Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabut di Pagi Hari
Pagi itu, suasana di desa masih sunyi. Udara dingin yang biasanya membawa ketenangan kini membawa ketegangan saat rombongan polisi datang ke Desa Talaga Seungit untuk menjemput Arini, yang turut terlibat dalam pembunuhan pemuda di kolam ikan lele.
Beberapa warga memilih menghentikan kegiatan mereka karena penasaran dengan kejadian tersebut.
Arini, sejak kemarin dia ditahan di ruangan kosong balai desa. Saat polisi membuka pintu, dia menjerit histeris seraya berteriak, "Aku tidak bersalah, yang bersalah itu Ajat! Dia sudah membunuh bapakku!" teriakannya benar-benar parau memecah keheningan pagi.
Suara dan bisikan mulai terdengar di antara penduduk yang menyaksikan pemandangan itu. Tak ada yang menyangka bahwa Arini, perempuan cantik yang juga disebut sebagai kembang desa malah terlibat kasus keji seperti itu.
Wijaya Kusuma dan Ki Dayat juga ada di antara kerumuman, hanya busa menatap Arini tanpa berkomentar apapun. Wijaya Kusuma dengan nada penuh khawatir berkata pada Ki Dayat, "Ki, saya merasa ada yang tidak benar dengan hukum di desa kita. Kenapa perilaku kriminal harus diserahkan pada polisi? Bukankah kita punya hukum adat yang menatur semua hal tapi kenapa tindakan kriminal harus diserahkan pada polisi?"
Ki Dayat lalu menjawab, "kamu benar, dahulu segala urusan di desa kita diselesaikan berdasarkan hukum adat yang kita junjung namun suatu hari ada perwakilan dari pemerintah yang datang dan menuntut kita untuk mengikuti aturan negara, apalagi kasus menghilangkan nyawa."
"Oh begitu," jawab Wijaya singkat.
"Aki mengerti keresahan yang kamu alami sekarang, semoga penjelasan Aki tadi bisa membuatmu sedikit tenang. Sejauh ini kamu sudah bertindak sesuai aturan adat, tidak usah merasa bersalah ya," kata Aki sambil menepuk punggung Wijaya Kusuma.
Akhirnya Arini pun dibawa pergi, namun saat dia sudah berjalan jauh meninggalkan kerumunan, dia berbalik dan berteriak, "di desa kita ada harta karun yang sangat banyak jika dibagikan untuk semua kalian akan kaya raya dan tidak akan hidup sulit! Ingat kata-kataku harta karun emas dan benda antik!"
"Kamu bicara apa? Ayo pergi!" tegas Polisi.
"Di desa ini ada harta karun Pak! Orang itu, si Kepala Desa menyembunyikannya Pak!" teriak Arini menatap polisi dengan matanya yang melotot.
Beberapa polisi memilih tidak mempercayai ocehannya, namun seorang polisi masih menatap kerumunan warga desa seolah dia mempercayai ocehan Arini.
Polisi itu melirik tajam Wijaya Kusuma dan seorang pria tua di sampingnya. Namun ketika dia masih dalam lamunan, salah seorang temannya menegur dengan menepuk pundaknya.
"Ayo bro, kamu sedang memikirkan apa sih?"
"Kamu percaya omongan gadis itu?" tanyanya.
"Apa? Harta karun? Haha ini 2024! Harta karun cuma bualan dia untuk menutupi tindakan kejinya," jawab polisi lain.
"Sepertinya tidak, pasti desa adat ini menyimpan rahasia. Apalagi katanya ada candi di desa ini, candi yang di rahasiakan,"
"Ah, kata siapa?"
"Aku diberitahu oleh seorang pemuda desa, mayat Pak Arifin ada di dalam ruangan candi itu."
"Kalau candi atau kuil sih aku percaya tapi kalau harta karun, aduh!"
Kedua polisi itu melangkah pergi sambil terus membahas tentang candi dan harta karun.
"Tapi kalau dipikir, kenapa candi itu harus disembunyikan ya? Di tempat lain kan malah jadi tempat wisata."
"Benar juga sih, mungkin mereka tidak mau desa ini dijadikan tempat wisata, mereka tidak mau menggunakan uang tunai sebagai transaksi pembayaran."