangsal mereka.Gilanya sosok Damian memang
semendominasi itu karena rata-rata yang ada di sini adalah lelaki paruh baya dan lansia.
"Tampan sekali ya Tuhaan!! Aku tidak kuat, Tolong!"
"Ternyata benar. Bibit orang berkuasa itu tidak pernah gagal. Tuan muda Damian memang
sangat gagah."
"Apa dia punya kekasih?"
"Rasanya mustahil jika tidak punya."
Mereka saling berbisik ria dan Damian hanya mengabaikan seolah sudah terbiasa. Dia lebih
fokus pada langkah wanita di depannya yang berhenti didepan tirai pembatas paling
ujung dekat dinding.
"Silahkan Tuan!"
Ketika tirai itu ditarik Damian hanya diam setia dengan ekspresi datarnya. Namun, saat
penampakan di dalam sana sudah terlihat dahinya langsung mengernyit.
Kosong? Yah. Tidak ada orang sama sekali membuat Kepala Perawat itu juga heran menatap segan Damian.
"Maaf Tuan. Sebentar saya
cari dulu."
Damian menghembuskan nafas berat. Dia tidak punya waktu menunggu seorang Pasien
rumah sakit yang pecicilan entah kemana.
Kepala Perawat itu mendekati para Suster dengan mata bertanya-tanya.
"Di mana Pasien yang ada di ranjang rawat itu?"
"Gadis konyol yang tadi baru selesai operasi. Bu Kepala?
Wanita itu mengangguk mengiyakan sesekali melempar senyum kaku pada Damian yang
hanya merespon datar tanpa niat bicara. Dari raut wajahnya sudah jelas ia bosan.
"Kemana dia? Sudah ku katakan untuk menunggu bukan?"
"Dia tadi mau buang air kecil. Sekarang ada di kamar mandi ditemani Suster lain!"
Wanita itu menghela nafas kembali mendekati Damian yang beberapa kali mengusap ujung bersin-bersin dan batuk
sembarangan.
"Maaf Tuan muda. Nona itu sedang ada di kamar mandi. Mungkin sebentar lagi akan keluar."
"Hm. Katakan padanya jika masalah anak kecil yang menabraknya tadi tidak perlu
dipikirkan. Aku akan mengganti rugi atas kesalahan yang adikku lakukan. Kirimkan
nomor rekeningnya padaku.
"B-baik. Tuan muda! Maaf jika saya membuat anda menunggu."
Damian mengangguk seadanya kemudian berjalan pergi ke arah pintu. Sayangnya ada
Pasien lansia yang tiba-tiba muncul dari balik pintu tengah berjalan didampingi Suster
dengan perlahan masuk. Damian memijat pangkal hidungnya merasa terjebak
dengan orang-orang berkelainan.
"Aku sudah tidak mau dibantu. Lepaas! Aku sudah bisa berjalan sendiri."
"Kakek! Jangan keras kepala. Tadi baru saja jatuh dan sekarang Kakek harus istirahat."
Perdebatan lansia itu tak kunjung reda di depan pintu.Damian ingin sekali
menendangnya tapi masih sekarang ia telah jadi pusat perhatian.Bajingan memang!
Sementara di belakang sana. Perdebatan kecil terjadi. Bagaimana tidak? Aurora yang
baru keluar kamar mandi dengan tiang infus dipegang suster bahkan berjalan saja ia
susah langsung dibuat emosi saat mendengar penjelasan kepala perawat di depannya.
"Sombong sekali sialan ituu!! Dia meminta
nomor rekeningku hanya karena ada adiknya yang menabrak ranjang rawatku??"
Mereka kelabakan saat aurora bersungut-sungut merasa tersinggung.
"N-Nona! Tolong kecilkan suara anda. Tuan muda itu berniat baik mau memberikan ucapan permintaan maaf.
"Tapi tidak ada aku dengar dia mau minta maaf. Hanya meminta rekening. Apa dia
pikir dunia ini punya nenek moyangnya, haa??" amuk
Aurora tidak terima.Suasana ruangan agak
berisik karena banyak pasien-pasien sibuk dengan masalahnya masing-masing.
Apalagi damian tengah terjebak di dekat pintu sana.
"Sekarang di mana dia?? Di manaa??"
"Susst! Nona tolong. Jangan mencari masalah. Dia bukan orang sembarangan," peringat suster yang tadi menemaninya.
"Matanya masih dua-kan? Darahnya masih merah dan belum pernah makan besi-kan?"
"T-tapi..."
"Di mana dia?" desak
Aurora hingga Kepala Perawat itu mau tidak mau menatap ke arah punggung kekar dan bahu lebar damian yang membelakangi
"Nona! Anda..."
Karena terlampau emosi Aurora berjalan susah payah mendekati sosok itu. Mungkin
karena terlalu kesal ia tidak sadar bentuk dan postur tubuhnya amat familiar.
"Kakek! Kakek menurut, ya? Tuan ini mau lewat. Kita masuk, ok?"
Suster itu masih berusaha membujuk lansia tersebut mencak-mencak segera menoyor punggung lelaki tinggi ini.
Bugh!
Damian terperanjat saat ada yang meninju kecil punggungnya dengan berani. Apalagi suasana bising ruangan menjadi backsound keadaan membuat Damian bertambah kesal
sekaligus emosi. Saat Damian masih diam
dengan wajah mengeras dan tangan terkepal, Aurora makin menjadi. Satu tangan kirinya
memegang tiang infus dan ia ketukan dua kaki ke punggung keras Damian. Hal itu membuat seisi ruangan mendadak hening.
Mereka semua ciut melihat wajah geram Damian yang mendingin sementara Aurora
justru mencari mati terus menoyor-noyor punggung Damian. Alhasil Kepala Perawat di
belakang sigap mendekat dengan agak panik.
"T-tuan! Maafkan Nona ini. Dia memang agak spesial." Whaaat? Spesial?? Aurora tersinggung. Kata spesial seolah bermakna agak negatif. Bibir bawahnya ia kulum dalam dengan hidung kembang kempis pertanda
murka.
"Maaf Tuan! Silahkan anda.Damian tidak mau mendengar apapun dan ingin lanjut pergi
tapi semua mata terbelalak saat Aurora melempar sendal kamar mandinya mengenai
kepala damian.
"Astagaa!!"
Mereka menutup mulut rapat dengan wajah amat tegang. Damian sudah mendidih menatap sendal kamar mandi yang jatuh di dekat kakinya kemudian berbalik.
"Kaau.."
"APAAA???!" sungut Aurora tidak kalah meninggi dan menantang.
Degg!!
Mata Aurora melotot terkejut melihat Damian sedangkan lelaki itu mematung diam seolah merasakan hal yang sama. Semua orang masih dalam mode bisu menahan nafas
takut-takut jika Damian akan menampar atau menerjang Aurora misalnya.
Mata keduanya saling menatap dalam didominasi oleh rasa syok. Aurora sampai lupa berkedip karena tak percaya Damian ada di ruangan seperti ini.
"Uhuuk!"
Suara batuk Pasien yang sejak tadi mengganggu Suasana menyadarkan keduanya. Aurora segera membuang muka
Walau ekspresinya masih datar tapi entah bagaimana kondisi pikirannya sekarang.
"T-tuan! Maaf sekali lagi. Saya mewakilan nona ini untuk minta maaf," ujar Kepala
Perawat tadi dengan wajah pias. Pasalnya Aurora benar-benar lancang dan sudah
kelewatan.
Baik Aurora maupun Damian tidak ada yang buka suara. Suasana canggung mulai terjadi
membuat mereka bingung mau melakukan apa sampai kepala perawat itu menatap Aurora penuh ketegasan.
"Minta maaf sekarang. Ayo!"
Aurora linglung. Dia tidak pernah terpikir bertemu Damian apalagi ini diluar prediksinya. Aurora tidak mau Damian
melihatnya lemah apalagi sampai kasihan. Aurora tidak suka itu.
"M-I-N-T-A M-A-A-F sekaraang!"
tekannya merasa geram dan panik.
Aurora mengambil nafas dalam. Melihat semua orang menunggu apa yang ia katakan
dan berbahaya bersikap seperti biasanya pada Damian di depan banyak orang maka Aurora mengambil sebuah keputusan.
"Maaf! Maafkan saya Tuan muda damian!" ucapnya dengan formal dan terkesan tidak saling Entah kenapa terdengar tidak enak di telinga. Entah di telinga siapa kalian bisa
menebak sendiri.
"Maafkan saya. Masalah adik anda. Tidak perlu dipikirkan. Saya mengerti.
"B-bagaimana Tuan?" tanya Kepala Perawat itu menatap Damian yang masih menatap ke
arah lain. Ekspresinya amat dingin
sekali.
"Tuan!"
Damian menatap datar Aurora. Tatapan yang tidak dapat diartikan tapi yang jelas. Ada
rasa marah di sana.
"Tuan! Apa anda memaafkan Nona ini? Saya juga merasa mustahil dimaafkan
karena telah melakukan tindakan seperti itu tapi..."
Ucapan wanita itu terhenti mengatakan apapun. Mereka semua saling pandang sedikit lega kemudian beralih pada
Aurora yang masih diam mematung menatap pintu tempat damian pergi tadi. Entah kenapa rasanya ia tidak puas dengan respon damian.
Padahal sudah jelas dia tidak mau damian terlibat dalam apapun itu masalah hidupnya.
Tapi kenapa rasanya masih sakit? Seharusnya ia senang saat Damian tidak peduli apapun
kondisinya saat ini bukan? Mendapati hal itu Aurora hanya tersenyum hambar
kembali berjalan ke arah ranjang rawatnya. Tidak ada yang berani bertanya pada
Aurora karena mendadak wajah gadis cantik itu muram.
Sementara di dalam lift sana damian
meremas tangannya sendiri. Rasa marah tapi
tidak mengatakan apapun padanya dan tiba-tiba bertemu dalam keadaan seperti itu?
Teringat pernyataan Kepala Perawat sebelumnya. Aurora baru saja menjalani operasi kecil. Padahal sesuai hasil
laporan anggotanya, Aurora tidak sempat dilukai oleh para Geng motor tadi malam.
"Fuckk!!" umpat Damian
mengusap wajahnya kasar
karena pikirannya mulai kusut.