NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.20 - Awal Semester Genap

Liburan semester hanya berlangsung selama dua minggu. Cepat sekali. Lail sudah menyiapkan keperluan sekolahnya untuk semester baru (yang mungkin akan penuh drama lagi).

Lail mengusap lehernya yang kini sudah kembali mulus. Drama Isvara dan Marina telah lama berakhir. Juga Giselle... Lail tak menyangka kasus yang menjeratnya adalah persoalan VCS¹.

(¹Videocall se*)

Lail (tak) sengaja melihatnya saat sedang membereskan berkas-berkas di Ruang BK. Pantas saja Bu Dea tertawa saat Lail mengira Giselle mendapatkan pembinaan karena bolos sehari saat itu. Entahlah, dia tak bisa melihat teman sekelasnya dengan cara yang sama seperti saat di awal- awal.

“Siapa itu cok?! Ganteng anjir!”

Teriakan genit dan centil terdengar oleh Lail. Sumbernya dari luar kelas. Dari lengkingan suaranya saja, Lail bisa menebak kalau itu suara Amanda dan Khalila.

Kalau ngeliat yang ganteng dikit aja langsung melek!

Lail mencibir mereka dalam hatinya. Formasi tempat duduk kelas ini masih memakai versi yang baru. Yang didapat dengan cara mengundi. Ini tidak adil, karena Lail duduk di paling depan. Meski ada Bening di sampingnya, tapi itu tak bisa mengaburkan fakta jika Lail duduk di depan.

“La, buang sampah yuk!”

Lail menengok pada Bening yang sudah menjinjing tong sampah. Lail mengangguk, kemudian mengambil tong sampah yang satunya. Mereka berjalan melalui lorong panjang. Tempat pembuangan sampah di sekolah ini ada di belakang gedung.

Ketika Lail memandangi lapangan pagi yang dipenuhi para siswi yang sedang berlatih voli. Mata Lail menemukan sosok baru yang asing di sekolah ini. Seorang pria dewasa, usianya mungkin pertengahan 20, memakai kemeja dan celana hitam. Langkah pria itu seolah diawasi oleh banyak pasang mata.

Itu guru yang diomongin sama Amanda 'kan?

Lail acuh tak acuh. Kemungkinan besar dia adalah guru baru. Sebab mustahil dia murid baru, ini 'kan sekolah khusus perempuan.

“Eh, kata Zeira kita jam pertama olahraga tau.” Kata Bening.

“Abis upacara?”

“Iyap.”

Lail mengernyit tidak senang. Selesai upacara langsung olahraga? Itu yang terburuk. Kalau begitu, mereka tak bisa langsung pakai seragam olahraga dari rumah.

Seusai membuang sampah, Lail dan Bening membersihkan tong sampah di kamar mandi. Lalu mengeringkannya di depan kelas. Seperti biasa, hari pertama sekolah hanya diisi dengan omong kosong, sekedar bincang-bincang dengan guru tanpa diberi materi.

Jam pertama, pelajaran olahraga. Seisi kelas mengira kalau Pak Juan, wali kelas mereka yang akan masuk. Tapi dugaan mereka keliru. Si guru baru lah yang justru masuk. Dengan pakaian serba hitam miliknya serta menenteng presensi kelas.

Seluruh pasang mata mengarah padanya. Ada yang terpukau, ada yang biasa saja, ada juga seperti Lail yang agak curiga. Curiga jika Pak Juan takkan mengajar mereka lagi.

“Pagi semuanya,” sapa guru baru itu.

“Pagi, Pak!” Seisi kelas menjawab dengan serempak.

“Saya di sini akan menggantikan posisi Pak Juan sebagai guru olahraga dan juga wali kelas kalian.” Jelas si guru baru. “Saya Hakan, mohon kerjasamanya sampai tahun ajaran baru.”

Satu kelas tampak bingung. Tapi mereka terlalu malu untuk bertanya. Melihat kebingungan murid-murid barunya, Pak Hakan pun angkat suara.

“Pak Juan dipindahtugaskan ke SMK Griya. Jadi, beliau gak bisa lanjut ngajar ke sini.” Jelas Pak Hakan.

Guru cowok yah... haish...

Lail meringis dalam hati. Dia tak suka guru cowok, yang masih muda pula.

...****...

Istirahat pertama, Lail, Nylam dan Bening pergi ke kantin. Lagi-lagi, Lail membeli batagor Mang Pundi. Sementara Nylam beli bakso balado dan Bening pergi ke warung yang menjual nasi uduk.

“Baru masuk udah disuruh buat makalah terus disuruh presentasi. Apa coba? Gurunya sok asik.”

“Iya, padahal gue gak bisa bikinnya. Rasanya pengen joki aja gue mah.”

“Gak tau lagi deh gue. Apa minta Vera aja ya?”

“Lah! Dia mah gak bakal mau!”

Mendengar percakapan ketiga siswi yang sedang mengantri bersamanya untuk membeli batagor Mang Pundi, Lail tersenyum lebar. Sebuah peluang emas, dan dia tak akan menyia-nyiakan peluang ini.

Lail membalikkan badannya, menghadap ketiga siswi yang barusan berbincang. “Mau aku bantu?”

Ketiga siswi itu menatap Lail heran plus canggung. Bagaimanapun juga, mereka tak mengenal Lail. Tapi Lail tiba-tiba saja bicara kepada mereka, menawarkan jasa joki.

Lail membusungkan dadanya bangga. Kalau soal uang, dia akan membuang jauh-jauh rasa malunya.

Apa itu malu?

“Kalau kalian gak percaya, liat nih!”

Lail mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan sesuatu kepada ketiganya. Mereka bertiga mengernyit. Itu adalah sertifikat juara ketiga membuat esai tingkat kabupaten. Tidak ada hubungannya sama sekali dengan makalah.

“Tapi itukan esai...” salah satu dari mereka angkat bicara, meski ragu karena tak enak dengan rasa percaya Lail yang berlebihan.

“Iyakah?” Lail sedikit panik, setelah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ternyata memang benar itu adalah sertifikat untuk lomba esai.

Lail mencari lagi bukti kuat bahwa dia mampu membuat makalah apalagi yang tingkatan buatan anak SMU yang terkadang tidak seberapa. Itu murah sekali. Karena Lail sudah sering membantu merevisi makalah kakaknya sendiri.

“Nih, kalau gak percaya.” Kini Lail memperlihatkan makalah yang pernah dia buat. Bukan hanya satu, tapi jumlahnya bisa menyentuh angka lebih dari dua puluh. Sebenarnya ini belum hebat sekali, tapi untuk ukuran anak SMU, bolehlah.

“Wah, ternyata lo gak bohong, ya...” salah satu dari ketiga siswi itu bersiul kagum.

Lail mengusap hidungnya. “Terus, harganya...”

Harga adalah elemen paling krusial. Menentukan apakah dia akan menggunakan joki Lail atau tidak. Lail harus berhati-hati, karena kantung anak sekolah, tidak sedalam para mahasiswa.

“Tenang aja~ aku punya harga pas buat anak SMU seangkatan.” Ujar Lail menenangkan.

“Kalau gitu, boleh deh!” Siswi dengan make up paling cetar itu setuju untuk menggunakan jasa Lail.

Lail menoleh pada kedua siswi lainnya.

"Aku juga mau!” Ucap siswi kedua, final.

Lail menatap siswi terakhir.

“Eh, aku satu kelompok sama dia.” Siswi ketiga menunjuk siswi pertama.

“Ouh...”

Akhirnya, kedua siswi itu memberikan nomornya pada Lail.

“Makasih ya, kutunggu rincian infonya.” Ucap Lail, kemudian dia berjalan menuju meja yang sudah ditempati Bening dan Nylam.

“Kok lama, ngapain aja?” Tanya Bening.

“Iya, ngobrol naon sia jeung tiga cewek tadi?” Tambah Nylam.

“Biasa,” Lail menaik-turunkan alisnya. Kemudian jempol dan telunjuknya saling menggesek, itu isyarat uang.

Bening nampak syok, “Ente malak mereka?”

Wajah Lail berubah masam. Berbeda jauh dengan Nylam yang tertawa terbahak-bahak. Tapi Bening tak paham dengan dua reaksi berbeda dari teman-temannya. Dia selalu menjadi tukang tanya kalau masih tak paham juga.

“Batagornya mana?” Tanya Nylam sembari mengalihkan topik.

Lail tergugu. Dia memandangi kedua tangannya yang kosong. Alamak, Lail lupa membawa piring batagornya.

“Aku balik ke Mang Pundi dulu,” Lail nyengir kuda, kemudian berlari cepat menuju gerobak batagor.

“Hadeuh...!” Bening menepuk jidatnya sendiri.

“Gara-gara duit, batagor malah kelupaan.” Cibir Nylam.

...****...

“Hm?”

"....!"

Di depan Ruang BK. Tidak disangka Lail akan berpapasan dengan musuh bebuyutan Isvara, siapa lagi kalau bukan Marina Lestari. Si kakak kelas buta cinta yang mencakar lehernya. Parahnya, empat garis memanjang di leher Lail dikatakan tak bisa hilang sepenuhnya, itu meninggalkan bekas permanen.

Melihatnya lagi saat ini membuat Lail ingin membalasnya dengan cakaran yang lebih dalam. Sayang sekali dia tidak tahu di mana letak urat nadi manusia.

Marina segera membuang mukanya menjauh. Perasaan bersalah masih menggerogoti dirinya hingga saat ini. Sementara Lail tampak tak acuh, walau dalam hati sudah geram sekali. Mau bagaimana lagi, masalah ini sudah selesai, untuk apa diperpanjang?

Hanya saja, Marina tak pernah meminta maaf padanya hingga saat ini...

Marina berjalan menjauh dari Ruang BK. Lail sendiri masuk ke ruangan tanpa melihat lagi ke arah Marina. Di dalam ruangan, hanya ada Bu Dea.

“Halo, Lail.” Bu Dea menyapa Lail.

“Halo, Bu Dea. Sibuk yah?”

Bu Dea tidak menjawab, beliau langsung menunjuk tumpukan kertas di depan mejanya. Hanya ada sekitar sembilan atau sepuluh lembar kertas. Tentu saja sedikit, sekarang masih awal semester. Lail bahkan yakin kalau kasus yang masih dikerjakan Bu Dea ialah kasus-kasus yang terjadi di semester gasal lalu.

“Saya mau beli makan siang dulu. Kamu udah makan siang, La?” tanya Bu Dea yang bangkit dari kursi legendarisnya.

“Udah, Bu.”

“Kalau gitu Ibu belikan es krim saja.” ujar Bu Dea. Beliau tersenyum hingga gigi gingsulnya nampak.

“Wah, gak perlu repot-repot, Bu.” Lail terlihat segan.

“Gak apa-apa. Tunggu ya.”

Lail mengangguk.

YESSSS!

Dalam hatinya, Lail bersorak riang. Siapa juga yang tidak suka dibelikan es krim? Hanya mereka saja yang tak bisa mentolerir laktosa. Kalau Lail, dibelikan yang satu ember besar pun akan dia habiskan hari itu juga.

Saat ini, Lail hanya sendirian di Ruang BK. Dia sudah biasa. Bu Dea juga entah kenapa punya kepercayaan yang besar sampai-sampai tak waspada. Bukan itu intinya, justru Lail lah yang harus menjaga kepercayaan itu. Jangan sampai dia merusaknya karena rasa penasaran.

Lail mendongak, menatap ke langit-langit ruangan, mencari keberadaan CCTV. Meski ruangan itu tak seberharga ruang kontrol keamanan apalagi ruang arsip. Tapi di ruang BK inilah semua aib sekolah terkumpul. Jika ada yang dicuri, maka guru BK akan disalahkan karena tak bisa menjaga kepercayaan yang diberikan Kepala Sekolah.

Di situ rupanya...

Ruang BK ini hanya memiliki satu CCTV saja yang menghadap ke pintu masuk. Itu masuk akal. Satu-satunya akses keluar dan masuk dari ruangan ini hanyalah pintu itu. Dua jendela yang ada juga fungsinya tak jauh beda dari ornamen sahaja karena tak pernah dibuka. Udara segar masuk melalui ventilasi ruangan.

Krek!

Lail terperanjat. Pintu ruangan terbuka. Mustahil Bu Dea yang membuka. Karena waktu kepergiannya belum genap lima menit. Padahal jarak kantin dan ruang BK itu dari ujung ke ujung bagian sekolah, sangat jauh.

Siapa?!

Lail memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang berani masuk di saat seperti ini. Karena jika itu anak bermasalah, maka Bu Dea takkan meninggalkan tempatnya sampai semua urusan selesai.

Jangan-jangan ada yang mau curhat–!

“Kok ada murid di sini?”

Lail diam terpaku. Bukan siswi, melainkan guru. Guru olahraga baru sekaligus wali kelasnya semester ini. Pak Hakan.

“Bu Dea mana?” tanya Pak Hakan.

“Bu Dea lagi beli makan siang dulu, Pak.” Jawab Lail.

Pak Hakan mengangguk paham, “Terus, kenapa kamu sendiri di sini?”

“Saya lagi bersih-bersih, Pak.” Lail menjawab cepat sebelum Pak Hakan salah paham tentang keberadaannya di sini. “Bapak tunggu aja di sini, sebentar lagi juga Bu Dea datang.”

Lail mengarahkan guru baru itu duduk di sofa yang menjadi tempatnya bersantai selama di sini. Pak Hakan duduk, kemudian memainkan ponselnya demi menghilangkan atmosfer berat di ruangan. Lail juga membiarkan pintu terbuka.

Lail menuju rak-rak berkas yang ada di bagian belakang ruangan. Tak lama, Lail bisa mendengar pintu ruangan tertutup. Lail mendadak panik.

Heh?

“Hakan? Kenapa ke sini?”

Baru saja mau keluar, kini Lail mendengar suara Bu Dea. Lail menghela napas lega. Dia memutuskan melanjutkan tugas beres-beresnya sebelum bel masuk berbunyi.

Bu Dea sama Pak Hakan ngomongin apa ya?

Sekonyong-konyong Lail berusaha mendengarkan percakapan antara Bu Dea dan Pak Hakan. Dia bersembunyi di balik rak berkas.

“Saya mau negur sih, tapi...” Bu Dea terdengar ragu.

“Bu, ini udah ngelewatin batas banget. Guru sama murid tuh harusnya gak punya hubungan di luar sebagai pengajar dan yang diajar. Ini udah ngelanggar kode etik sebagai seorang guru.” Tegas Pak Hakan, dari suaranya saja dia sudah terdengar resah.

“Iya. Tapi, Hakan. Kamu juga tahu kalau dia sama sekali gak bisa dikasih tahu. Sebagai teman seangkatannya, kamu yang paling kenal sama dia.” Imbuh Bu Dea.

Tidak ada perdebatan lagi antara Bu Dea dan Pak Hakan. Lail, yang duduk di balik rak hanya bisa tercenung.

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!