NovelToon NovelToon
Sisi Gelap Sebuah Klinik

Sisi Gelap Sebuah Klinik

Status: sedang berlangsung
Genre:Rumahhantu / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

Doni, seorang anak yang menitipkan hidupnya di sebuah klinik, namun ternyata klinik tersebut menyimpan sejuta rahasia penting, terutama untuk hidupnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

penyesalan doni

Doni duduk di ujung kursi, matanya terfokus pada kotak kardus yang diletakkan di atas meja. Dalam kotak itu, terbujur foto-foto lama dan beberapa surat usang. Sorot wajahnya merona dengan rasa bersalah. Lupakan berkas yang dia temukan, pikirnya. Tubuh Maya bergetar di sudut ruangan, wajahnya memucat. Dia baru saja menceritakan kejadian pahit yang menimpanya.

"Aku tidak pernah membayangkan akan dipecat seperti itu," suara Maya bergetar, hatinya penuh kesedihan.

Doni meraih tangan Maya, mencoba memberikan dukungan. "Maya, ini bukan salahmu. Dia hanya mencari kambing hitam."

"Begitu mudahnya dia menuduhku. Dia tidak peduli semua kerja keras yang aku lakukan." Maya menghela napas panjang, pandangannya menerawang ke arah jendela.

"Jangan biarkan itu menghancurkanmu. Kita akan mencari cara untuk mengembalikan namamu," gumam Doni, berusaha meyakinkan.

Maya menatapnya, matanya sudah memerah. "Kamu dan Ara selalu membicarakan soal investigasi tentang klinik ini. Tapi aku,... aku terjebak. Mereka tidak percaya padaku."

Doni menghentakkan tangan, merasa frustrasi. "Aku seharusnya tidak terbawa perasaan ini. Apa karena penelitianku tentang Exora semua ini terjadi padamu?"

Maya menunduk, menyeka air mata yang mulai mengalir. "Kamu tidak bisa mengubah masa lalu, Doni. Tapi jika kita bisa mencarikan penyebabnya, mungkin kita bisa menggulingkan tuduhan itu."

"Selama ini, aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan di klinik. Setelah aku menemukan berkas itu, Pasti ada kaitan dengan ibuku," ungkap Doni.

"Memangnya, apa isi dokumen itu?" Maya bertanya, mencoba menangkap utuhnya situasi.

Doni menggelengkan kepalanya. "Belum aku periksa dengan jelas. Mungkin ada sesuatu yang bisa membantu membuktikan ketidakadilan ini.”

“Beranikan dirimu untuk membuka kembali misteri itu,” Maya menegaskan. “Kami harus pergi ke sana.”

Doni teringat wajah Ara, saat dia meneleponnya tadi malam. Ara, yang berapi-api, selalu penuh energi.

Doni berdiri, menatap Maya dengan semangat baru. “Kita butuh Ara. Dia tahu banyak tentang klinik itu.”

Maya mengangguk pelan. "Kita harus menemukan bukti. Jika kita bisa menemukan ada sesuatu di berkas itu yang menyangkut pasien-pasien hamil, bisa saja itu bobot yang berat untuk dr. Smith."

Dengan tanga bergetar, Doni mengambil ponselnya dan menghubungi Ara.

“Ara, bisa kamu datang ke sini? Kita butuh bantuanmu,” suaranya penuh harap.

“Sudah tahu info terbaru? Oh, aku ke klinik sebentar lagi. Tunggu sebentar, ya!" suara Ara semangat, membuat Doni merasa terasa lebih baik.

Doni menutup telepon dan memandangi Maya. “Dia akan segera datang. Kita perlu membicarakan rencana yang lebih matang.”

Beberapa saat kemudian, Ara masuk ke ruangan dengan senyum lebar. “Apa kabar, teman-teman?”

"Sialnya, Maya dipecat," jawab Doni tanpa basa-basi.

Ara terperanjat. "Apa? Kenapa?"

“Dia dituduh meracik obat tanpa izin,” jelas Doni. "Tetapi ini semua gara-gara klinik yang kita selidiki."

Ara mengernyitkan dahi. “Doni, kita harus membela dia. Tapi kita perlu bukti lebih.”

Maya meringis, hatinya bergejolak. “Itu tidak adil. Selama ini aku bekerja keras dan kini semua itu hancur. Semua gara-gara dokter yang egois!”

Ara meraih tangan Maya, menenangkannya. “Kami akan menemukan cara. Mungkin ada sesuatu di arsip yang bisa kita gunakan untuk membalikkan keadaan.”

Doni mengangguk. “Aku juga berpikir begitu. Ada sebuah barang yang harus kita selidiki lebih dalam. Mari kita kembali ke klinik.”

"Dan kali ini," Ara menambahkan, "kita perlu mencerna informasi dengan hati-hati."

Perjalanan menuju klinik dipenuhi perasaan tegang dan harapan. Ketiganya memasuki ruangan yang dingin, persis seperti yang Doni ingat ketika dia pertama kali mulai bekerja di sana. Aroma antiseptik tetap menyengat hidung.

Maya berjalan ke rak arsip dengan penuh ketekunan. “Coba kita lihat catatan dari tahun lalu,” usulnya, mengulurkan tangan untuk menggeser beberapa lemari tua.

Doni menatap Ara. “Kita perlu bersikap seperti tidak ada yang terjadi.”

Ara mengangguk, menyentuh bahu Doni. “Bertindak seolah-olah kita hanya memeriksa hal biasa.”

Beberapa saat berselang, Maya menemukan tumpukan berkas dengan catatan pasien hamil. “Ini dia! Lihat!”

Doni melongok, menemukan nama-nama yang tidak asing baginya. “Ini... Ibu-ibu dengan penyakit yang sama. Kenapa mereka semua datang ke sini?”

“Ini sangat mencurigakan,” bisik Ara, sambil mengamati lembaran berikutnya. “Ternyata mereka tidak diperiksa dengan lengkap.”

“Bisa jadi ini ada hubungannya dengan ibuku,” gumam Doni, berpikir keras.

Ketiganya kembali meneliti setiap catatan. Wajah mereka serius, pemikiran berputar-putar, seakan diganggu oleh jawaban yang tak kunjung ditemukan.

Maya tiba-tiba terdiam. “Doni, lihat!” Dia menunjuk pada satu berkas. “Ini alamatnya mirip dengan yang ditulis di kertas kecil itu.”

Doni meraih berkas itu, matanya menatap intens. "Apa? Satu alamat untuk semua pasien yang disebutkan?"

Ara mendekat, ikut memeriksa. "Kita harus pergi ke alamat ini."

Detak jantung mereka berdetak cepat. "Tidak ada waktu yang lebih baik dari sekarang. Jika kita bisa ke sana dan menemukan apa pun yang berkaitan dengan ini—"

“Tunggu,” Maya memotong. “Dalam kondisi seperti ini, kita harus ekstra hati-hati.”

Doni mengangguk, semangatnya teraihan, namun kesadaran akan bahaya tumben membuatnya waspada.

“Kita harus membawa berkas-berkas ini. Ini bisa menjadi petunjuk penting,” ungkap Ara, mengumpulkan dokumen-dokumen yang mereka temukan.

Maya menyimpan berkas ke dalam tas, matanya berkilau. “Kita harus mengonfirmasi informasi ini sebelum melangkah lebih jauh.”

Saat mereka bersiap keluar, Doni berhenti sejenak. “Tapi, jika kita ketahuan...”

“Maka kita putuskan semua ini bersama-sama,” Ara memotongnya tegas. "Kita berani menghadapi risiko ini."

Doni mengangguk, menambahkan tekad baru dalam hatinya. Di luar klinik, dia merasa ada secercah harapan. Pertarungan untuk mengungkap kebenaran baru saja dimulai.

Mobil Doni melaju pelan di jalanan sepi. Hening menggantikan suasana, namun di dalam kendaraan, ketiga sahabat itu menciptakan aura tegang.

“Apakah kamu yakin dengan alamat ini?” Ara bertanya sambil memandang peta di ponselnya.

Doni menatap lurus ke depan. “Ini informasi yang kita dapat dari berkas itu. Sekarang tinggal menuju ke sana.”

“Jangan khawatir, kita bisa memeriksa lingkungan sekitar sebelum memasuki tempat itu,” Maya menambahkan, berusaha mengurangi ketegangan.

Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di depan sebuah rumah tua yang tampak suram. Catnya terkelupas dan jendelanya berdebu, hampir tidak terlihat ada kehidupan di dalamnya.

“Sepertinya tidak ada orang di sini,” bisik Ara, meraih pegangan pintu.

“Mungkin terlalu gelap di dalam,” Doni menjawab, khawatir. "Tapi kita harus masuk dan melihat lebih dekat."

Doni mematikan mesin mobil dan melangkah keluar dengan kedua teman di sampingnya. Di depan pintu, mereka saling berpandang, saling menguatkan dengan tatapan. Doni mengetuk pintu dengan pelan, suara ketukannya menembus keheningan malam.

“Apa kau pikir kita benar-benar harus melakukannya?” Maya bertanya, matanya mengamati sekitar.

“Kalau bukan kita, siapa lagi?” Ara menjawab dengan yakin. “Kita sudah sampai di sini. Kita selangkah lebih dekat dengan jawaban.”

Doni mengangguk. Dengan satu dorongan, dia membuka pintu. Tak ada bunyi yang terdengar, kecuali suara kresek dari kayu. Mereka melangkah masuk, membawa gelap dengan mereka.

Pencahayaan yang minim membuat ruang dalam rumah itu terlihat lebih misterius. Debu memenuhi ruangan, dan aroma tua tercium dari segala sudut.

“Lihat, ada tangga ke atas,” Ara menunjuk ke arah tangga berderit. “Ayo kita periksa.”

Maya menciptakan jarak baik dengan langkahnya yang hati-hati, sementara Doni berjalan di belakang. Mereka naik tangga itu pelan-pelan, setiap langkah menambah ketegangan.

Di lantai atas, mereka menemukan tiga ruangan. Satu di ujung berisi banyak kotak tua dan satu lagi, pintunya sedikit terbuka.

“Mari kita buka yang ini,” kata Doni, menunjuk ke pintu yang terbuka.

Maya menahan napas saat mereka mendekat. Doni menggerakkan pegangan pintu.

“Siapa yang mau masuk dulu?” Ara bersuara, nada suara membangkitkan sedikit ketegangan.

1
anggita
like👍+☝iklan. moga novelnya sukses.
anggita
Doni.. Ara,,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!