Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Siapa dia?" Wina buru-buru masuk saat melihat ada orang baru di rumah putranya.
Perempuan muda seumuran Nada menundukan kepala saat di depan Wina.
"Kau siapa?" tanya Wina dengan menganalis perempuan itu.
"Saya Tuti, suster baru Shanum." Tuti memperkenalkan diri kepada Wina.
"Suster Shanum?" Wina mengerutkan keningnya. Dalam hatinya terus bertanya sejak kapan anaknya memiliki pengasuh untuk cucunya.
"Nada, sejak kapan Shanum memiliki pengasuh?" Wina mendekati Nada yang sedang sibuk membantu Minah menyiapkan makan malam.
Nada tak kunjung menjawab pertanyaan ibu mertuanya, justru dia menyiapkan minuman terlebih dahulu.
"Minum dulu buk." Nada menaruh cangkir teh hangat.
Wina mengikuti Nada duduk di meja makan, "Nada, kamu jangan mengalihkan pembicaraan. Sejak kapan Shanum memakai pengasuh?" Wina mengejar jawaban dari Nada.
"Sejak hari ini Buk," katanya dengan santai.
"Pandu tahu kamu memakai pengasuh?" Wina menggeser teh buatan Nada.
Nada mengeleng kepala, "Belum,Buk."
"Nada, kau ini mengambil keputusan sembarangan. Kamu pikir biaya pengasuh itu murah?" omel Wina. Dia geram Nada mengambil keputusan tanpa memberi tahu anak lelakinya.
Terlebih lagi ini masalah uang, pengeluaran akan bertambah banyak dengan memakai pengasuh.
"Mas Pandu tidak ada waktu buat kita ngobrol. Nanti Nada juga bilang kalau Mas Pandu sudah pulang." Nada beranjak meneruskan membantu Minah memasak.
Dada Wina bergemuruh, menantunya semakin hari semakin berani kepadanya.
Dia berjalan keluar saat mendengar suara mobil Pandu memasuki garasi rumahnya.
"Pandu, Pandu, istrimu itu semakin hari semakin kurang ajar," ujar Wina mengadu kepada Pandu sebelum dia ketemu dengan istrinya.
"Ada apa sih buk?" Pandu menatap ibunya malas, dia yang sedang capek sudah mendengar ocehan ibunya.
"Istrimu itu pakai jasa pengasuh untuk Shanum," kata Wina yang menghentikan ayunan langkah kaki Pandu.
"Maksud ibu?" Pandu menoleh ke arah ibunya. Rasa malas itu menghilang mendengar informasi dari ibunya.
Wina menarik tangan Pandu ke dalam rumah, menunjuk Tuti yang sedang bersama dengan Shanum, "Lihat."
Tuti berdiri lalu menundukan kepala sebagai tanda hormat.
"Nada, Nada!" panggil Pandu.
"Ada apa Mas, kok teriak-teriak?" Nada mengambil tangan Pandu lalu menciumnya.
"Kamu pakai pengasuh untul Shanum?" tanya Pandu dengan wajah kesal karena sang istri tidak meminta persetujuannya dulu.
"Tut, bawa Shanum ke kamar ya," pinta Nada agar dia tidak mendengar obrolan dengan keluarganya.
Nada duduk di sofa diikuti oleh Wina dan Pandu. Mereka berdua sudah tidak sabar mendengar alasan Nada memakai pengasuh.
"Nada kelelahan kalau sendirian mengurus Shanum, Mas Rama dan Mbak Nora benar, kalau aku butuh pengasuh," ucapnya sembari memandang Pandu dan ibu mertuanya bergantian.
"Sayang, kamu kan cuma di rumah. Kita belum butuh, lebih baik buat yang lain uangnya." Pandu menyarankan agar sang istri menghemat. Dia mengatakan masih ada Minah yang bisa membantu.
"Istrimu ini senang sekali menghambur-hamburkan uang memang," cemooh Wina.
Nada tersenyum, "Aku yang butuh Mas, lagian uang bayar pengasuh lebih kecilkan dari harga rumah dan mobil yang kamu beli."
Pandu melebarkan kedua matanya, dia kaget Nada membahas tentang rumah dan mobil yang selama ini dia rahasiakan.
"Kamu saja beliin Ayu rumah dan mobil tidak bilang, kenapa aku harus laporan?" sindir Nada yang membuat Wina meradang.
"Heh! Ayu itu adiknya wajar lah dia membelikan rumah, mobil dan lain sebagainya." Wina murka.
"Buk, Shanum itu anaknya dan aku istrinya. Berhak atas uang Mas Pandu. Tapi apa? Ibu terus mengambil uang itu." Nada menatap Wina, ia meminta penjelasan dari Wina.
"Nada jangan kurang aja kamu sama ibu!" serunya sampai keluar semua urat di lehernya. "Ibu yang melahirkan dan membesarkanku. Jadi, aku bebas memberikan yang aku punya."
"Mas, kalau kamu belum siap menikah. Jangan menikah," ujar Nada sembari beranjak meninggalkan suami dan mertuanya.
"Kamu masih mau mempertahankan istrimu yang durhaka itu!" Wina mempertanyakan anaknya.
Pandu menyusul Nada ke kamarnya, "Nada ... ,"
"Aku tidak akan meminta uang kamu untuk membayar Tuti," katanya tanpa melihat suaminya.
Nada mulai sibuk dengan laptopnya, dia akan mulai bekerja lagi.
"Kamu dapat uang dari mana?" Pandu menatap Nada remeh. Dia pikir tanpa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kamu bisa membiayai orang tua, tapi kau melalaikan anak istrimu. Apa yang kamu banggakan?" Nada tertawa mengejek.
Pandu mengeratkan tangannya, kesal dia menutup paksa laptop Nada.
"Kamu berani ngomong kayak gitu?" Pandu menggenggam erat pergelangan tangan. Matanya menatap tajam, ingin sekali menampar wajah Nada.
"Kenapa? Memangnya aku salah?" Nada menepis tangan Pandu. Ia balik memandang dengan mata tajam.
Kesabaran Nada sudah menghilang, kelebutan yang setiap hari dia berikan hancur. Luka yang terus digoreskan membuat Nada akhirnya sadar. Dia tidak bisa bertahan dalam cinta yang terus mencekiknya.
Pandu tak bisa membalas ucapan Nada karena perkataan benar. Dia memang lebih berat kepada keluarganya daripada anak istrinya.
Dia terus berpegang teguh bahwa surga ada diibunya, orang selalu ada adalah keluarganya sehingga mengabaikan istri dan anaknya.
"Kamu lebih baik nikah saja sama adikmu itu daripada dengan orang lain," cibir Nada, emosi Nada sudah ada diubun-ubunnya.
Pandu mengangkat tangannya, ia siap melayangkan pukulan di pipi Nada. Nada menutup matanya, siap merasakan perih tamparan dari tangan suaminya.
Nada membuka matanya setelah beberapa detik tidak merasakan sesuatu.
"Kenapa berhenti? Tampar saja aku!" tantang Nada sebenarnya dia takut.
Namun, dia memberanikan diri untuk melawan Pandu. Dia tidak ingin durhaka, hanya ingin membuat suaminya sadar. Kalau yang dia lakukan itu salah.
"Ok, kalau kamu memang ingin pengasuh. Bayar saja sendiri, aku tidak akan membiayai." Pandu berjalan menabrak tubuh Nada.
Nada meneteskan air mata, hati suaminya memang terbuat dari batu. Dengan sindiran, makian dari Nada tidak membuat dirinya sadar.
Nada menempelkan benda pipih di telingannya. "Sabrina, aku akan datang besok."
Nada memutuskan untuk bekerja lagi, dia tidak bisa hidup dengan uang bulanan yang diberikan oleh suaminya.
Dia juga akan membuktikan kepada suami dan Ibu mertuanya bahwa dia bisa mendapatkan semuanya dengan hasil kerjanya.
Dia akan membiayai hidupnya sendiri tanpa uang dari suaminya.
"Pandu, bagaimana? Kamu sudah memberikan istrimu pelajaran?" Wina penasaran dengan yang dilakukan oleh Pandu.
Dia menguping perdebatan hebat antara anak dan menantunya.
"Cerai kan saja dia, ibu ada calon yang lebih baik dari Nada," lirih Wina, ia memanas-manasi untuk bercerai dengan Nada.
"Buk, berhenti mencampuri keluargaku!" Pandu pusing mendengar ocehan dari ibunya.
"Pandu, ibu hanya menjaga dirimu dari perempuan yang ingin memorotimu," dalih Wina.
Pandu melirik Wina, "Lebih baik ibu pergi!"