"Pergi kamu! Jangan pernah datang ke sini lagi! Bapak dan ibuku bukanlah bapak dan ibu kamu!" usir kakak sulungku yang ucapannya bagaikan belati menusuk hati, tapi tidak berdarah.
Kakak kandungku mengusir aku yang datang menemui bapak dan ibu kandungku, tapi bapak dan ibuku hanya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Inilah kisahku. Kisah seorang gadis yang terjebak dalam konflik keluarga. Memaksa diriku yang masih kecil berpikir dewasa sebelum waktunya.
Aku berusaha menjalani hidup sebaik yang aku bisa dan melakukan apapun semampuku. Selalu berusaha berpikir positif dalam setiap masalah yang menderaku. Berjuang keras menahan semua penderitaan dalam hidupku. Berusaha tetap tegar meskipun semua yang aku hadapi tidak lah mudah.
Bagaimana caraku, menghadapi kemelut dalam keluargaku yang berpengaruh besar dalam hidupku?
Yuk, ikuti ceritaku!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Ekskul
Aku berjalan menuju perpustakaan karena tidak ada yang bisa aku kerjakan di dalam kelas. Lebih baik menghabiskan waktu istirahat dengan membaca buku di perpus daripada melamun dan manyun di dalam kelas, bukan? Kalau kesambet makhluk halus, 'kan, repot. He.he.he..
"Brukk"
"Akhh"
Saat aku hendak masuk ke dalam perpustakaan, tiba-tiba ada yang keluar dan langsung menabrak aku. Tak ayal aku pun jatuh terduduk.
Siapa, sih, yang jalan nggak pakai mata? Pantatku sakit banget karena mendarat cantik di lantai yang keras.
"Sorry, aku nggak sengaja," ucap siswa yang menabrak aku.
Aku mengangkat wajahku dan menatap seorang siswa yang membungkuk di depanku seraya mengulurkan tangannya padaku. Astatoge.. Eh, astagaa .. ternyata siswa yang menabrak aku adalah Denny, sang vokalis band, teman Suhendro.
Wajahnya tampan, hidungnya mancung, alisnya tebal dan giginya yang gingsul, membuat ia semakin manis saat tersenyum. Tahu, 'kan, apa itu gigi gingsul?
Gigi gingsul adalah gigi taring yang tumbuh dengan kondisi overcrowding atau tumpang tindak berantakan akibat tidak adanya cukup ruang pada gusi atau kondisi gigi yang tumbuh tidak sejajar dan keluar dari gusi. Gigi gingsul pada beberapa orang dinilai membuat senyum semakin manis. Bahkan, tak sedikit orang rela memanipulasi gigi mereka untuk mendapatkannya.
"Hei..kamu nggak apa-apa?" tanya Denny seraya menggerak-gerakkan telapak tangannya ke kanan dan kiri di depan wajahku membuat aku tersadar dari lamunanku.
"Eh, nggak.. nggak apa-apa," ucapku menundukkan wajahku. Aihh.. malu sekali rasanya karena tanpa sadar tertegun menatap dia.
"Ya, udah, ayo, bangun! Jangan duduk di lantai di depan pintu. Entar menganggu siswa lain yang ingin keluar atau masuk," ucapnya kembali mengulurkan tangannya dengan seulas senyuman di bibirnya menunjukkan gigi gingsulnya. Duh, manis banget, sih? Bisa-bisa.. aku jadi diabetes, nih. He..he..he..
Kalau begini ceritanya, aku rela ditabrak, deh! Di tabrak dia saben hari juga nggak apa-apa. He..he.he..
Dengan malu-malu aku menyambut uluran tangannya. Oh, ya amplop..eh, ya, ampun.. Aku malu pakai banget. Tangannya halus banget, sedangkan tanganku? Jangan tanya.
Ingat, 'kan, apa saja pekerjaan ku? Memanjat pohon, mencangkul, menimba air pakai katrol. Tiga pekerjaan itu saja sudah sangat teramat sangat cukup membuat tanganku menjadi kapalan. Ah, malunya...
"Sekali lagi sorry, ya! Aku nggak sengaja nabrak kamu dan bikin kamu terjatuh," ucapnya tersenyum tipis.
"Hum," sahutku tersenyum tipis, "di tabrak lagi juga ma, kok," gumamku dalam hati.
Ah, bahkan saat bicara, giginya yang gingsul itu tetap saja membuat dia menjadi manis.
"Ya, udah, aku cabut, ya?" ucapnya kembali tersenyum padaku.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis padanya. Aihh..mimpi apa aku semalam sampai ditabrak sama dia.
Ya, ampun..sadar, In, sadar..
Huff..aku hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki. Aku mah apa atuh? Cewek IQ standar muka standar, dan.. kismis...
Aku tidak akan dilirik sama cowok kayak dia. Cowok yang banyak fansnya. Banyak yang lebih cantik, lebih kaya dan lebih pintar dari aku yang suka sama dia.
Sekali lagi hanya bisa mengagumi tanpa bisa memiliki. Seperti pungguk yang merindukan bulan, nggak bakal kesampaian.
Aku sering mengintip dia saat dia latihan band. Tidak berani menunjukkan wajah standar, kulit kusam dan rambut merahku yang sudah seperti rambut jagung karena terlalu sering terkena sinar matahari ini.
Aku hafal jadwal ekskul dia sangking seringnya mengintip dia saat latihan. Entah mengapa aku sangat suka melihat cowok yang bisa main gitar.
Hari ini aku kembali mengintip dia latihan band.
"In, lagi ngapalin?"
"Astaga.." ucapku yang terkejut saat tiba-tiba ada yang menegur aku dari arah belakang. Duh, ketahuan deh, lagi ngintip.
"Ngapain di sini?" tanya siswa yang tidak lain adalah Suhendro, teman satu kelasku, sekaligus ketua kelasku yang juga ikut ekskul nge-band dan juga salah satu vokalis di band sekolah.
"Nggak ngapa-ngapain, cuma lihat aja, kok," sahutku tersenyum canggung karena sempat terkejut ketahuan mengintip.
"Mau ikut ekskul nge-band?" tanya Hendro.
"Aku nggak bisa main alat musik apapun, nyanyi juga suaraku mirip kaleng yang di pukul," sahutku tersenyum masam.
Sebenarnya aku pengen sekali bisa main gitar. Tapi nggak bakalan ada yang mau ngajarin aku belajar main gitar dari nol, 'kan? Lagian kalau cuma latihan di sekolah seminggu sekali dan dirumah nggak pernah latihan, kapan mau bisanya?
"Di kelas kita tinggal kamu, loh, yang belum ikut ekskul. Minggu depan semua murid diwajibkan mengikuti ekskul, minimal satu ekskul. Jadi, kamu harus ikut salah satu ekskul, In," ucap Hendro membuat aku terkejut.
"Ha..harus ikut ekskul?" tanyaku memastikan.
"Hum. Harus. Ini adalah peraturan sekolah," sahut Hendro.
Duh, aku mesti milih ekskul apa, nih? Kalaupun harus ikut ekskul, aku harus nyari ekskul yang tidak perlu mengeluarkan biaya. Karena untuk membayar biaya sekolah aja aku sudah dibuat kelabakan.
"Kamu pikir aja dulu, mau ikut ekskul apa. Aku masuk dulu, ya?" ucap Hendro, kemudian meninggalkan aku yang masih terdiam memikirkan ekskul apa yang akan aku ikuti.
Huff..aku bingung mau ikut ekskul apa. Pramuka? Butuh duit kalau mau kemah. Silat? Harus beli seragam. Teater? Aku nggak punya bakat akting. Tata boga? Kalau praktek butuh duit buat beli bahan. Ah, aku pusing.
*
Aku baru saja pulang dari sawah. Aku lewat di samping rumah karena pakaian ku basah setelah membantu nenek menyiram kacang tanah.
"Kita nggak punya cukup uang, kalau mau beli motor saudara kamu, kecuali kita jual sepeda kamu yang ada sama Indah," ucap Kak Seruni pelan, tapi masih terdengar dari samping rumah membuat aku menghentikan langkah kakiku.
"Nggak enak kalau mengambil sepeda itu dari Indah," sahut Kak Fauzan.
"Kalau begitu, nggak usah di beli motornya," ucap Kak Seruni.
"Tapi ini murah banget. Lain kali nggak bakal dapat harga segitu," sahut Kak Fauzan.
"Ya, gimana? Udah nyari pinjaman buat nambahin kurangnya juga nggak dapat," sahut Kak Seruni.
"Sayang sekali," ucap Kak Fauzan.
Ah, aku jadi nggak enak denger pembicaraan mereka. Mereka tidak jadi beli motor karena nggak berani meminta sepeda yang aku pakai.
Aku melanjutkan langkah kakiku untuk membersihkan diri. Pakaian gantiku sudah aku siapkan di dekat kamar mandi seperti biasanya sebelum aku menyiram kacang tanah yang sebentar lagi akan di panen, jadi aku tidak perlu mengambil pakaian lagi ke dalam.
Umur kacang tanah sejak di tanam hingga bisa di panen adalah 100 hari atau sekitar tiga bulan lebih sepuluh hari. Jadi, lumayan encok menyiram kacang tanah selama 100 hari.
Usai mandi dan berpakaian, aku berjalan menuju kamarku. Namun aku menghentikan langkah kakiku saat melihat Kak Seruni dan Kak Fauzan sedang menonton televisi. Aku jadi teringat dengan percakapan mereka berdua yang tidak sengaja aku dengar tadi. Aku menghela napas panjang, lalu menghampiri mereka berdua.
"Kak Fauzan, Kak Seruni, maaf, aku tadi nggak sengaja dengar pembicaraan kalian. Soal sepeda, kalau Kak Fauzan pengen ngambilnya buat beli motor, ambil aja. Aku bisa sekolah pakai sepeda ku," ucapku setelah memutuskan segalanya.
"Ah, nggak usah, In. Pakai aja sepedanya. Nanti kalau ada rezeki, kakak pasti bisa beli motor juga," sahut Kak Fauzan terlihat tidak enak hati.
"Nggak apa-apa, Kak. Lain kali belum tentu dapat yang murah. Aku berterima kasih banget, kakak sudah meminjamkan sepeda kakak selama ini. Aku akan merasa bersalah, kalau sampai kakak ntar susah dapat motor yang murah kayak sekarang," ucapku tulus, meskipun aku harus memakai sepeda butut aku lagi jika sepeda Kak Fauzan di ambilnya lagi.
...🌸❤️🌸...
To be continued
trus kabarbindah yg dijodohkan dan udah nikah bagaimana ??
apa akan di lanjutkan di cerita indah yg sudah dewasa nanti ??
terimakasih author.ditunggu karya berikutnya