Seorang laki-laki muncul di hadapan Ajeng. Tidak amat tampan tetapi teramat mapan. Mengulurkan keinginan yang cukup mencengangkan, tepat di saat Ajeng berada di titik keputus-asaan.
"Mengandung anaknya? Tanpa menikah? Ini gila namanya!" Ayu Rahajeng
"Kamu hanya perlu mengandung anakku, melalui inseminasi, tidak harus berhubungan badan denganku. Tetap terjaga kesucianmu. Nanti lahirannya melalui caesar." Abimanyu Prayogo
Lantas bagaimana nasab anaknya kelak?
Haruskah Ajeng terima?
Gamang, berada dalam dilema, apa ini pertolongan Allah, atau justru ujian-Nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
"Balikin ponselku, jangan sok sibuk mengurusi kehidupan pribadiku, sama sekali bukan urusanmu!" Ajeng nampak jengkel, terus berusaha meraih ponsel miliknya.
"Ya, aku memang tidak tertarik mengurusi kehidupan kamu. Sayangnya kamu sedang mengandung anak aku, jadi ... semua yang berhubungan denganmu, akan menjadi urusanku!" tekan Abi menatap tajam.
"Aww ....!" desis Ajeng merasakan kram di perutnya. Membuat perdebatan mereka terjeda tentunya.
"Ajeng, perut kamu kenapa?" tanya Abi langsung panik.
Ajeng tidak menyahut, terdiam dengan mata terpejam. Perutnya mendadak kram dan terasa sakit. Membuat pria itu jelas ketakutan dan khawatir.
"Kok sering banget sakit, kita ke dokter aja ya, aku takut terjadi sesuatu dengan bayi itu."
Ajeng berusaha untuk rileks, mengabaikan usulan pria itu untuk chek up yang masih terjadwal beberapa hari lagi.
"Masih sakit?" tanya Abi setelah membimbing Ajeng ke ranjang.
Perempuan itu terdiam, lalu menggeleng. Entah mengapa sentuhan tangan Abi yang begitu Ajeng hindari terasa menenangkan saat mendarat di perutnya. Ajaib, kram itu pun berangsur hilang dan kembali membaik.
"Kalian ngapain di sini?" Vivi datang dengan muka masam.
"Perut Ajeng sakit, aku menyuruhnya untuk beristirahat. Teman-teman kamu udah balik?" tanya Abi masih terlihat sedikit khawatir.
"Owh ... ya sudah, istirahat saja Ajeng. Ayo Mas, di luar masih ada mama sama papa," ajak Vivi menggandeng tangannya.
Keduanya meninggalkan kamar Ajeng yang cukup luas. Perempuan itu menempati kamar yang akan diperuntukkan untuk anaknya kelak. Abi sudah menyiapkan secara khusus untuk bayinya nanti.
"Ke mana saja, Bi, mama mau pulang," ujar Nyonya Warsa berujar pamit.
"Nggak ke mana-mana, Ma, terima kasih sudah datang," ujar Abi dengan senyuman.
"Jaga baik-baik istrimu, Nak, aku akan sering-sering mengunjungimu," ujarnya hampir menyentuh perut Vivi. Namun, perempuan itu dengan cepat menghindar.
"Maaf Ma, lagi sensitif," ujar Vivi jelas tidak mau perutnya diraba-raba. Nyonya Warsa agak bingung dan sedikit tersinggung, namun dengan cepat Abi mengalihkan perhatiannya.
"Pasti dong, Ma, aku jaga dengan sepenuh hati, dan segenap jiwa. Datang saja kapan pun Mama mau, pintu kami selalu terbuka."
"Kami pulang dulu ya, sehat-sehat selalu calon cucu mama," kata Bu Warsa menatap perut Vivi yang membuncit.
Sebagai anak tunggal, tentu saja kehamilan istri Abi sangat diharapkan. Mengingat sudah beberapa tahun menikah juga, dan hari ini baru saja menggelar syukuran, tentu saja membawa doa dan harapan besar agar ibu dan janinnya sehat-sehat terus sampai nanti melahirkan.
Setelah acara selesai dan semua orang telah pulang. Keduanya langsung memasuki kamarnya yang berada di lantai atas. Sementara Ajeng menempati kamar tak begitu jauh dari kamar utama.
"Hih, ribet banget harus pakai ginian, udah nggak sabar banget pengen cepet-cepet anak itu keluar!" tukas Vivi mengomel sambil melepas bantalan kecil yang ditautkan di perutnya.
"Aku bilang juga apa, harusnya kita nggak usah gembar-gembor, repot sendiri, 'kan? Udah gitu pakai acara bohong sama mama dan papa lagi."
"Kok kamu ngomongnya gitu sih Mas, yakali tiba-tiba aja kita langsung punya anak, nimang bayi tanpa orang lain tahu kalau aku nggak hamil, makin julid tetangga, belum lagi tuh ibu kamu yang rempongnya minta ampun, pusing tauk!" sarkas Vivi berapi-api.
Lelah hayati menghadapi sikap cuek suaminya yang begitu menyebalkan ditambah sok perhatian dan mesra dengan Ajeng, membuat Vivi makin geram saja.
"Mau ke mana? Nggak capek apa?"
"Keluar bentar, kamu kalau capek istirahat saja," ujar Abi datar. Tanpa perhatian yang berarti, emang dasar jarang romantis kadang sikapnya yang kaku membuat Vivi begitu jenuh.
Abi sengaja berdiam diri di ruang tengah lantai atas. Sibuk membuka ponsel Ajeng yang tadi sempat dirampas. Mendadak begitu kesal, entah karena sebab apa, yang jelas, tangannya terulur memblokir WA Denis di ponsel Ajeng setelah sempat mengirim pesan yang cukup menohok.
"Balikin ponsel aku, sekalian aku mau pulang," ujar Ajeng menemui pria itu yang tengah duduk bersantai.
"Nih!" Pria itu mengembalikan pada pemiliknya. "Tinggal di sini saja, memudahkan aku untuk memantau dirimu," ucapnya santai.
"Aku tidak butuh pengawasan apa pun, aku bisa menjaga dengan baik sampai nanti melahirkan," jawabnya sambil beranjak.
"Ajeng, benar kata Abi, lebih baik tinggal di sini saja, atau tempatnya kurang nyaman?" Vivi membujuk madunya seraya tersenyum.
"Terima kasih, Mbak, tapi aku mau pulang saja," tolak Ajeng jelas tidak nyaman.
"Kami juga mau dekat dengan bayi kami, jadi, tinggal di sini lebih baik," saran Vivi yang jelas membuat gadis itu menaruh curiga.
"Balik ke kamarmu Ajeng! Dicoba menginap dulu, kalau memang nggak betah besok aku antar pulang."
"Masa nggak betah sih, di sini 'kan tempatnya bagus, luas dan nyaman, dari pada di apartemen. Kamu juga bisa ngelakuin banyak hal di rumah ini," ujar perempuan itu sok ramah.
"Udah ya, beristirahatlah di kamarmu, kami juga mau istirahat!" ujar Vivi menarik tangan Abi meninggalkan ruangan menuju kamarnya.
"Mas, ayo ... aku lagi kangen," ujar Vivi sengaja bermanja sambil berjalan.
"Kamu nggak capek apa? Hari ini aku lelah," tolak Abi tumben-tumbenan.
Sudah banyak hari Abi tidak pernah menyentuhnya lagi dengan alasan yang sama. Membuat Vivi semakin menaruh curiga dengan madunya yang kini tengah berbadan dua.
"Capek sih, ya udah kamu tidur saja Mas," ujar Vivi tersenyum miring. Mengumpat dalam hati jengkel sekali.
Vivi pun menyambangi kamar Ajeng, perempuan itu tengah sibuk dengan ponselnya saat Vivi mengetuk pintu.
"Boleh masuk!" sapa perempuan itu menyembulkan kepalanya.
"Kenapa Mbak?" Ajeng mengangguk.
"Ajeng, sorry, tidak seharusnya aku berkata ini padamu, kalau boleh tahu, sudah berapa lama Mas Abi menidurimu?" tanya Vivi sungguh penasaran.
"Maksudnya?" tanya Ajeng jelas tidak paham. Lebih kepada bingung.
"Ya, berhubungan suami istrilah, masa nggak tahu, jangan pura-pura polos, semua orang juga pasti menginginkan suami kaya raya seperti Mas Abi. Semoga kamu nggak sakit hati ya kalau perjanjian ini berakhir."
"Maaf, Mbak, aku tidak tertarik dengan suami Anda, hubungan kami terjalin hanya untuk anak ini dengan prosedur inseminasi. Jadi, jangan khawatir, karena aku menjaganya untuk orang yang lebih pantas menerima cintaku kelak," jawab Ajeng tenang.
Entah mengapa ada seglumit hati yang sakit saat mendengar itu dari mulut wanita yang tengah mengandung anaknya. Abi tanpa sengaja mencuri dengar. Pria itu lekas kembali ke kamarnya setelah Vivi memutuskan menyudahi pembicaraannya.
"Dari mana?" tanya Abi pura-pura tidak tahu.
"Nggak dari mana-mana, tidur Mas!" ujarnya santai.
Keesokan paginya, semua orang sudah terbangun. Ajeng dipanggil Vivi untuk bergabung di meja makan. Perempuan itu sudah menyiapkan sarapan untuk suaminya.
"Ajeng, bikin susu sendiri, itu di sana tersedia susu hamil, biasa mertua aku yang baik hati itu rajin sekali mengirim ke sini. Silahkan bikin sendiri?" ujar Vivi lembut.
"Iya Mbak, terima kasih," jawab Ajeng sungkan. Sesungguhnya perempuan itu merasa tidak nyaman berada di tengah-tengah keduanya.
Ajeng lekas ke dapur, menyeduh susu yang dimaksud. Tidak ada firasat apa pun yang dicurigai. Perempuan itu minum dengan tenang. Tanpa diduga, setelah beberapa menit berlalu, Ajeng merasakan perutnya sakit luar biasa.
🤔🤔🤔
Yang datengnya barengan sama Abi?? 🤔🤔
ceritanya menarik tp bahasanya msh agak kaku antara kakak dgn adik