Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Ning Annisa?
Setelah beberapa menit Balqis diam di kebun. Akhirnya dia pun kembali ke kobong dengan perasaan campur aduk. Dia juga berusaha terlihat biasa saja di depan orang-orang. Dia tidak ingin mereka tahu kesedihan terdalamnya.
Ceklek!
"Balqis, dari mana kamu? Kita menunggumu dari tadi," tanya Melodi.
Balqis masuk dengan malas ke dalam. Dia mendudukkan dirinya di depan mereka yang tengah membuka oleh-oleh. "Gue abis keliling aja. Males banget diem di kobong."
Mata Balqis masih memperhatikan oleh-oleh mereka. Dia juga cukup penasaran dengan isinya.
"Balqis, ini untukmu," Raras menggeser cemilan dalam kemasan plastik bening. "Rasanya enak loh!"
Balqis mengambilnya. Dia memperhatikan cemilan yang berbentuk kecil itu.
"Ini namanya apa?"
"Kacang sumput atau kacang sembunyi. Di dalamnya ada kacang, jawab Raras. "Pokonya rasanya enak!"
Balqis yang mendengar namanya dibuat bengong. Ini untuk pertama kalinya dia mendengar nama makanan seasing itu.
"Ini namanya seblak kerupuk mawar. Rasanya juga enak!" ucap Siti. " Untuk kamu satu bungkus,"
Balqis tersenyum nyengir. Lagi-lagi dia mendengar nama makanan yang baru.
"Ini kue kancing. Rasanya manis," Siska menggeser satu bungkus kue pada Balqis. "Kamu pasti suka!"
"Kalau ini sambal cumi, ada petenya juga. Ibuku membawa enam untuk dibagikan," Amel membagi sambal satu orang satu kaleng kecil.
"Kalau ibuku bawa sayuran buat dimasak. Terus daging ayam, tumis dan orek tempe buat kita makan sekarang," ujar Melodi sambil membuka makanannya. "kita makan sama-sama, ya?"
Raras langsung mengambil piring, sedangkan Amel mengambil nasi. Mereka akan langsung makan bersama-sama.
"Qis, Daddy kamu tidak ke sini?" tanya Siti di sela makan.
"Nggak. Daddy sibuk sama kerjaannya," jawab Balqis sambil terus mencocol sambal yang rasanya pas di lidahnya.
"Orang tuaku juga sibuk bekerja, tapi mereka tetap menyempatkan diri untuk melihatku," sela Raras.
"Emangnya kerja apa orang tua kalian?" tanya Balqis.
"Orang tuaku petani," jawab Melodi antusias.
"Orang tuaku sama seperti orang tua Amel, pedagang di pasar," timpal Raras.
"Orang tuaku pemilik tempat makan," lanjut Siti.
"Orang tuaku dong, pemilik peternakan di darat maupun di air," sela Siska.
"Pekerjaan Daddy itu beda sama kalian. Daddy itu meskipun tangan kanannya CEO Danniel Henney tapi dia adalah ketua dari Organisasi... jadi dia harus ngurus orang-orang yang ada di organisasi, dan itu pun nggak hanya di indonesia loh... Di luar negeri pun banyak! Dia yang mengatur... Meskipun dia terus nolak jadi Ketua tapi karena wasiat Uncle Nathan mau nggak mau dia terus dijadikan ketua apalagi memang para anak buah Daddy setia banget sama Daddy... Termasuk Om Abraham."
Melodi beserta yang lain menatap Balqis dengan lekat.
"Jangankan ngeliat gue di sini, pas di rumah aja dia nggak punya waktu buat gue. Pergi pagi pulang malem, malah bisa berhari-hari dia nggak pulang-pulang!" sambung Balqis.
"Apa kamu tidak kesepian?" tanya Siska.
"Nggak. Kan ada baby sitter yang nemenin gue. Lagian duit gue banyak, Gue bisa ngabisin waktu buat shopping, jalan-jalan," jawab Balqis.
"Kenapa tidak ditabung uangnya? Dari pada dihamburkan seperti itu," tanya Raras.
"Ngapain nabung? Uang gue banyak, nggak bakalan abis meskipun nggak nabung." jawab Balqis enteng.
Mereka yang awalnya kasihan karena Balqis selalu ditinggal orang tuanya seketika berubah masam, karena lagi-lagi dia menyombongkan dirinya.
Setelah selesai makan, Balqis langsung melihat dengan teliti dirinya di kaca. Sedangkan yang lain membereskan barang-barang mereka.
Balqis sangat sibuk memperhatikan dirinya sedetail mungkin. Dia takut badannya menjadi gemuk karena makan terlalu banyak barusan.
"Mel, gue gendutan nggak?"
"Nggak, Qis. Kamu masih tetap sama seperti pertama kali datang ke sini," jawab Melodi.
"Qis, seharusnya kamu seneng badan gemukan. Karena itu tandanya kamu betah dan nggak kelaparan tinggal di sini," sela Siti.
"Enggak ada dalam sejarah gue gendut, ya. Lagian ogah banget badan gue harus lebar kayal lo," balas Balqis.
Siti seketika langsung membuang wajahnya. "Biarin gendut karena itu tandanya aku enggak kekurangan makanan,"
"Cih... Itu sih menurut lo ya. Soalnya kalo buat gue tetep harus jaga badan supaya tetep langsing, mulus, putih, bersih," balas Balqis sambil memperlihatkan kulitnya. "kayaknya gue harus ke toko kosmetik deh buat beli lulur supaya kulit gue tetep kinclong,"
"Harus banyak istigfar ngadepin dia mah." ucap Raras.
"Tidak ada toko begitu di sini," sahut Siska.
"Whaaatt?" pekik Balqis. "Mau ke Mall jauh dari sini ke toko kosmetik kecil juga nggak ada, bisa-bisa kulit gue kekeringan,"
"Ternyata orang kaya hidupnya ribet!" bisik Amel.
"Nggak semua, Amel. Karena yang seperti itu hanya Balqis doang!" sahut Siti.
Balqis tidak mendengarkan obrolan mereka. Dia masih sibuk mengurus badan dan kulitnya yang takut berubah ini itu.
***
Puk!
Puk!
Tangan mungil Balqis sejak tadi tidak diam. Dia terus menepuk nyamuk yang hinggap di kulitnya. Dan tidak hanya itu, suara nyamuk seakan-akan tengah bernyanyi di telinganya.
"Argghhh!"
Balqis beranjak. Dia mengibas-ngibaskan selimutnya agar nyamuk pergi jauh darinya. Apalagi sekarang kulitnya sudah merah-merah.
"Ck... Gue nggak bisa tidur kalo kayak gini?"
Bukan hanya nyamuk yang menyerangnya, rasa panas dan gerah pun ikut hadir.
"Eh, di mana Melodi?"
Balqis celingukan seorang diri. Dia tidak mendapati Melodi di dekatnya.
"Apa dia di luar?"
Karena penasaran Melodi pergi ke mana, dia pun beranjak keluar kamar sambil terus celingukan.
Tap!
Langkahnya terhenti, matanya menatap musholla yang lampunya menyala. Dia pun mengendap-endap menghampiri.
"Melodi!"
Balqis tertegun saat melihat Melodi tengah berdzikir. Tangannya terus bergerak menggeser bulatan kecil berwarna putih. Setelah selesai, dia mengangkat kedua tangannya melambungkan do'a-do'a pada Sang Maha Kuasa.
Balqis masih berdiri di tempat, dia anteng memperhatikan Melodi yang kini membuka Al-Qur'an setelah berdo'a.
Dia melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan sangat merdu.
Ini juga untuk pertama kalinya Balqis mendengar suara Melodi, biasanya dia mendengarnya yang bersamaan dengan santri lain.
"Dia emang cewek sempurna, beda banget sama gue."
Wajah Balqis memelas. Pikirannya memutar mengingat tentang Melodi yang sangat jauh berbeda dengannya. Bahkan kepribadian Melodi bisa dibilang lemah lembut. Dia juga pintar dan sopan.
Balqis yang sejak tadi berdiri memilih pergi. Dia mendudukkan dirinya di tempat tidur sambil membuka jendela kamar. Dia menatap bintang yang bertaburan di langit.
"Apa Gue bisa jadi kayak Melodi yang sholehah?"
Tap!
Tap!
Balqis langsung menutup jendela. Kemudian membungkus dirinya dengan selimut saat terdengar langkah kaki. Dia yakin itu Melodi yang baru kembali.
Ceklek!
Dan benar saja, Melodi kembali ke kamar. Dia menyimpan mukenanya di tempat biasa. Sebelum tidur, dia membaca do'a terlebih dahulu.
Tentunya hal itu didengar Balqis yang sedang pura-pura tidur. Dia tahu, do'a yang dibacakan Melodi do'a yang kemarin ditulisnya.
"Huh! Ternyata emang sulit kalo harus ngelakuin kayak Melodi."
Setelah beberapa detik, mata Balqis kembali terpejam. Dia terlelap masuk dalam mimpi indahnya.
*****
"Allahu Akbar."
"Allahu Akbar."
Adzan subuh tengah berkumandang. Semua santri dan masyarakat yang hadir sudah berada di dalam mesjid untuk melaksanakan shalat subuh lalu tadarus.
Setelah adzan selesai, semua orang pun shalat sunnah qobliyah terlebih dahulu. Namun tidak termasuk Balqis, dia sejak tadi memeluk lututnya sambil memperhatikan Melodi yang tengah shalat.
Melodi begitu khusyuk sampai tidak memperdulikan Balqis yang menatapnya dengan teliti.
"Hah!"
Balqis membenarkan posisi duduknya saat Melodi selesai shalat. Dia sudah yakin kalau dia akan mempertanyakan kenapa menatapnya.
"Eh!"
Balqis menoleh karena Melodi sama sekali tidak bertanya, dia malah kembali berdiri bersama dengan yang lain.
"Qis, berdiri! Kita shalat berjamaah."
Setelah beberapa menit, shalat subuh beserta dzikir sudah selesai dilaksanakan. Kini semua orang tadarus bersama-sama membaca surah Al-Waqiah.
"Itu gimana bacanya, Mel?"
Balqis tidak memilih mengambil iqro dan membacanya, dia memilih mendengarkan sambil memperhatikan ayat-ayat Al-Qur'an yang tengah dibaca.
"Mel, ini gimana bacanya?"
"Kamu harus bisa dulu baca iqro, karena bila baca iqro sudah lancar kamu pasti akan bisa membaca Al-Quran seperti ini,"
"Oh!"
Melodi mengangguk pelan. Kemudian kembali melanjutkan tadarus lagi. Sedangkan Balqis celingukan ke sana sini melihat celah karena ingin keluar.
Beberapa menit berlalu. Setelah semua santri selesai sarapan pagi, mereka mengambil kitab. Kemudian bersama-sama pergi ke mesjid untuk kembali mengaji.
Termasuk Balqis. Dia memang belum bisa membaca kitab, tapi dia tetap harus mengikuti pengajian untuk mendapatkan wawasan lebih banyak lagi.
Dengan langkah gontai dan beberapa kali menguap, Balqis mengikuti Melodi di paling belakang. Dia sangat malas mengikuti pengajian, namun dia tidak bisa menolak karena semua santri harus pergi ke mesjid.
Karena malas yang luar biasa, Balqis duduk di dekat pintu. Dia ingin mencari kesempatan untuk kabur.
Setelah beberapa menit mengaji dilakukan. Semua santri mendengarkan sambil mengangguk-ngangguk paham.
Namun tidak dengan Balqis, dia merasa tersindir dengan ceramah sang Ustadz yang menjadi guru pagi ini. Beliau menjelaskan tentang tidak boleh menyombongkan diri.
Bahkan semua yang pernah Balqis lakukan terseret menjadi contoh sifat tercela.
"Ini ceramah atau apa'an sih, Mel?" tanya Balqis.
"Memangnya kenapa, Qis?" Melodi bertanya balik.
"Ustadz itu bilang membanggakan diri sendiri itu sifat tercela. Emang apa salahnya kalo kita membanggakan diri?" jawab Balqis.
Melodi tersenyum. Dia kira Balqis sejak tadi acuh terhadap penjelasan Ustadz, namun ternyata dia tersentil juga.
"Qis, karena sudah jelas itu salah. Kita sebagai manusia tidak boleh membanggakan diri. Karena sifat itu dibenci Allah."
Balqis berdecak kesal. Karena bukan hanya sang Ustadz yang tengah menyindirnya, melainkan Melodi pun ikut-ikutan.
"Ciih.... Kalian semua emang nyebelin kalo masalah sindir menyindir!!"
"Astaghfirullah!" Melodi tersenyum kecil.
Dia tahu Balqis tidak akan mudah memahaminya, tapi dia yakin seiring berjalannya waktu dia pasti akan paham.
Mengaji masih berlanjut. Dan selama itu juga Balqis dibuat badmood. Dia kesal karena lagi-lagi ceramah sang Ustadz seperti menyindir dirinya.
Tidak boleh rakus, tidak boleh riya, tidak boleh buruk sangka, dengki, marah-marah, kikir/pelit dan masih banyak yang lainnya.
"Huh, perasaan gue nggak kayak gitu? Tapi kenapa hati gue ngerasa kesentil ya? Apalagi orang-orang selalu bilang kayak gitu sama gue!"
Balqis memalingkan wajahnya. Kemudian mengambil gunting kuku untuk membersihkan kuku-kukunya. Dia melakukan itu untuk menghiraukan tatapan orang-orang.
"Liat deh, Mel? Kuku gue cantik kan? Lebih bagus kuku gue dibandingkan kuku lo kan?"
Baru saja sang Ustadz menjelaskan tentang tidak boleh takkabur/ menyombongkan diri, Balqis sudah melakukannya lagi.
Melodi mengangguk. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Dia paham bagaimana Balqis? Meskipun Ustadz barusan menjelaskan tentang akhlak tercela, tapi sangat tidak mudah membuat Balqis langsung berubah. Karena semua butuh proses.
"Gue bosen banget!"
Balqis yang tidak bisa diam memilih keluar mesjid secara mengendap-endap. Dia duduk bersandar ke dinding sambil selonjoran.
"Aduh, gue lupa! Kalo gye kepanasan ntar kulit gue item lagi."
Balqis menggeser badannya ke tempat yang tidak panas. Detik kemudian, matanya berbinar saat melihat Alditra yang tengah memutar kursi rodanya.
"Samperin ah!"
"Balqis!"
Melodi yang melihat Balqis pergi diam-diam menghela nafasnya. Dia tidak bisa mencegah karena jalannya cepat.
"Dor!"
Alditra menoleh. Dia melihat Balqis yang berkacak pinggang sambil tersenyum miring.
"Kenapa saya harus bertemu dia lagi?" batinnya.
"Om Gus, Gue mau curhat dong!"
Alditra membenarkan pecinya, karena dia akan mendengarkan curhatan Balqis secara tiba-tiba. Bahkan setelah ini dia tidak bisa pergi sebelum cerita selesai, bila pergi pun kursinya akan ditarik seperti biasanya.
"Gue sebel deh sama Ustadz yang ngajar hari ini. Masa iya dia ceramah tentang tidak boleh sombong, pelit, marah-marah, rakus. Dan yang lebih betenya lagi orang-orang pada ngelirik ke arah gue. Emangnya ada yang salah sama gue?"
Kening Alditra mengeryit. Dia tahu Balqis pasti merasa tersindir. Untuk menjawab perkataannya, dia mengeluarkan buku dan menulis di sana.
(Apa kamu merasa tersindir?)
"Nggak ada ya! Gue cuma sebel aja gegara itu semua orang ngelirik ke arah gue!,"
Alditra kembali memasukkan bukunya. Dia kira Balqis tersindir tapi ternyata dia acuh.
"Gus Al!!"
Balqis menoleh. Dia melihat Maryam yang sudah resmi tinggal di sini menghampiri.
"Gus, sebaiknya segera bersiap! Sebentar lagi Ning Annisa akan sampai."
Balqis tertegun mendengar nama perempuan yang baru disebut Maryam. Siapa Ning Annisa?
Alditra mengangguk kecil. Kemudian mempersilakan Maryam pergi dulu.
"Om Gus, Ning Annisa siapa? Apa dia calon istri lo?"