Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 20
Rizal berjalan menyusuri koridor rumah sakit, aroma antiseptik menusuk hidungnya. Dia berusaha fokus, tapi wajah Candra terus melayang dalam benaknya. Seperti bayangan yang tak mau pergi, senyumnya saat mereka berdua menghabiskan waktu di tepi pantai, atau panggilan lembut suaranya ketika bercerita tentang kafe yang mereka buka.
“Rizal!” suara Fatma mengejutkannya dari belakang.
Dia berbalik. “Ada apa?”
“Pasien di ruang dua perlu konsultasi cepat. Mari, aku arahkan.”
Rizal mengangguk, mengikuti Fatma. Langkah cepatnya menghantam lantai linoleum. Namun, Candra tetap bergetar di benaknya, pengingat tak sengaja tentang perjalanan yang mereka lalui bersama.
“Rizal, kau mendengarku?” Fatma berhenti, memandangnya dengan cermat.
“Hmm?” Rizal tersadar dan menyipitkan mata.
Fatma menggeleng. “Bicara tentang pasien, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat melamun.”
“Ah, maafkan aku. Hanya memikirkan beberapa hal.”
Fatma menatapnya tajam, jelas mencari tahu. “Seperti Candra?”
Dia mengulum senyum kecut. “Kau selalu tahu.”
“Dia sudah pergi, Rizal. Terima saja.”
Rizal mengikrarkan kata "terima" dalam hati, sementara langkahnya terasa berat memasuki ruang pemeriksaan. Dia berharap bisa mengganti kepingan hati yang retak dengan profesionalisme.
Di dalam ruangan, pasien menunggu, seorang perempuan paruh baya dengan tatapan cemas.
“Selamat pagi, Bu. Apa keluhan Anda?” Rizal berusaha memfokuskan pikiran.
“Dokter, saya merasa nyeri di bagian dada,” suara perempuan itu bergetar.
Rizal mulai mengamati gejala-gejala keputusannya, tetapi bayangan Candra menyisip lagi. “Terlalu banyak sifat cemas yang tertahan. Sepertinya kau tak bisa merelakan sesuatu, kan? Seperti aku.”
Pekerjaan harus berjalan; dia menulis resep dengan cekatan. Sebelum beliau pergi, perempuan itu mengajukan pertanyaan.
“Dokter, apa Anda juga pernah merasakan sakit ini?”
Rizal terdiam sejenak. “Sakit seperti itu bisa disembuhkan. Berfokuslah pada hal positif, Ibu.”
Perempuan itu mengangguk, meski raut wajahnya masih menggambarkan keraguan. Rizal membuat catatan, menyadari tak ingin menyampaikan emosi yang sama di hadapan pasiennya.
Setelah pasien itu pergi, Rizal mengusap wajahnya. Ketegangan muncul kembali saat dia memikirkan Candra. Dia bergegas keluar dari ruang periksa dan berjalan menuju ruang istirahat.
Di ruang istirahat, Rizal mendapati Fatma sedang duduk sambil menyeruput kopi. Uapnya mengepul, menciptakan atmosfer tenang di antara mereka.
“Sudah berapa banyak kopi yang kau habiskan?” Rizal menyeringai, mencoba mengubah suasana.
Fatma mengangkat cangkirnya. “Cukup untuk memberi tenaga lebih banyak dari sekadar berkendara sepanjang malam…”
"Pikiranku merasa terganggu obat bayang bayang seseorang" Rizal tersenyum mengingat wajah Candra.
"Kau bisa berhenti bersembunyi di balik kopi, Rizal. Kita semua tahu siapa yang kau maksud." Fatma mengangkat alisnya, menantang.
"Sepertinya aku sudah jatuh cinta padanya Fat" Rizal menggigit bibir, mencoba menahan kegalauan yang menjalar.
Fatma menatapnya tajam. “Jadi, apa yang kau rencanakan besok? Menghubunginya? Atau membiarkannya menjadi kenangan semata?” Rizal mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit yang mulai gelap.
"Entahlah aku tak seberani itu," jawabnya. "Berani atau tidak, kau harus membuat keputusan, Rizal," Fatma berkata tegas, menatapnya tanpa berkedip. "Kau tidak bisa terus hidup dengan memendam perasaanmu itu, beritahu dia tentang yang kau rasakan."
Rizal mengerutkan dahi, berpikir sejenak. "Tapi bagaimana jika dia masih memikirkan masa lalunya" Fatma menyandarkan punggungnya ke kursi dan menghela napas. “Lihat, Candra sudah berusaha melanjutkan hidup, berlari menuju masa depan. Ku rasa dia sudah selesai dengan masa lalunya?"
Rizal merapatkan bibir. “Mungkin, tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.”
Fatma menggeleng. “Bertanya tidak akan melukaimu atau membuat harga dirimu jatuh" Rizal menghembuskan napas, merasa terdesak oleh kata-kata Fatma.
“Tapi bayangan Arman selalu ada di sampingnya. Aku tak mau jadi penghalang. Dia bisa saja memilih untuk kembali, dan aku…”
“Dan kau merasa terjebak dalam keraguan,” Fatma menyela. “Rizal, pikirkan ini. Kau tidak bisa mengubah masa lalu Candra, tapi kau bisa memberi dia peluang baru. Jika kau menghindar terus, siapa yang berhak menyesal?”
Rizal menggigit bibirnya mendengarkan kata-kata Fatma. Kepalanya berdenyut, seolah pikiran itu mendorongnya ke dalam kubangan ketidakpastian.
“Dan bagaimana jika aku terlalu terlambat?” Rizal menatap Fatma, wajahnya diwarnai keraguan.
“Terbaik yang bisa kau lakukan adalah melangkah. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam ketakutan,” Fatma menyemangati, matanya berk spark dengan serius. “Dapatkan kepastian atau biarkan dia pergi untuk selamanya. Jadi, apa keputusan yang akan kau ambil?”
Rizal mengalihkan pandangannya ke lantai, meresapi setiap kata Fatma. “Aku… aku takut,” katanya akhirnya, suara rendah dan bergetar.
Fatma menyandarkan punggungnya, menatapnya lembut. “Takut pada apa? Takut akan kegagalan? Atau takut menghadapi perasaanmu"
Rizal terdiam, mencoba menjawab pertanyaan itu. “Aku takut berjuang hanya untuk ditolak.”
"Ditolak adalah bagian dari cinta," Fatma menjawab, suaranya tegas, setiap kata mengandung keyakinan. “Tanpa risiko, tidak akan ada keberanian untuk mencintai. Kau tidak bisa membiarkan bayangan itu menghantuimu selamanya Rizal, sudah lah aku akan kembali bertugas semua keputusan ada padamu" Fatma meninggalkan Rizal.
Setelah kepergian Fatma Rizal mulai mencerna dan memikirkan setiap perkataan Fatma, Rizal duduk sendirian di ruang istirahat. Suara alat kesehatan di luar terdengar samar, seolah mengingatkannya pada ritme kehidupan yang tak henti-hentinya bergerak. Dia meremas cangkir kopi yang sudah dingin, merasakan ketegangan merayap di antara jari-jarinya.
“Berani atau tidak?” gumamnya, suara tertekan keluar samar.
Di dalam kepalanya, wajah Candra kembali muncul. Senyum cerianya, tawa ringannya saat mereka merencanakan setiap sudut kafe yang baru dibuka bersama Dira. Tetapi di balik kebahagiaan itu, ada rasa sakit yang selalu menggelayut. Arman, bayang-bayang masa lalu, jelas terlihat dalam ingatannya.
Rizal menatap jendela, langit di luar tergambar dalam warna oranye keemasan. Senja datang, gelap tidak jauh di belakang. "Apakah dia masih merindukan Arman?" tanya dirinya. “Atau kah dia sudah memberi tempat dalam hati untuk yang baru?”
Suara langkah kaki menghentikan lamunannya. Toni, salah satu rekan kerja, muncul di pintu. “Rizal! Rapat di ruang dokter, sekarang juga.”
“Baik,” jawab Rizal sambil berdiri dengan berat.
Rapat berlangsung singkat, berkaitan dengan jadwal pasien yang akan datang. Namun benaknya tetap melayang ke Candra. Setiap kali namanya disebut, hatinya berdenyut lebih kencang. Rapat itu hanya berlalu seperti angin, dan saatnya kembali ke tugas mengalami kekosongan yang melanda.
Setelah sesi rapat, Rizal kembali ke ruang periksa. Dia menarik napas dalam-dalam dan membenarkan jas labnya. Namun, pikirannya kembali terbang ke Candra.
Rasa cemas merembes dalam dirinya. Di tengah kesibukan rumah sakit, dia teringat saat mereka minum kopi di kafe, tertawa tanpa beban.
Kafe itu tak mungkin terlupakan—setiap sudutnya, aroma kopi yang menggoda, dan suara tawa mereka saling bertukar cerita. Mengingatnya membuat hatinya bergetar seperti denting lonceng.
Candra menatapnya dengan matanya yang cerah, menjelaskan kembali setiap detail cita rasa kopi yang mereka ciptakan.
...----------------...