MANTAN. Apa yang terbesit di pikiran kalian saat mendengar kata 'MANTAN' ?
Penyesalan? Kenangan? Apapun itu, selogis apapun alasan yang membuat hubungan kamu sama dia berubah menjadi sebatas 'MANTAN' tidak akan mengubah kenyataan kenangan yang telah kalian lewati bersama.
Meskipun ada rasa sakit atas sikapnya atau mungkin saat kehilangannya. Dia pernah ada di garis terdepan yang mengisi hari-harimu yang putih. Mengubahnya menjadi berwarna meski pada akhirnya tinta hitam menghapus warna itu bersama kepergiannya.
Arletta Puteri Aulia, gadis berkulit sawo matang, dengan wajah cantik berhidung mancung itu tidak mempermasalahkan kedekatannya lagi dengan cowok jangkung kakak kelasnya sekaligus teman kecilnya-- Galang Abdi Atmaja. Yang kini berstatus mantan kekasihnya.
Dekat? Iya,
Sayang? Mungkin,
Cemburu? Iya,
Berantem? Sering,
Jalan bareng? Apa lagi itu,
Status? Cuma sebatas mantan.
Apa mereka akan kembali menjalin kasih? Atau mereka lebih nyaman dengan -MANTAN RASA PACAR- julukan itu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmi SA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Arletta duduk termangu di depan teras rumahnya. Menunggu Bian yang belum juga datang, tadi ia mengiriminya pesan akan ke rumah. Ia menegakkan tubuhnya saat motor Bian memasuki halaman rumahnya.
Bian turun dari sana dengan sebuah plastik di tangannya. Ia mendekati Arletta dan menaruh plastik itu di depan Arletta.
“Kamu hutang satu hal sama aku,” ucap Bian menatap wajah bingung Arletta. Arletta membuka plastik itu dan tersenyum.
“Iya. Sini duduk,” ucap Arletta menarik satu kursi mendekat padanya. Bian duduk di depan Arletta. Arletta mengambil kotak obat di dalam plastik itu dan mulai mengobati luka Bian.
“Kamu dari mana? Kenapa chatku ngga dibuka. Ditelfon ngga diangkat.” Arletta terus menggerutu sambil mengobati Bian.
“Maaf, lagi di jalan tadi.”
Arletta mendengkus, “kamu ngga apa-apa?” Tanyanya lirih. Melihat Bian yang tidak banyak senyum seperti biasanya membuatnya cemas.
Bian meraih tangan Arletta yang masih di depan wajahnya. Ia meletakkannya di pipinya sendiri.
“Apa aku kelihatan baik-baik aja?”
“Maaf,” ucap Arletta lirih. “Kenapa kamu minta maaf sama aku?” Bian masih saja menatapnya.
Arletta menatapnya sendu. “karena Galang, kamu jadi-"
“Kenapa kamu minta maaf? Yang mukul aku Galang bukan kamu,” potong Bian.
“Iya aku tahu, tapi karena-“
“Karena dia pikir aku bakalan cium kamu kan?”potongnya lagi. Arletta mengernyit. Bian tersenyum. “Galang masih sayang sama kamu?”
Arletta menatap Bian dalam diam. Bian melepaskan tangan Arletta dari pipinya. “Kalo Galang udah lupain kamu, dia ngga akan cemburu sampe mukul aku.”
“Aku paham, karena aku juga cowok. Aku juga bakal ngelakuin hal yang sama kalo orang yang aku sayang pacaran sama orang lain. Apalagi dia sahabatnya sendiri,” tambahnya.
Hening.
“Kamu marah?” Tanya Arletta pelan. Bian mendongak lalu tersenyum. Ia mengacak pelan rambut Arletta. “Ngapain aku marah. Yang cemburu kan dia, yang belum bisa move on kan dia,” ucap Bian masih tersenyum.
Arletta tersenyum tipis.
“Kecuali, kalo kamu juga belum bisa move on dari dia.”
Kembali hening. Bian dapat melihat dengan jelas Arletta yang enggan menjawabnya. Arletta menunduk, ia kembali diam. Dengan pelan ia menatap mata Bian. Bian tengah tersenyum menatapnya.
“Aku tau kenapa kamu ngga mau nerima aku jadi cowok kamu,” ucapnya datar.
Bian menoleh ke luar lalu kembali menatap Arletta, “bentar lagi maghrib, aku pulang dulu ya.” Pamit Bian berdiri dari sana.
“Bi,” seru Arletta saat Bian akan menaiki motornya. Bian menoleh. Arletta mendekat padanya, “maafin aku.”
Bian tersenyum memeluknya sejenak. “Makasih Ta.”
***
Pagi, seperti biasa. Bian dan Arletta berjalan bersama dari arah parkiran karena memang mereka berangkat bareng.
Baru beberapa langkah meninggalkan motornya, motor Galang datang. Bian berhenti begitu pun Arletta.
Raya yang sudah turun dari motor Galang pun mendekati Arletta dan mengajaknya jalan bersama. “Ta, gue ngga ada...”
“Lo masih setia sama Kak Rafa?” Tanya Arletta menyipitkan matanya. Raya membuang wajahnya, ia bahkan bimbang dengan perasaannya sendiri.
“Gue ngga tahu,” jawabnya lirih. Arletta menghela nafas, “akhir minggu ini Kak Rafa balik lagi ke Korea.”
Raya mendongak. “Sebelum terlambat, mending lo pikirin baik-baik, gimana perasaan lo sama dia,” ucap Arletta tersenyum.
***
“Udah lo pikirin baik-baik?”
Galang menoleh tanpa berniat menjawab pertanyaan orang di sampingnya itu. Mereka tengah berjalan bersisian menuju kelas mereka.
“Gue tahu, ini bukan soal lo lagi, tapi soal Tata. Gue akan berhenti, kalo emang dia benar-benar milih lo,” ucap Bian menatap lurus ke depan.
“Gue yang akan mundur, jangan pernah mainin perasaan Tata,” ucap Galang mengalihkan tatapannya. Bian menoleh dan berhenti di depan Galang. “Ck, lo bakalan nyesel” decak Bian lirih mungkin Galang pun tak akan mendengarnya.
“Oke, kalo itu keputusan lo.” Bian mengulurkan tangannya di depan Galang. Galang berdecak lirih menatap tangan itu.
Saat tidak ada balasan di tangannya, Bian menepuk bahu Galang.
“Gue ke kelas dulu sob,” ucap Bian berbelok ke kelasnya. Galang menatap ke kelas Arletta. Gadis itu tengah berbincang dengan temannya. Ia menghela nafas berat lalu pergi dari sana.
***
Sementara itu Andini di rumahnya tengah menatap ponselnya datar. Sebelum kemudian ia menaruhnya asal di atas kasurnya. Beberapa menit lalu ia mendapat pesan dari seseorang.
“Sahabat macam apa yang bisa tersenyum bahagia saat sahabatnya yang lain tengah kesusahan..”
Lalu tak lama kemudian sebuah potret dua sahabatnya tengah berbincang asyik dengan cowok yang kini duduk di bangkunya.
Andini berdecih. Hanya membayangkannya saja dia sudah muak.
Prang...
Suara itu terdengar lagi. Andini mengambil kasar bantal di sampingnya untuk menutupi kedua telinganya.
Sudah dua kali sejak ayahnya pulang. Rumah yang awalnya tenang, kini ramai karena pertengkaran ayah dan ibunya.
Mereka memang sudah bercerai. Ayah Andini sudah menikah lagi dan ia ingin membawa Andini ikut bersamanya. Namun ibu Andini dengan keras membantahnya. Pada akhirnya Andini mengalah untuk tetap di rumah, bahkan untuk keluar kamar pun ibunya tidak mengijinkan. Kecuali jika ayahnya sudah pergi.
Mengingat foto yang ia terima tadi, ia berpikir andai dulu ia ikut dengan ayahnya, mungkin ia tidak akan pernah mengenal Arletta dan Raya sekarang. Mungkin dia juga tidak akan merasa susah seperti sekarang.
Namun ia juga tidak ingin meninggalkan ibunya.
Perlahan ia turunkan bantal yang menutupi telinganya itu. Suara pecahan barang di rumahnya sudah tidak terdengar lagi. Ia kembali merasa tenang. Ya, setidaknya untuk sekarang.
Ia menjatuhkan kepalanya di atas bantal tadi, dan memejamkan matanya. Bulir air matanya perlahan menetes. Ia memang tidak bisa memperlihatkan kerapuhannya di depan kedua sahabatnya. Yang ia lakukan hanyalah bertingkah seolah-olah dia tidak memiliki masalah apapun.
***
“Pulang ini ke rumah Andini yuk,” ajak Arletta pada Raya. Ia mengangguk antusias.
“Ngapain?” Tanya Bian menoleh.
“Jenguk temen lah, siapa tahu dia sakit. Lo mau ikut?” Tanyanya pada Bian. Bian mengangguk.
“Heh? Gue gimana?” Tanya Raya menunjuk dirinya sendiri.
“Udah, ntar juga ada ojek lo kok,” ucap Bian tersenyum miring. Bian dan Arletta pergi lebih dulu meninggalkan Raya sendiri di parkiran.
Benar saja, beberapa saat kemudian Galang menghampiri Raya. “Yuk.”
“Eum Lang, tapi kita mau ke rumah Andini, lo bisa nganterin ke sana bentar ngga? Ntar lo langsung pulang deh.”
Galang tersenyum manis lalu mengangguk. Merekapun pergi meninggalkan parkiran sekolah.
Tak butuh waktu lama motor mereka hampir sampai tujuan.
“Yang mana rumahnya?” Tanya Galang menoleh sedikit. Raya menunjuk di depan Galang, “itu belok di gang itu.”
Galang mengangguk.
“Nah itu Arletta udah nyampe,” ucap Raya menunjuk dua orang di depan rumah bercat oranye itu. Galang menghela nafas berat, tak sengaja motor itu menabrak batu kecil di sana. Ia pun mengerem mendadak membuat tubuh Raya terhuyung ke depan dan memeluk Galang.
“Wah gila lo ya! Sengaja modus?” Dengkus Raya. Galang menoleh. “Sorry, lo nggapapa kan?”
Raya hanya menggeleng.
Mereka turun dari motor itu. “Ngapain ikut turun? Lo pulang aja, gue bisa pulang sendiri kok,” ucap Raya saat melihat Galang ikut turun dari motornya.
Galang melirik Arletta yang memang sejak tadi menatapnya. Kembali ia menatap Raya. “Gue tunggu sampe lo pulang, kan gue udah janji bakal ngikutin ke mana lo pergi.” Ucapnya tersenyum.
Raya mengernyit, “sejak kapan lo bikin janji itu? Lagi pula, gue udah sembuh Galang, lo udah ngga perlu anter jemput gue lagi.”
“Udah lo nurut aja sama gue,” bisik Galang. Raya semakin heran. Ia menoleh ke belakang, di sana Bian dan Arletta tampak tengah memandanginya dan Galang, terutama tatapan datar Arletta padanya. Kembali ia menatap Galang.
“Lo mau manfaatin gue buat bikin Arletta cemburu?”
Galang menghela nafas panjang, Raya cukup pintar dalam hal seperti ini. Raya bersedekap di depannya, “Lo ngga mikir apa akibatnya nanti?”
Galang menghela nafas panjang lalu memegang kedua bahu Raya. Membuat Raya menatapnya heran.
“Kalau nantinya lo baper sama gue, gue bakal tanggung jawab.” Ucap Galang serius. Raya terdiam sesaat. Ia menatap Galang lekat. Lalu berbisik.
“Gila!”
tinggal urusan cintanya aja yang masih jauh🤭