"Aku akan membantumu!"
"Aku akan mengeluarkan mu dari kehidupanmu yang menyedihkan itu! Aku akan membantumu melunasi semua hutang-hutang mu!"
"Pegang tanganku, ok?"
Pada saat itu aku masih tidak tahu, jika pertemuan ku dengan pria yang mengulurkan tangan padaku akan membuatku menyesalinya berkali-kali untuk kedepannya nanti.
Aku seharusnya tidak terpengaruh, seharusnya aku tidak mengandalkan orang lain untuk melunasi hutangku.
Dia membuat ku bergantung padanya, dan secara bersamaan juga membuat ku merasa berhutang untuk setiap bantuan yang dia berikan. Sehingga aku tidak bisa pergi dari genggamannya.
Aku tahu, di dunia ini tidak ada yang gratis. Ketika kamu menerima, maka kamu harus memberi. Tapi bodohnya, aku malah memberikan hatiku. Meskipun aku tahu dia hanya bermaksud untuk menyiksa dan membalas dendam. Seharusnya aku membencinya. Bukan sebaliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon little turtle 13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Makan Gratis
Gelap..
Hitam..
Luna menyentuh matanya, memastikan kalau dia benar-benar telah membuka matanya. Matanya terbuka, namun dia tidak dapat melihat apapun.
Dia mengingatnya, terakhir kali dia berdiri di jembatan. Juga pria itu.
"Apa yang telah pria itu lakukan padaku, kenapa aku tidak dapat melihat apapun?" gumam Luna.
Kakinya terus melangkah tanpa tahu dia berada di mana. Tangannya mencari-cari sesuatu yang mungkin dapat dia raih. Namun tak ada. Seolah dia sedang berjalan di tanah lapang.
Badannya mulai menggigil kedinginan. Rasa dingin yang menusuk daging. Luna menggosokkan kedua telapak tangannya, kemudian memeluk dirinya sendiri. Namun kehangatan tidak dapat dia rasakan, seolah telah mati rasa akan kehangatan.
"Dingin~"
Tidak tahu apakah dia masih hidup atau tidak. Dia tidak dapat merasakan apapun kecuali dingin.
Semburat cahaya membuat Luna menutup matanya dengan telapak tangan. Seketika dia mulai berpikir, 'apakah aku memang telah mati?'.
"Luna.."
"Kemari, sayang.."
Luna tertegun. Perlahan dia membuka tangannya dan melihat ke depan sana. Tanpa bisa mengontrol, air mata deras mengalir di pipinya.
"Papa?"
"Kamu sudah besar, kenapa masih saja suka menangis~ hm?" Harley mengusap hidung Luna dengan telunjuknya.
Tidak ada yang bisa Luna lakukan. Dia ingin mengeluh sebanyak-banyaknya pada Ayahnya. Namun sesuatu yang mengganjal dalam tenggorokannya membuat dia sulit untuk mengatakannya.
Tangisnya semakin pecah. Luna memeluk Ayahnya itu dengan sangat erat. Rasa dingin yang dia rasakan sejak tadi, seketika berubah menjadi sebuah kehangatan.
"Jangan tinggalin Luna sendiri, Pa~"
"Luna takut, dunia ini sangatlah mengerikan. Semua orang kejam.."
Haaa~
Helaan napas pasrah itu terdengar entah sudah berapa kali. Elio berbaring di kasur dengan Luna yang memeluk tubuhnya erat.
"Aku akan membiarkanmu kali ini karena kau demam.." gumam Elio.
"Merepotkan sekali!"
...****************...
Srakkk~
Dengan matanya yang setengah terbuka itu, Luna mengerjapkan matanya perlahan. Cahaya terang dari luar sana yang tiba-tiba menembus matanya masih belum diterima oleh otaknya.
Buram.
Namun dia masih dapat melihat sosok jenjang didepan sana dengan samar-samar. Luna mengucek matanya untuk mengembalikan pengelihatannya yang buram.
"Papa?" lirih Luna.
"Jika anda sudah bangun, tolong segera turun kebawah untuk sarapan!"
Luna membelalakkan matanya kaget setelah melihat sosok asing itu. Dia bangkit dari tidurnya, meraih selimut dan menutupi tubuhnya.
"Siapa kamu?!" teriak Luna.
"Itu tidak penting. Silahkan Nona segera turun kebawah dan sarapan. Ini perintah dari Tuan Muda Elio.."
"Saya permisi.." pamit Big.
Tatapan Luna menjelajah seluruh penjuru ruangan itu. Sebuah ruang kamar yang terlihat sangat mewah. Dan interior yang terlihat sama seperti pemiliknya. Dark.
"Jadi pria brengsek itu namanya Elio?" gumam Luna.
Luna menghela napasnya dengan kasar. Kemudian membuka selimut yang ia gunakan untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Tunggu.."
Luna menatap baju yang ia gunakan. Kaos oblong juga celana training yang kebesaran.
"Arghh~"
Luna berteriak histeris, kemudian melompat dari tempat tidurnya dan keluar. Dia menuruni tangga dengan langkah terburu-buru.
"Dimana pria mesum itu?!" teriaknya dalam rumah besar itu.
Dia menatap sekelilingnya. Suaranya bahkan menggema di dalam sana. Ini bukan seperti dia tidak pernah melihat rumah yang begitu besar. Tapi itu terlalu besar untuk seorang pria lajang yang tinggal sendirian.
"Dimana Tuan Muda mesum mu itu?!" ucap Luna pada Big yang saat itu sedang menuang susu di meja makan.
"Tolong perhatikan ucapan anda, Nona.."
Luna mendekati Big.
Big yang merasakan pergerakan Luna itu hanya meliriknya, kemudian meletakkan susu di tangannya.
"..."
"..."
Big menunduk menatap kaki mungil yang berada dihadapan sepatunya. Kemudian sedikit mengangkat kepalanya untuk menatap gadis yang tingginya tidak sampai mencapai bahunya itu.
'Dia sangat mungil..' batin Big.
'Namun keberaniannya sangat luar biasa..'
Big memundurkan langkah dan membelalakkan matanya saat Luna merentangkan kedua tangannya.
"Mau apa anda?!" seru Big dengan panik.
"Kau tidak ingin aku memanggilnya mesum, tapi apa ini? Baju siapa dan siapa yang menggantinya?" tanya Luna.
Big tidak menjawab. Karena menurutnya itu bukan pertanyaan penting yang memerlukan sebuah jawaban.
Luna memicingkan matanya, menatap curiga pada Big. Melihat dari gelagat Luna, Big dapat membaca apa yang ada dipikirannya.
'Apa lagi kali ini?' batin Big.
"Kau pikir aku wanita macam apa? Mana mungkin aku menyerang pria yang tiga kali lebih besar dariku!" seru Luna setelah menyadari kewaspadaan pria dihadapannya.
"Saya tidak mengatakan apapun.." ucap Big pasrah.
"Andai aku bisa membawa kaca besar kehadapan mu saat ini.." gerutu Luna.
"Bahkan gestur tubuhmu seperti seseorang yang sedang waspada akan sebuah serangan," lanjut gerutunya sambil melirik Big dengan sinis.
Luna menghela napas panjang, kemudian menatap meja makan yang sudah penuh dengan berbagai macam makanan.
Dengan tatapan mata berbinar Luna menatap satu persatu jenis makanan yang telah dihidangkan itu. Kemudian mengalihkan pandanganya untuk menatap Big.
"Apakah benar semua makanan ini disiapkan untukku?" tanya Luna dengan antusias.
Big mengangguk dengan ragu.
"Tuan Muda tidak tahu makanan apa yang anda sukai. Jadi beliau memesan semua makanan ini agar anda bisa memilihnya," tutur Big.
"Aku bukan orang yang pemilih.." ucap Luna dengan semangat sambil melambaikan kedua tangannya didepan dada.
Dia menganggap Elio musuh. Di saat seperti ini seharusnya dia merasa waspada. Tapi semuanya tak berlaku sekarang. Siapa yang tidak tergoda dengan makanan se-meja penuh. Apalagi disiapkan khusus.
Luna menelan saliva nya, suara keroncongan di perutnya juga mendukung aksinya untuk segera menyantap makanan itu.
"Silahkan nikmati sarapan anda, saya akan permisi lebih dulu," pamit Big sambil membungkukkan tubuhnya 15 derajat.
"Tunggu.."
Luna menghentikan langkah Big yang hendak berbalik.
"Tidak bisakah kau duduk disini bersamaku?" tanya Luna yang membuat Big membelalakkan matanya.
"Aku tidak suka makan sendirian.." lanjutnya sambil menundukkan kepala.
Big terdiam. Itu bukan pertanyaan yang sulit. Tapi menjawabnya harus dengan memikirkan resikonya.
'Tuan Muda akan membuatku tidak dapat duduk selama sebulan kalau aku berani duduk di sana..' batin Big dalam hati.
Entah mengapa wajah memelas Luna sangat mengganggunya. Beberapa saat yang lalu dia masih bersemangat dengan makanan lezat itu. Tapi tiba-tiba saja berubah saat Big mengatakan akan meninggalkan nya.
Big menghela napas pasrah. 'Jika sebentar mungkin tak apa, Tuan Muda juga sedang ada pertemuan..' batinnya.
"Baiklah.." ucap Big.
'Pantas saja akhir-akhir ini Tuan Mudah terlihat sangat frustasi. Siapa yang tahu lawannya lebih rumit dari sekelompok gangster..' gerutu Big dalam hati.
Luna langsung duduk di kursi meja makan dengan senangnya setelah mendengar jawaban Big.
"Kau juga makanlah sesuatu yang kau suka," tutur Luna yang sudah mulai mengangkat garpu di atas piring berisi pasta.
"Tidak, terima kasih. Nikmati saja hidangan anda.." tutur Big.
Luna melahap makanannya dengan lahap, kemudian meneguk segelas susunya hingga habis dalam sekali tegukan.
"Untuk apa kau berbicara sopan padaku? Aku bukan atasanmu, jadi bicara santai saja.."
"Aku yakin kau pasti juga malas untuk melayaniku, kan?"
Big hanya mendengarkan tanpa menjawabnya. Luna pun juga melanjutkan makannya dengan memilih menu lainnya.
Tanpa Big sadari dia telah menatap gadis yang menyantap makanannya dengan lahap itu selama beberapa menit lamanya. Tanpa dia sadari pula sudut bibirnya terangkat.
'Seperti inikah sikap seseorang yang hendak melenyapkan nyawanya sendiri?' gumam Big dalam hati.
'Dia bersikap seolah tak pernah terjadi apapun. Dan bukankah dia terlalu santai untuk makan dengan lahap di rumah orang yang dibencinya?'
"Menertawakan apa kau?" tanya Luna dengan mata yang memicing. Entah sejak kapan dia menatap Big seperti itu.
"Tidak, hanya saja anda terlihat seperti kucing got yang kelaparan.." ucap Big dengan jujur.
"Saya permisi, masih banyak pekerjaan yang harus saya lakukan.." pamitnya.
Setelah beberapa langkah Big berjalan, langkahnya kembali terhenti karena suara dibelakang sana.
"Apa kau bodoh? Mana ada kucing yang tinggal di got, adapun itu pasti kucing yang sama bodohnya seperti mu!" seru Luna.
"Dan juga! Aku hanya menghargai nikmat Tuhan yang diberikan kepada ku. Kapan lagi aku bisa makan sebanyak ini.." lanjutnya.
"Apalagi ini kan gratis.." gumam Luna.
Pertahanannya hancur. Tawa yang sedari tadi dia tahan akhirnya meledak juga.
"Ya, anggap saja itu benar.." ucap Big dengan sisa tawa di wajahnya. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk pergi.
'Gadis itu benar-benar sesuatu. Berhadapan dengannya sama dengan melatih kesabaran..' batin Big.
mampir juga dong ke karya terbaruku. judulnya "Under The Sky".
ditunggu review nya kaka baik... 🤗