HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yg gamodal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Di dalam kamar yang kembali mengingatkan Kanaya akan kejadian tiga minggu lalu. Ibra begitu santai seakan memang memiliki rencana untuk tidur bersama sejak lama.
Wanita itu bahkan menatap Ibra saja tak berani, bagaimana cara Ibra duduk dan menghubungi seseorang di sana membuat Kanaya takut.
"Yang paling nyaman dan kau yang paham, tapi jangan asal jika kau tidak mau mati, Gavin!!"
Dia mengancam orang lagi, Kanaya sudah ciut duluan padahal baru berada di dalam kamar hotel kira-kira 10 menitan.
Pria itu sepertinya sibuk sekali, kenapa banyak yang ia hubungi, pikir Kanaya sedikit heran namun semua memang begitu adanya.
Cepat-cepat Kanaya memalingkan muka ketika tertangkap basah tengah memandangi Ibra. Entah kagum, sedih atau kenapa hingga Kanaya begitu betah melihat wajah tampan yang terluka itu.
"Kenapa? Kamu butuh sesuatu, Kanaya?" tanya Ibra penasaran, karena sorot mata Kanaya tampak menyimpan sejuta pertanyaan, dan sungguh dia penarasan apa yang Kanaya pikirkan.
"Tidak ada, kau pulanglah ... aku ingin istirahat."
Kanaya mengatakan hal itu dengan lemah, secepat itu ekspresi Ibra berubah. Pria itu mengerutkan dahi dan merasa Kanaya mengusirnya secara terang-terangan.
"What? Kau memintaku pulang?" tanya Ibra seakan mencoba memastikan jika memang dia salah dengar.
"I-iya, kan kau juga butuh istirahat." Kanaya mendadak gugup kala Ibra kini beranjak dan justru menghampirinya.
"Ck, aku bayar tempat tidur sebesar itu cukup mahal, dan kau memintaku pulang, Kanaya? Wah sadis sekali."
Pria itu menunjuk tempat tidur yang memang cukup luas, dan mubazir sekali pikirnya sudah bayar tapi tidak dimanfaatkan.
"Akan kuganti uangmu nanti."
Sial sekali, ternyata dibalik sikap lembut dan tak bisa ditebak sama sekali ini, Ibra pelit liar biasa, pikir Kanaya kesal tiba-tiba.
"Bukan masalah itu, tempat tidurnya cukup untuk berdua, bahkan kau masih bisa bergerak bebas di sana, mubazir sekali, Kanaya."
Baru kali ini orang seperti Ibra dia temukan, bisa-bisanya tak mau pulang dan tidur di rumahnya hanya karena mubazir tempat tidur di sana tidak ditempati untuk berdua.
Padahal, jujur saja saat ini dia butuh istirahat yang nyaman tanpa takut gangguan akan terjadi hal gila seperti yang ada di pikirannya. Kanaya memegang tengkuk lehernya, binggung harus mengatakan apa.
"Aku tidur di sini juga, lelah, Nay."
Memang, Kanaya dapat melihat bagaimana lelahnya Ibra. Pria itu sudah menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur dengan lengan yang ia gunakan untuk menutup matanya.
"Huft, dia tidak paham pikiranku sama sekali."
Batin Kanaya bicara, menatap kesal Ibra yang begitu santainya merebahkan tubuh tingginya itu. Ingin rasanya dia usir lagi, akan tetapi takut jika marahnya Ibra pada wanita yang tadi Kanaya rasakan juga.
"Matikan lampunya," titah Ibra dengan suara yang mulai terdengar mengantuk, demi apapun kenapa pria ini merasa jika mereka tidak sama sekali salah kembali tidur di ranjang yang sama.
"Sebentar, aku mau cuci muka."
"Hm, jangan lama ... aku ngantuk," pinta Ibra lagi, apa yang ia rasakan memang benar-benar demikian, Kanaya hanya menghela napas pelan dengan sikap Ibra yang kenapa semakin berbeda dengan awal pertemuan.
Kanaya menatap wajahnya kini di depan kaca, memar dan bibirnya terlihat bengkak. Matanya masih terlihat sembab, dan sungguh ini adalah penderitaan paling nyata dalam diri Kanaya setelah lama menjadi adik dari Adrian.
"Kamu kenapa, Nay? Papa maafkan Kanaya."
Wanita itu memejamkan matanya, jika Abygail dan Adrian semarah ini, lalu bagaimana dengan papa kandungnya. Tapi sepertinya tidak, buktinya Mahatma saja masih memperlakukan dia sebagai manusia, lantas papa kandungnya jelas akan sama, pikir Kanaya.
-
.
.
.
Selesai dengan apa yang harapkan, Kanaya kini kembali dan menatap Ibra yang sepertinya sudah tidur sejak tadi. Wanita itu sedikit ragu hendak tidur di tempat yang sama bersama Ibra.
Jika dahulu sempat terjadi, percayalah itu hanya karena dia tidak sadar sama sekali. Kini berbeda, Kanaya dalam keadaan sadar dan bahkan untuk memejamkan mata di kamar ini saja dia takut luar biasa.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya, bingung hendak melakukan apa dan suasana seperti ini sangat memalukan sekali. Kenapa bisa Ibra sesantai itu, sementara dirinya untuk mengingat saja rasanya tak kuasa.
Tidak ada pilihan lain, ada sofa yang bisa Kanaya jadikan sebagai solusi terakhirnya. Wanita itu perlahan berjalan untuk mengambil bantal dan tidur di tempat berbeda dengan Ibra.
Semoga saja Ibra tidak sadar dan sudah tidur, pikirnya berusaha menenangkan diri sebelum mengambil tindakan.
Rasanya takut sekali, bagai hendak mengambil sesuatu di dekat bayi yang tengah terlelap. Kanaya kini sangat berhati-hati.
"Huft, akhirnya berhasil juga."
Secepat mungkin Kanaya berlari ke arah sofa, benar-benar momen paling aneh dalam hidupnya.
"Kembali, Kanaya ... tidur di sampingku."
Gleg
Kanaya menoleh dan mendapati Ibra masih setia dengan posisi seperti sebelumnya. Dia Benar-benar tidak tidur atau bagaimana, pikir Kanaya heran.
"Kanaya!! Kau tuli?" Ibra kini terbangun, menatap tajam Kanaya yang tengah berdiri tak jauh darinya, dengan memeluk bantal di dadanya.
"Kau belum tidur?" tanya Kanaya gugup, menakutkan sekali manusia ini, pikir Kanaya.
"Jangan mengalihkan pembicaraan, kembali sebelum aku marah, Nay," ujarnya lembut, Kanaya tak bisa menolak, dia melangkah pelan kembali ke tempat tidur.
Menaiki tempat tidur dengan perlahan, dan mata Ibra yang tetap begitu tajam. Kanaya merasa dirinya tengah dipaksa dalam hal ini.
"Tidurlah, aku tau kau lelah." Ibra berucap seperti perintah namun terdengar menenangkan di telinga Kanaya.
"Aku tidak akan melakukan apapun padamu, badanku juga sakit semua."
Sontak Kanaya mendelik begitu mendengar ucapan polos Ibra, dasar kurang ajar, keluh batin Kanaya.
"Kenapa? Salah?"
"Tidak, sudah sana tidur."
"Hm." Jawaban andalan, pria itu kembali merebahkan tubuhnya, menghadap Kanaya yang kini membelakanginya.
❤