Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang kau sakiti
Tubuh Kirana merosot di lantai ketika pintu kamarnya baru saja tertutup. Isak tangis terdengar begitu menyayat hati, tubuhnya bergetar hebat. Dalam sekejap luluh lantak kepercayaan yang diberikan Kirana kepada sang suami. Dadanya bergemuruh dengan hebat, tetes demi tetes air mata mengalir membasahi pipinya.
Ternyata, sepuluh tahun pernikahan dengan Zidan tak berarti apa-apa bagi pria tersebut.
Mengapa Zidan begitu tega membohonginya?
Kirana masih terisa dengan segala kepedihan yang mendera. Memori ingatannya berputar tentang perjuangannya selama ini menemani sang suami. Mengorbankan banyak hal termasuk karir dan keluarganya.
Selama ini Kirana tak pernah menuntut apa pun dari Zidan. Apakah hanya karena ia tak bisa memberikan anak laki-laki, lalu pria tersebut memutuskan menikahi wanita lain, sementara ia telah melahirkan dua putri untuknya.
Selama ini, mertuanya memang selalu menuntut Kirana untuk melahirkan anak laki-laki. Namun sebagai manusia biasa dia tak bisa menentukan karena semuanya kembali kepada sang pencipta yang mengatur segalanya.
Dia bukannya tak bisa memberikan keturunan, dia telah memberikan dua putri yang sangat cantik. Lalu apa bedanya?
Dia masih terisak, dadanya begitu sesak. Membayangkan perlakuan suaminya yang tak pernah menuntut banyak hal, membuatnya tak pernah memiliki firasat apa pun. Zidan masih berlaku seperti biasa, menjadi suami dan ayah yang baik bagi kedua putrinya.
Namun kenapa semua ini harus terjadi.
Ponselnya berdering beberapa kali, nama sang ibu terpampang di layar ponsel. Kirana segera menghapus air matanya dan mulai mengatur napas sebelum menjawab panggilan tersebut.
“Ah, iya, Ma. Bentar lagi aku balik. Masih ada urusan. Diusahakan sebelum pukul tujuh aku udah di rumah. Kalau kiranya aku belum balik, nggak apa-apa kan kalau ajak anak-anak? Nanti aku langsung jemput di tempat acara.”
Setelah panggilan terputus, Kirana bernapas dengan lega. Sang ibu hanya mengabari jika beliau ada urusan sehingga memintanya pulang karena tidak tega meninggalkan kedua cucunya. Namun dia tak bisa pergi begitu saja sebelum mendengar penjelasan dari sang suami. Masih ingin mendengar langsung alasan apa yang membuat Zidan memilih menikahi wanita lain.
Kirana masih terduduk di lantai, menatap kosong kamar tidurnya. Bayangan manis kebersamaan dengan suami dan kedua anaknya membuat mata Kirana kembali memanas.
Jarum jam terus berputar, tanpa terasa sudah pukul empat sore. Kirana masih menunggu, menunggu untuk sebuah penjelasan tetapi ternyata tak ada seorang pun yang datang, bahkan Zidan sama sekali tak menghubunginya.
Sebelum pergi, mata Kirana menatap kosong rumah impiannya. Rumah yang telah lima tahun menjadi tempat bernaungnya mimpi-mimpi dan harapan sebuah keluarga yang indah dan bahagia. Satu tetes air mata mengalir sebelum Kirana berbalik dan masuk ke mobilnya.
...✿✿✿...
Kirana duduk di halaman rumah orang tuanya sambil menikmati angin malam. Gelapnya langit tanpa hadirnya bintang atau rembulan sama seperti apa yang dirasakan saat ini.
Abdillah dan Rahma—kedua orang tua Kirana menatap sang putri yang sedari pulang tadi hanya merenung dan tak banyak bicara.
Kedua paruh baya tersebut saling berbisik, bertanya-tanya tentang apa yang sedang terjadi. Namun mereka enggan bertanya jika yang bersangkutan tidak mengatakan apa pun.
Dalam diam, tetesan air mata mengalir tanpa bisa dicegah. Kirana membiarkannya.
Hari ini kamu boleh menangis, habiskan air matamu karena besok kau tak akan menangisi dia lagi, Kira.
Mendengar langkah kaki mendekat, Kirana segera menghapus air mata yang masih mengalir.
“Ada apa Kak?” Kirana menoleh.
“Mama ngapain duduk di sini sendirian,” ucap Rina—anak sulungnya.
“Nggak apa-apa. Lagi pengen sendiri dan duduk aja. Memangnya kenapa Kak?”
“Mama aneh!”
Kirana tertawa pelan. “Kamu ini ada-ada aja. Sudah yuk, ayo bobo.”
Kirana dan kedua anaknya berbaring di satu ranjang yang sama. Tangannya terulur memeluk Lina—anak bungsunya yang baru berusia lima tahun. Dalam diam Kirana memikirkan banyak hal. Apa yang akan terjadi bila kedua anaknya tahu bahwa sang ayah telah memiliki istri lain. Membayangkannya saja sudah membuat hati Kirana sakit.
Hari-hari dilewati Kirana seperti biasa, tak ada yang berubah. Hanya saja tanpa ada kabar dari sang suami yang biasanya setiap hari akan menghubungi dan menanyakan banyak hal.
Kirana mencoba menghempaskan pikiran yang memenuhi isi kepalanya.
Sudah cukup Kirana menangis dan meratapi apa yang terjadi. Tak akan ia biarkan, air mata kembali tumpah untuk seseorang yang tak menganggapnya.
Sudah seminggu mereka berada di sini, kebetulan hari Senin kedua anaknya sudah mulai kembali bersekolah. Kirana mulai gundah, akankah dia memilih tinggal di sini ataukah kembali ke rumah.
“Ada apa, Nak?” Kirana dikejutkan dengan kehadiran sang ibu yang menyentuh bahunya.
“Nggak apa-apa Ma.” Seulas senyum tipis dipersembahkan untuk membuat wanita paruh baya tersebut tenang.
“Kamu ada masalah dengan Zidan?” tanya Rahma sambil menatap manik mata Kirana.
“Enggak,” sahut Kirana singkat.
“Tanpa kamu bicara, Mama tahu karena mama merasakannya.” Rahma berbicara sebagai seorang ibu yang memiliki ikatan kuat. “Katakan apa yang sebenarnya terjadi? Kalau ada masalah ya diselesaikan, bukannya malah kabur-kaburan.”
Kirana menatap Rahma dengan kesal. “Mana ada kabur-kaburan, Ma. Aku pulang juga atas perintah Mas Zidan. Katanya ada tugas luar kota sebulan ternyata kemarin dia baru aja melangsungkan pernikahan,” ucap Kirana berapi-api sampai tanpa sadar keceplosan.
“Apa!” Pekikan terkejut dari Rahma membuat Kirana terlonjak kaget. Wanita paruh baya tersebut menatap Kirana dengan intens seolah menuntut penjelasan tentang ucapannya.
Kirana mengangguk pelan sebelum menjawab, “Kemarin aku dapat kabar dari temenku katanya Mas Zidan melangsungkan acara pernikahan. Karena aku nggak percaya makanya kemarin aku datang untuk membuktikan secara langsung. Ternyata bener, Ma.” Bibir Kirana bergetar dan langsung memeluk Rahma dengan erat. “Mas Zidan mengkhianati pernikahan kami.”
“Kenapa Zidan ngelakuin itu, Kira?”
Kirana menggeleng pelan. “Aku nggak tahu Ma. Bahkan sampai detik ini, Mas Zidan belum menghubungiku sama sekali.”
Rahma mengusap lembut punggung Kirana yang bergetar. Membelai lembut punggung tersebut seolah menyalurkan kekuatan.
“Aku harus bagaimana, Ma.” Kirana sudah menguatkan diri dan hatinya, tetapi tetap saja batinnya tak sekuat itu.
“Mama nggak bisa ngomong apa-apa. Yang menjalani kamu, yang merasakan juga kamu, Mama cuma bisa berdoa yang terbaik. Apa pun keputusan yang kamu ambil, ingatlah bahwa kalian sudah memiliki dua putri dan melewati banyak hal bersama.”
“Mama memintaku bertahan?”
Rahma menggeleng pelan. “Itu keputusanmu, Nak. Tapi sebelum memutuskan apa pun, baiknya pikirkan dengan baik.
“Rahasiakan ini dari Papa. Aku nggak mau jantung Papa kambuh,” ucap Kirana pelan.
Kirana segera mengakhiri pembicaraan dengan Rahma. Tubuhnya kembali berbaring di ranjang dan menatap langit-langit kamar. Matanya memanas, tetapi Kirana memilih mendongak agar air mata tak tumpah lagi.
Pernikahan bukanlah permainan yang bisa diakhiri dengan mudah, apalagi ada anak-anak yang menjadi korban.
“Mama yakin kamu bisa melaluinya, Nak.”
“Jika aku memilih berpisah, maukah Mama mendukungku?”
“Mama akan selalu mendukung keputusanmu. Jangan merasa sendiri, ada kami yang akan selalu bersamamu.”
Kirana kembali memeluk sang ibu. “Makasih, Ma.”
To Be Continue ....