Bagaimana jika perawan tua dan seorang duda tampan dipertemukan dalam perjodohan?
Megan Berlian yang tajir melintir harus mengakhiri kebebasanya di usia 34 tahun dengan menikahi Morgan Erlangga, seorang dokter bedah tulang
yang sudah berusia 42 tahun dan memiliki dua anak remaja laki-laki.
Megan, gadis itu tidak membutuhkan sebuah pernikahan dikarenakan tidak ingin hamil dan melahirkan anak. Sama dengan itu, Morgan juga tidak mau menambah anak lagi.
Tidak hanya mereka, kedua anak Morgan yang tidak menyambut baik kehadiran ibu sambungnya juga melarang keras pasangan itu menghasilkan anak.
Megan yang serakah rupanya menginginkan kedua anak Morgan untuk menjadi penerusnya kelak. Tidak peduli jika keduanya tidak menganggapnya sama sekali.
Ikuti kisah mereka, semoga kalian suka ya...🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wanita Serakah
Akhir pekan yang dinanti-nantikan Erick sudah tiba. Kini dia sedang menunggu kedatangan adik dan sang ayah. Dia menunggu di muka pintu utama vila.
"Lihatlah dia. Seperti itulah saat kecil dulu menunggu ayahnya pulang kerja setiap hari" mama Monic tersenyum mengenang masa kecil cucu pertamanya itu, membuat Megan yang sedang duduk si sebelahnya juga ikut tersenyum.
"Ma, apa menurut mama anak itu akan menerimaku sebagai ibunya?"
Mama menatap Megan. "Apa mungkin kau sungguh-sungguh menganggapnya sebagai putramu?"
"Tentu saja, Ma. Dengan senang hati."
"Kau sesenang itu? Kenapa bisa?" Mama Monic tampak kurang yakin.
"Ya ... siapa yang akan menolak jika diberikan dua anak yang sudah besar? Aku tidak perlu mengandung tapi aku memiliki mereka."
"Begitu kah?" Mama Monic menatap Megan semakin dalam. Monic mengira tidak ada wanita semacam menantunya ini. Dia bahkan tidak siap untuk mengandung ketika hampir sebagian wanita berjuang keras untuk garis dua.
"Nak, maaf, mama mau tanya, kenapa kamu tidak mau hamil? Bukankah itu salah satu tujuan orang yang menikah?"
Dengan entengnya Megan menjawab, "tidak mau terlihat buncit."
Monic mengelus dada, menahan rasa.
"Mama tidak akan meminta cucu dariku, kan? Lagi pula anak-anak sudah sangat besar."
Mama Monic tidak menjawab.
"putra Mama kan juga tidak ingin menambah anak lagi, kedua anak itu juga tidak menginginkan adik. Kurasa ... 2 anak juga cukup, Ma ... dari pada ... kehadiran bayi hanya akan memgacaukan perasaan semua orang."
"Ayah! David!" perbincangan Monic dan Megan terhenti saat Erick antusias menyebut dua nama.
"Nek, ayah datang!" beritahunya pada sang nenek.
David datang membawa wajah takjubnya.
Bangunan luas bergaya abad pertengahan yang sedang ia masuki sungguh memberinya kesan pertama yang menarik.
Dikelilingi oleh banyak pohon di atas pegunungan, sungguh membuatnya jatuh hati.
Ia berpikir, sebanyak apa uang yang dimiliki wanita ini? Sepertinya dia memiliki semua yang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Megan berdiri dan melangkah menyusul mama Monic menyambut kedatangan Morgan yang baru tiba bersama David.
Sembari melangkah ia memastikan penampilannya tidak ada kesalahan.
"Nenek, apa menyenangkan tinggal di tempat ini?"
David menyalami sang nenek dengan cara mencium punggung tangan ibu dari ayahnya itu.
Sedangkan kepada Megan ia hanya sekedar menyapa dengan satu kata, "Tante," dengan gaya canggungnya.
"Kau tidak menyalami bunda Megan?" Monic menegur kesalahan David di depan semua orang.
David bertindak patuh lalu mengulurkan tangannya ke arah Megan.
Ibu barunya itu menyambut dengan senang hati.
Morgan mengulum senyum tipis melihat perilaku manis yang dilakukan putranya bungsunya dengan penuh keterpaksaan.
Beberapa pelayan mengantar koper dan tas milik Morgan dan David ke kamar yang akan mereka tempati masing-masing, sesuai arahan Megan.
"Dok, ini hasil rotgen terbaru tentang kondisi putramu."
Megan menyerahkan sebuah dokumen kepada suaminya ketika keduanya berada di kamar. Morgan mengambilnya untuk dipelajari.
Kembali berdua saja dengan suaminya di ruangan yang sama, Megan merasakan kegugupan luar biasa.
Harus kah aku pindah ke kamar yang lain?
"Oh ya, tentang waktu itu ..."
"Ya?" Megan berhenti melangkah. Baru saja hendak keluar dari kamar.
"Dokter Lena. Dia adalah teman baikku."
"Ya. Erick mengatakannya, Dok."
"Nona Megan tidak marah, kan?"
"Aku keberatan, Dok. Tapi aku bersyukur ada orang yang memperhatikan suamiku karena aku bahkan tidak mampu melakukan hal sekecil itu."
Istri mana yang tidak marah jika suaminya menerima suguhan teh manis dari perempuan lain?
"Jadi kau keberatan?"
Morgan berdiri, meninggalkan dokumen yang tadi ia pegang. Dihampirinya Megan, semakin mendekat.
"Ak-aku ... keberatan tapi tidak marah." Tentu saja Megan semakin gugup dibuatnya. Ingin melangkah mundur, tapi itu bukan gayanya.
"Nona Megan, apa mungkin ... kau ... cemburu?"
"Ya?"
Pertanyaan macam apa ini?
"Pak Dokter, ku kira kita tidak saling menyukai. Jadi mana mungkin aku cemburu."
Sungguh, Megan sedang mengatakan apa yang berlawanan dengan yang dikatakan oleh hatinya.
"Benar. Kita tidak saling menyukai. Tapi ... kita adalah pasangan."
Pak dokter semakin mendekat.
"Iya, lalu?"
"Kau harus cemburu." Morgan menatap dalam seolah mengunci tatapannya sehingga Megan tidak bisa beralih dan harus balas menatap matanya saja.
Tidak. Kalau begini aku bisa mati mendadak. Tatapan apa ini? Apa yang dia inginkan?
"Baik, lain kali aku akan cemburu, Dok."
"Istri yang pintar..." Raut muka Morgan yang dari tadi sangat serius, kini berubah tenang. Di dekapnya Megan dalam pelukannya yang hangat.
Megan yang mendapatkan pelukan tiba-tiba ini sudah pasti semakin berdebar. Bahkan Morgan bisa merasakan debaran jantung istrinya ini, tapi dia biarkan saja.
"Nona Megan,"
Megan dapan mendengar namanya disebut, namun hanya mampu menjawabnya didalam hati saja.
"Terima kasih, sudah menjadi teman hidupku. Terima kasih karena peduli pada anak-anak. Terima kasih atas pengorbananmu yang begitu besar. Kuakui, Kau adalah orang baik. Meski pernikahan ini hanya keterpaksaan, tapi kau melakukan tugasmu sebagai istri dan ibu yang baik. Aku akan menghargai kemurahan hatimu ini."
Megan mendorong pelan tubuh suaminya hingga terlepas.
"Dok, semua yang kau katakan, itu tidak benar. Kau hanya belum mengenalku. Aku tidak murah hati seperti katamu. Aku ini ... perempuan serakah. Aku tidak biasa melakukan sesuatu dengan cuma-cuma."
Entah kemana menghilangnya kegugupan yang tadi membuat jantung Megan berdetak laju.
Wanita ini tidak tersentuh dengan pujian dariku?
"Wanita serakah? Kau memang serakah, tapi tidak ada apapun yang bisa kau ambil dariku. Aku tidak punya apa-apa. Dan Kau tahu itu."
Kau memiliki dirimu Dokter. Kau memiliki dua anak yang boleh aku anggap sebagai anakku. Bagaimana jika aku serakah dan menginginkan kalian bertiga Seutuhnya menjadi kepunyaanku? Bagaimana kalau aku tidak mau melepas kalian dari sisiku?
"Aku akan menunjukkan keserakahanku, Pak Dokter."
Morgan yang tidak benar-benar memahami maksud istrinya, hanya mengangkat bahu dan berkata. "Silahkan, aku menantikan keserakahanmu. Tunjukkan saja sesukamu."
.
.
Di kamar David. Erick masih betah berbincang dengan adiknya itu. Mereka membahas berbagai hal.
"Kak, kenapa wanita itu sepertinya sangat berkuasa?"
David mulai membahas tentang mama baru mereka.
"Aku juga tidak tahu. Telunjuknya itu seperti memiliki kesaktian. Apa pun yang dia perintahkan hanya dengan menggerakkan jari telunjuknya, pasti akan segera terlaksana." ujar Erick mengingat bagaimana luarbiasanya telunjuk sakti milik mama baru yang selalu dia panggil 'kakak' itu.
"Dia memiliki pelayan yang banyak baik disini maupun di rumah besar nenek. Kau tau Kak, kita berdua bahkan memiliki pelayan pribadi di rumah megah itu." David dengan antusias menceritakan bagaimana kisahnya saat berada di rumah nenek buyut.
"Aku tidak menyukainya, tapi kenapa dia sekeren itu? Dari mana dia mendapatkan uang untuk membayar banyak pelayan? Sedangkan dirinya tidak bekerja. Bahkan Nenek Tua juga hanya berdiam di rumah." timpal Erick lagi.
Keduanya mulai merasa curiga.
"Apa jangan-jangan... wanita itu ... pelihara tuyul?"
tebak Erick, dan seketika bulu kuduknya merinding.
"Apa mungkin ... persugihan?" timpal David. bulu kuduknya ikut merinding.
.
.
Semangat guysss